logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 MPASI Dini

“Bagaimana keadaan Adel, Mas?” Aku di kejutkan oleh pertanyaan Tari. Ku lihat Tari sudah duduk di atas brangkarnya. Niat awal hanya untuk mengecek keadaan Tari sebelum kembali mengecek keadaan Adel namun ku urungkan untuk kembali ke ruangan Adel. Ada yang harus aku tanyakan pada Tari.
“Kamu sudah mendingan, Dek?” Tanyaku berjalan mendekat ke arah Tari.
“Memangnya aku kenapa, Mas. Mengapa aku berada di sini. Seingatku aku sedang menunggu Adel di depan ruang UGD.” Tutur Tari yang membuatku mengernyitkan dahi.
“Jadi, kamu tidak ingat kamu habis ngapain, Dek?” Cecarku tidak percaya dengan apa yang Tari ucapkan barusan.
“Memangnya aku kenapa, Mas? Bagaimana keadaan Adel saat ini. Aku ingin menemuinya!” Tari mencoba bangkit dari brangkarnya dan mencoba melepaskan selang infus dengan paksa.
“Jangan di paksa. Sekarang kamu istirahat saja, besok kita akan menemui Adel. Sekarang biarkan Adel istirahat terlebih dahulu.”
Ku peluk tubuh Tari dengan perasaan campur aduk. Perasaan bingung semakin menyelimuti relung kalbu. Aku yakin, ada yang tidak beres dengan Tari.
Saat ini Tari terlihat baik-baik saja bahkan bisa dengan santai menanyakan keadaan Adel seolah keadaan Adel tidak terlalu penting baginya, padahal kurang dari dua jam yang lalu ku temui Tari hampir melompat dari atap gedung rumah sakit ini karena keadaan Adel.
“Hmm, Mas. Kapan kita bawa Adel pulang?” Tanya Tari dalam dekapanku.
Dalam hati aku memohon kesabaran yang luar biasa untuk menghadapi Tari. Seandainya Tari tahu keadaan Adel yang sesungguhnya.
“Setelah semuanya baik-baik saja.” Jawabku kembali merebahkan Tari untuk segera istirahat kembali.
“Istirahatlah, besok kita harus menemui dokter untuk mengetahui keadaan Adel.” Aku menjatuhkan bobot tubuhku pada kursi tunggu di samping brankar milik Tari.
“Baiklah, Mas.”
Ku perhatikan Tari yang mulai menutup matanya secara perlahan. Biarlah masalah Adel akan ku tanyakan besok saja dengan dokter. Kasihan juga jika harus ku berondong Tari dengan berbagai pertanyaan pada malam yang telah larut ini.
Ku berjalan ke arah sofa tunggu di ruangan ini. Mencoba merebahkan badan yang rasanya seperti telah remuk dan terpisah dari bagian-bagian lainnya hingga tanpa terasa kesadaran ini mulai terenggut oleh kantuk dan lelah yang tak bisa lagi di tahan.
“Adel, Adel. Kamu dimana, Nak?” Teriakan Tari seketika membangunkan ku dari tidur nyeyakku. Ku lirik jam dinding masih menunjukkan pukul empat dini hari.
“Sayang bangun. Tari, Dek!” Ku tepuk pipi Tari beberapa kali untuk membangunkannya.
Tari berteriak dalam tidurnya. Berteriak dengan sangat nyaring seolah yang ia alami bukan mimpi namun kenyataan. Nyatanya Tari masih terpejam tanpa niatan untuk membuka matanya.
“Bangun, Tari. Sadar, Dek!” Tepukku sekali lagi pada pipi Tari agar ia segera membuka matanya.
“Adelll, aakkhhh.” Tari terbangun dengan napas tersenggal dan peluh yang membanjiri tubuhnya.
“Adel, Mas Adel.” Ku peluk Tari yang seperti belum sepenuhnya sadar dari mimpinya.
“Iya, Sayang sabar dulu ya. Tenangin diri kamu dulu.” Ku elus bahu Tari untuk menenangkannya.
“Adel dimana, Mas. Adel dimana?” Tanya Tari padaku.
“Adel ada di ruang rawat. Kamu yang sabar ya nanti kita akan ketemu dokter untuk membahas kondisi Adel. Yang terpenting kan sekarang Adel sudah mendapatkan pertolongan.”
“Aku bukan Ibu yang baik, Mas. Aku gagal menjadi Ibu untuk Adel. Aku Ibu yang buruk untuk anakku.” Rancau Tari dengan tangisannya yang kembali hadir.
Aku semakin merasakan keanehan pada diri Tari. Tari bisa berubah dalam sekejap. Seperti ada perubahan emosional yang tertahan dalam diri Tari.
“Tidak ada Ibu yang gagal jika kamu masih berusaha yang terbaik untuk Adel. Yakinlah semuanya akan baik-baik saja.”
Ya, yakinlah semuanya akan baik-baik saja. Aku harus tahu kondisi Adel sekaligus kondisi Tari agar aku tahu apa yang harus aku lakukan kedepannya. Aku tidak ingin semua menjadi berlarut dan akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Tanpa terasa matahari telah membumbung tinggi pada garis cakrawala. Aku mengajak Tari untuk ke ruang dokter yang menangani kondisi Adel.
Ku dorong kursi roda yang tengah Tari duduki. Aku memang melarang Tari untuk berjalan sendiri ke ruangan dokter mengingat keadaan emosional Tari yang tidak stabil.
“Permisi, Dok.” Sapaku mengetuk pintu untuk memasuki ruangan dokter.
“Ya, silahkan masuk, Pak, Bu.”
“Jadi, bagaimana kondisi anak saya, Dok?” Tari langsung mengajukan pertanyaan tanpa memberi jeda pada dokter untuk menjelaskan terlebih dahulu.
“Maaf, apa Ibu ini Ibunya Adel?” Tanya Dokter dengan hati-hati.
“Iya, Dok saya ibunya. Apa keadaan anak saya baik-baik saja, Dok?”
“Jadi begini, Bu, Pak. Setelah kami lakukan pemeriksaan lanjutan pada Putri Bapak dan Ibu, kami menemukan bahwa lambung Putri Bapak dan Ibu mengalami luka dan pembengkakan sehingga menimbulkan demam.” Terang Dokter dengan menunjukam hasil Rontgen padaku dan Tari.
“Apa sebelumnya anda memberikan makanan untuk putri, Ibu?” Tanya Dokter menatap Tari dengan lekat.
“Itu, itu. Saya.” Tari Terbata
“Jawab dengan jujur saja, Bu sehingga kita bisa lebih cepat menanganinya.” Tutur Dokter.
“Iya.” Jawab Tari tertunduk. Ku lihat air mata menetes melewati hidung bangirnya.
“Jadi begini, Bu. Usia Adel baru memasuki 4 bulan dan jika Adel mendapatkan asupan makanan sebelum umur 6 bulan maka itu di sebut dengan MPASI dini dan MPASI dini bisa menyebabkan berbagai masalah, salah satunya yang di alami Adel, Bu.” Jelas Dokter dengan sangat hati-hati kepada Tari yang terus saja menunduk menahan isakannya.
“Dan dari hasil pemeriksaan, saya mendapati bahwa Adel termasuk kurang gizi. Ini terjadi entah karena MPASI dini atau entah kurangnya asupan yang Adel terima selama ini. Yang jelas bobot Adel sangat jauh di bawah bobot rata-rata bayi seusianya.” Imbuh Dokter yang membuatku tercengang.
Bagaimana mungkin Adel termasuk anak yang kurang gizi sedangkan ia mendapatkan ASI dan sufor secara bersamaan. Berbagai pertanyaan ada dalam otakku tentang semua yang telah terjadi.
Ku lihat bahu Tari yang terguncang. Tari menangis dalam diamnya. Aku semakin yakin ada yang tidak beres dalam rumah tanggaku terlebih dengan keadaan Tari dan Adel selama ini.
Ku usap bahu Tari untuk saling menguatkan satu sama lain. Keadaan Adel memang tidak mampu kami terima dengan mudah, namun aku bersyukur semuanya sudah terdeteksi sehingga ada kesempatan untuk memperbaikinya.
“Ya sudah, Dok jika seperti itu saya dan istri saya ijin pamit terlebih dahulu.” Pamitku lantas mendorong kursi roda Tari untuk keluar ruangan.

Bình Luận Sách (674)

  • avatar
    Arahma

    ceritanya bagus

    4d

      0
  • avatar
    Sella Andriani

    keren sih ini suka

    8d

      0
  • avatar
    Ari

    cara penulisan ada yg kurang/salah seperti kotak tapi di tulis otak

    14d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất