logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 6 - A

Lebih tinggi bukan berarti bisa dengan mudah untuk mendapatkan segala sesuatu
tapi juga berakibat akan lebih sulit lagi
••E••
Erkan keluar dari kamarnya, lalu menuruni tangga berjalan menuju dapur. Ia mendudukkan diri di kursi meja makan. Ia termenung, hatinya tidak tenang. Untuk memejamkan mata kembali saja, susah.
Sreek
Erkan mendongak, melihat siapa yang menarik kursi dan ikut duduk. Setelah tau pelakunya, ia mencoba beranjak. Namun, tangannya dicekal erat.
"Nggak guna." suara Kelvan berdengung di kesunyian malam, bergetar lalu menghilang.
Erkan bergeming, ia menatap mata kakaknya yang memerah. Terlihat jelas raut marahnya, dan Erkan hanya menunggu.
"Pembawa sial."
Erkan mengghela napasnya. "Lalu kakak apa? Pulang malem, bikin masalah, kuliah nggak bener-" Sebenarnya ia tidak tahu apa yang kakaknya kerjakan diluar rumah, hanya saja perkataannya keluar begitu saja tanpa perintah.
Plak
Erkan memegang pipinya yang perih, rasa hangat menjalar.
"Berani ya lo." Kelvan manarik tangan Erkan kasar, membawanya ke gudang. Di ruangan penuh barang-barang yang tidak terpakai, yang menjadi penonton dan saksi. Saksi jika setelah keluar, Erkan penuh dengan warna kebiruan di sekujur tubuh, menyisakan wajah yang masih mulus.
••E••
Pagi hari menjelang, menghidupkan kembali yang hidup untuk bergerak setelah mati suri. Begitu juga Erkan, ia sudah mulai membersihkan mobil dan kendaraan beroda dua milik saudaranya. Setelah sholat shubuh, ia segera bergerak melakukan aktifitasnya dan mungkin hari ini dan seterusnya, akan lebih banyak lagi.
Lama berkutat dengan air sabun, sikat dan lap. Pekerjaannya selesai setelah jarum jam berhenti di angka 6 : 23 maklum saja, mobil ada 2 dan kotor 3. Erkan tersenyum, jika ia digaji pasti sudah mendapat uang untuk paginya. Tapi, ini sekarang menjadi rutinitas wajibnya. Ia mengambil perlengkapan yang ia pakai, lalu mengembalikan ke tempat asalnya. Ia berjalan masuk ke rumah, menuju kamar. Membersihkan badan, lalu kembali bekerja, apa saja asalkan tidak berdiam diri. Erkan ingat, ia sudah tidak bersekolah lagi. Mungkin, ini memang jalannya. Ia juga bodoh.
Erkan berjalan cepat memasuki dapur, ia segera membersihkan bagian dapur, mencuci baju, jika urusan masak, dia tidak ambil bagian. Setelah menghidupkan dua mesin cuci, satu untuk pakaian atas yang satunya untuk pakaian bawah. Sambil menunggu baju yang sedang di cuci, ia berjalan mendekati bi Aminah yang sedang memasak. Ia membantu membersihkan, piring-piring dan alat yang di pakai untuk masak.
"Sudah nak, tidak usah. Biar bibi saja," ucap bi Aminah sambil menahan tangan Erkan yang bergerak lincah-mencuci piring.
"Nggak apa-apa Bi. Erkan aja." Erkan tersenyum, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya.
Setelah selesai mencuci piring, ia kembali pada mesin cuci yang terletak di samping dapur. Mematikannya, ia kemudian ingin memindahkan baju-baju yang telah di cuci. Namun, terhenti.
"Nak, biar bibi aja yang ngurus ini. Kamu lanjutin kerja yang lain aja, taman belakang. Bunga ibu, kamu juga yang harus bersihin kan?" Erkan mengangguk mengiyakan, ia berterimakasih pada bi Aminah. Lalu ia menuju taman belakang, untuk membersihkan dan memotong rumput yang memanjang, membuang daun yang kering. Bi Aminah tersenyum sendu melihat anak majikannya.
Ia teringat pada anak wanitanya dulu, waktu di kampung. Anaknya itu, disuruh bantu bersih-bersih rumah pun tidak mau. Sedangkan anak majikannya, yang notabenenya laki-laki. Terlihat ikhlas melakukannya, ia sama sekali tidak berontak atas ketidakadilan yang ia terima.
"Sehat selalu, nak."
••E••
"Anak bodoh, apa yang kamu lakukan." Erkan sontak berbalik, ia berdiri. Ia meletakkan alat potong rumputnya.
Plak
Erkan menggigit bibir dalam bawahnya, tidak terlalu sakit namun hatinya perih.
"Apa yang kamu perbuat dengan bunga saya, yang di sana." Caswita menunjuk salah satu koleksi bunganya, yang terlihat rusak karena sedikit terpotong.
"Maaf, Bunda. Erkan tidak sengaja, Erkan kira itu rumput juga." Erkan menunduk dalam, menjawab sepelan dan setenang mungkin.
Caswita tersenyum miring, "nggak sengaja kamu bilang. Itu bunga mahal, organ tubuh kamu di jual aja nggak cukup untuk mengganti bunga yang saya beli itu … Anak bodoh, anak pembawa sial, dan kamu anak pembawa maut. Saya hampir mati, karena ngelahirin kamu. Saya tidak sudi, di panggil bunda sama anak kayak kamu."
Satu tetes air mata terjatuh dari pelupuk mata Erkan, "Bunda," gumamnya pelan. Sungguh, sesak tiada tara menghimpitnya. Mendengar ucapan orang yang melahirkannya ke dunia ini, membuat dunianya hampir runtuh membawa kegelapan tak bercahaya.
"Anak bodoh." Caswita mendorong kasar pundak Erkan, hingga terjatuh. Setelahnya, ia berbalik, meninggalkan taman yang dipenuhi bunga dan rintik hujan yang mulai berjatuhan.
Di sudut kiri dalam rumah, terdapat bi Aminah yang melihat kejadian itu lewat jendela. Ia sudah tersedu-sedu, tidak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati anak majikannya itu. Ingin dirinya mendekat, dan mendekap hangat tubuh yang terduduk di bawah guyuran hujan itu. Namun, ia tidak bisa. Dirinya tidak mau mengambil resiko berakhir di pecat, dan berada jauh dari anak majikannya itu.
"Astagfirullah." Erkan mengucap istigfar berkali-kali, mencoba menghentikan tangisnya dan sesak yang menyelubung. Ia bangkit, jalan tertatih memasuki rumah. Bi Aminah sudah menyambutnya dengan sebuah handuk.
"Ayo nak, bibi bantu." Bi Aminah, memapah Erkan berjalan menuju kamarnya. Di ruangan kamar lain, seseorang menangis tersedu. Caswita menangis, entah karena bunganya yang rusak atau karena Erkan. Hanya dirinya dan tuhan lah yang tau.
••E••
"Kita kapan bisa sekolah lagi, gara-gara kebakaran itu sekolah libur."
"Sok banget lo, kayak belajar aja."
Stevan dan teman-temannya, sedang berkumpul di Kafe. "Kata papa, nggak lama kok. Libur ini cuma buat menghilangkan syok, lalu kelas-kelas yang terbakar bakalan di renovasi secepatnya." Joni dan Wahyu mengangguk mengerti.
"Eh, gue denger-denger. Kebakaran itu gara-gara Erkan, anak pembantu yang tinggal di rumah lo," celetuk Joni.
"Iya, katanya dia ngerokok di gudang. Terus puntung rokok yang masih hidup dibuang sembarangan," tambah Wahyu.
"Nggak, adek gue nggak pernah ngerokok. Itu hoax," ujar Stevan menanggapi.
"Hah! adek?"
Stevan mengubah air mukanya, "iya. Dia kan tinggal di rumah gue. Ki-kita deket. Dia udah gue anggep adek, karena dia lebih muda dari gue dikit." Joni dan Wahyu memandang Stevan dengan sorot mengentimidasi. "Kalian apasih, gitu banget natap gue." Mereka berdua, mencoba biasa saja.
"Yaudah, kita latihan aja. Daripada di sini, bosen. Mana jomblo lagi," ucap Wahyu. Di sambut kekehan keduanya, dan geplakan dari Joni ke kepala Wahyu. "Jangan jujur banget lah, kalo nggak laku." Mereka bertiga mulai beranjak, keluar Kafe.
••E••
Di siang hari seperti ini, Erkan terduduk, diatas kasur. Memandang kosong lantai keramik bercorak. Bi Aminah yang masih di dalam kamar Erkan, memandang sendu.
"Bibi keluar dulu ya Nak. Nanti Bibi bawain, teh anget buat Nak Erkan." Bi Aminah berjalan keluar.
Erkan melirik jam, matanya berhenti pada jarum pendek yang menunjuk ke angka 1 dan 0 dan jarum panjang yang berada di tengah 8 dan 9 dalam sekejap berubah ke angka 6 dan 8. Ia menghela napas, ia menyerah. Ia sudah tidak tau lagi, harus berbuat apa selain menuruti perintah. Ia mengambil kertas coretan Arabnya, kembali melanjutkan menghafal surah yasin.
Dalam hitungan menit, Erkan sudah masuk ke dunia nya.
Tidak ada yang tau, dan tidak ada yang mengerti dirinya. Ada yang menyayangi nya, namun tak bisa membelanya. Untuk sekarang, ia berhenti berpikir.

Bình Luận Sách (73)

  • avatar
    Reffan Adilla Silviani

    berbagai macam cobaan terus ia terima, selalu di cerca Dengan perasangka buruk dari sodara sodaranya, tak pernah sedikitpun ke baikan keluar di hadapan keluarga nya, rasa sakit yang selalu ia terima, terlebih sakit hati yang amat luar biasa ia terima, hanya demi pengakuan yang ia inginkan, berusaha untuk tetap tegar, demi harapan dan sebuah pengakuan.

    05/06/2022

      1
  • avatar
    AjaHanifah

    asyik membaca sampai lupa waktu ceritanya bagus 👍

    05/08

      0
  • avatar
    MadureShaka

    bagus sih

    27/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất