logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Part 6

Masih Flashback
Sejak kejadian kemarin, sang ayah nampak sering merasakan frustasi. Sedangkan sang ibu sering sekali menangis. Tak jarang pula, ayah dan ibunya bertengkar hebat. Sebesar itu, pengaruh dari kedatangan orang-orang itu. Keluarganya di ambang kehancuran.
Gibran hanya bisa melihat ketakutan. Anak itu menatap kedua orang tuanya berkaca-kaca. Ia tak paham apa yang terjadi sekarang. Orang tuanya tak berminat sama sekali untuk menatapnya. Biasanya, ayah dan ibu selalu menyempatkan diri untuk mengecup keningnya atau mengelus kepalanya lembut. Ada apa dengan ayah dan ibu?
Clara menghampiri Gibran yang seperti akan menangis. Clara tak tega melihat adiknya yang nampak ketakutan. Raut wajah sang adik nampak terluka. Kemudian Clara memeluk adik laki-lakinya dengan lembut. Membisikkan kata-kata penenang dan mengelus punggung sang adik lembut.
“Kak Clara. Mengapa ayah dan ibu terlihat berbeda? Mereka seperti bukan ayah dan ibu.”
“Mereka tetap ayah dan ibu. Mungkin mereka lelah, jadi mereka tak seperti biasanya. Mungkin setelah beristirahat, mereka akan kembali seperti sedia kala. Mereka kelelahan karena ingin memenuhi segala kebutuhan kita. Jadi biarkan mereka beristirahat sejenak.”
Gibran hanya mengangguk mendengar ucapan sang kakak. Benar, mungkin ayah dan ibu sedang lelah. Gibran berharap besok akan kembali seperti sedia kala. Tak ada teriakan-teriakan pertengkaran dari kedua orang tuanya.
.........
Beberapa bulan telah berlalu. Suasana tak berubah sama sekali, justru semakin memburuk. Ayah dan ibu menjadi sibuk sekali. Bahkan, Clara sering tak berjumpa setiap hari meskipun masih tinggal dalam satu atap.
Jika dulu kedua orang tuanya hanya tak memperdulikan Clara. Sekarang, kedua adiknya pun sama. Mereka tak mendapatkan sedikit pun perhatian. Clara merasakan sesak yang teramat sangat. Ia masih bisa menerima jika ia tak mendapat perhatian sama sekali dari orang tuanya. Tapi tidak dengan kedua adiknya. Mereka sangat membutuhkan kasih sayang mereka berdua. Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan sakit seperti ini. Cukup Clara saja yang merasakannya. Tidak dengan Gibran dan Nana. Terutama Nana, dia masih sangat kecil. Ia masih membutuhkan perhatian penuh dari kedua orang tuanya.
Pengasuh di rumah ini sudah tiada. Mereka telah dipecat beberapa hari yang lalu. Ayahnya beralasan, bahwa ia tak mampu lagi untuk memberikan gaji kepada pengasuhnya itu. Akibatnya, Clara harus menjaga adiknya penuh. Ia harus membiarkan tugas sekolahnya banyak yang terbengkalai. Tak jarang, Clara harus mendapatkan hukuman dari sang guru karena tidak sempat mengerjakan tugas sekolahnya.
Clara menghela nafas lelah. Clara selalu berandai-andai, jika ayahnya tak meminjam uang sebanyak itu, mungkin hidupnya masih normal sekarang. Walaupun mereka dulu hidup dalam sebuah kesederhanaan, tetapi mereka masih bisa merasakan kebahagiaan dan hidup tenang. Tak ada seorang pun yang mengusik keluarga kecil mereka.
Tapi sekarang? Mereka memang hidup dalam kemewahan. Akan tetapi bernafaspun terasa begitu berat. Tak pernah sedikitpun merasakan menghirup udara dengan bebas. Yang ada hanyalah rasa sesak yang selalu bersarang di dada mereka.
Clara mencoba untuk menerimanya. Ia harus menjadi penopang bagi kedua adiknya.
.......
Clara terusik dari lelapnya saat mendengarkan teriakan-teriakan kedu orang tuanya. Dengan terpaksa Clara mendengarkan pertengkaran mereka.
“Ini salahmu! Seandainya kau tak meminjam uang sebanyak itu tak akan terjadi seperti ini! Memangnya kau sekaya apa sampai kau berani melakukan hal nekat seperti ini!” Itu suara ibu, menyalahkan ayah yang masih menatap ibu frustasi.
“Ini juga salahmu! Kau fikir aku tak jengah mendengarkan keluhanmu setiap hari? Kau yang memaksaku untuk melakukan ini! Seandainya kau tak terus merecokiku agar kita hidup lebih baik, pasti aku tak akan melakukan ini!”
“Iya, aku memang meminta semua itu! Tapi bukan dengan cara seperti ini! Kau fikir kau bisa mengembalikan semuanya dengan kau yang bekerja sebagai pegawai biasa? Tidak!”
“Cukup Nara, aku jengah mendengarkan celotehanmu! Kau berceloteh sampai berbusa pun tak akan mengubah keadaan.”
“Ck, aku berkata yang sebenarnya! Kau laki-laki bodoh yang melakukan sesuatu tanpa memikirkan sebab akibat yang akan kita terima!”
“Kau fikir kau tidak? Kau tidak ingat? Kau pun sama! Bahkan kesalahanmu lebih besar dariku! Masih untung aku tak mengusirmu! Kalau aku mengusirmu waktu itu, kau akan merasakan hidup seperti di neraka!”
“Sudah kubilang. Itu kecelakaan. Aku tak sengaja melakukannya! Kalau aku tahu, aku tak akan melakukannya!”
“Dasar keras kepala. Kau selalu melimpahkan segala kesalahan kepadaku! Tapi jika aku mengatakan yang sebenarnya, kau selalu mengelaknya!”
“Memang. Kau sumber kesalahan. Karena kau, kita tak akan hidup seperti ini. Aku lelah, harus bekerja pagi sampai malam hanya untuk melunasi hutangmu! Aku lelah!”
“Kau fikir aku tak lelah. Sebelum ini, kau juga tak pernah berkerja sama sekali! Kau enak-enakan di rumah menunggu agar aku segera memberikanmu uang!”
“Lho, yang menyuruhku tidak bekerja kau sendiri. Mengapa kau jadi menyalahkanku?”
“Karena kau memang salah! Selalu mengomel dan berkomentar tanpa tahu apa yang aku rasakan yang sebenarnya! Aku mati-matian bekerja demi kalian dan anak itu! Tapi kau tak menghargai aku sama sekali.”
“Anak itu? Maksudmu Clara? Aku tak pernah memaksamu untuk menghidupinya! Terserah kau apakan anak itu! Aku yak perduli sama sekali!”
“Anak itu anakmu Clara! Anak dari perselingkuhanmu!”
“ Sudah aku katakan bahwa aku tidak selingkuh sama sekali. Berapa kali aku harus mengatakannya agar kau paham? Itu kecelakaan Arya! Kenapa kau terus-menerus mengungkitnya!”
“Kecelakaan katamu? Aku melihat dengan mataku sendiri kalau kau bermesraan dengan pria lain! Kau kira aku hanya mengatakan sebuah omong kosong? Tidak!”
“Matamu buta ya? Aku tidak pernah bermesraan dengan pria lain setelah menikah denganmu!”
“Pembual. Bahkan kau sampai bunting anak orang lain pun kau masih mengelak. Jalang!”
“Apa katamu?!”
“Iya kau jalang!”
PRANG!!
Bunyi pecahan kaca terdengar begitu keras. Clara tersentak kaget. Ia memutuskan untuk segera keluar dari kamarnya. Ia melihat guji kesayangan sang ibu telah pecah, berantakan. Setelah itu, terdengar bunyi sentakan-sentakan kaki. Ayah dan ibunya pergi meninggalkan rumah itu. Dengan posisi ayah mengejar ibu.
Clara merass begitu jengah. Melihat kedua orang tuanya selalu bertengkar. Hatinya sakit. Namun ada hal yang lebih menyakitkan daripada itu, satu fakta yang keluar dari mulut orang tuanya. Bahwa ia bukanlah anak kandung dari ayah. Ia adalah anak dari hasil hubungan di luar nikah. Pantas saja, mereka memberlakukan Clara secara berbeda. Sesak sekali rasanya, mengetahui fakta bahwa ia hanyalah anak haram.
Clara berusaha menegarkan hatinya. Ia harus menerima kenyataan yang dibuat Tuhan untuknya. Walaupun dadanya begitu menghimpit, sesak sekali.
.........
Gibran terbangun dari tidurnya. Ia melihat sang kakak yang sedang membersihkan beberapa pecahan kaca yang berserakan di lantai.
“Kakak,apa ayah dan ibu tidak pulang?”
“Pulang kok, tadi malam. Mereka berangkat pagi-pagi sekali. Kau tahu sendiri kan, kalau ayah dan ibu sangat sibuk akhir-akhir ini.”
“Apa uang mereka sudah habis. Mengapa mereka tak pernah istirahat dalam bekerja?”
“Entahlah. Kakak tidak tahu.”
Clara memutuskan bungkam. Ia tak ingin mengatakan hal yang sebenarnya akan kondisi orang tua mereka yang sebenarnya. Ia tak ingin membuat adiknya semakin bersedih saat mengetahui fakta yang sebenarnya.
Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring dari telepon rumahnya. Clara langsung berinisiatif untuk mengangkatnya.
“Halo...”
Brakk
Clara menjatuhkan teleponnya. Tangannya gemetaran. Kakinya tak mampu menampu tubuhnya sendiri. Wajahnya menjadi pucat pasi. Air matanya meluruh deras bak aliran sungai.
Gibran yang melihatnya, menatap sang kakak bingung, “Ada apa?"
Clara hanya mampu menggeleng. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan sang adik. Hatinya seperti ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali.
Melihat reaksi sang kakak, Gibran langsung mengambil telepon yang terjatuh di depan sang kakak.
Gibran membeku. Ia tak percaya mendengar ucapan seseorang dari seberang sana. Gibran menangis, kemudian memeluk Clara saling menguatkan.
Nana baru saja terbangun dari tidurnya. Ia melihat heran kedua kakaknya saling memeluk satu sama lain. Nana mengucek matanya pelan guna menghilangkan rasa kantuknya. Ia lapar. Dengan memegangi perutnya, Nana menghampiri Clara.
“Kak Lala. Nana lapal. Nana mau makan loti cama cucu.”
Clara yang mendengar ucapan Nana, menangis semakin kencang. Nana sungguh tak paham, mengapa kakaknya menangis hanya karena ia meminta makan?
“Kak Lala tenapa nanis? Nana nakal ya kak Lala? Tapi Nana lapal cekali. Huhu.. Kak Lala jangan nanis. Nana ikut nanis.”
Clara memeluk tubuh Nana erat. Ia beberapa kali mengecup kepala Nana sembari mengatakan maaf berkali-kali. Nana hanya mengerjapkan matanya polos, ia tak paham sama sekali.
........
Pemakaman telah usai. Beberapa pelayat sudah berlalu meninggalkan pemakaman. Tersisa Clara dan kedua adiknya.
“Ayah,ibu. Mengapa kalian tega meninggalkan kami? Aku tak tahu apakah kami akan bertahan tanpa kalian. Hiks... Kalian tak memiliki perasaan sama sekali! Kalian tak memikirkan apa yang terjadi pada kami saat kalian tiada!”
Clara marah,sedih, kecewa,dan takut atas apa yang terjadi. Semua perasaan itu, bercampur menjadi satu.
Dengan air mata yang masih mengalir deras. Clara menuntun kedua adiknya untuk pulang karena langit mulai menggelap. Pertanda senja akan segera datang.
.........
Clara terpaku, menyaksikan barang-barangnya sudah berada di depan rumah. Beberapa orang yang pernah datang menghajar ayahnya,ada disana. Berdiri pongah menatap Clara. Mata Clara berkilat marah, mengapa mereka dengan seenaknya mengeluarkan barang-barang milik orang lain?
“Kalian? Mengapa kalian mengeluarkan semua barang-barang ku? Tidak sopan.” Ucap Clara marah.
“Sopan santun katamu? Persetan dengan sopan santun! Rumah ini kami sita! Sebagai jaminan sebagian dari hutang ayahmu!”
“Tapi tidak dengan seperti ini! Setidaknya kalian harus memberi aku kesempatan!”
“Aku sudah memberikan ayahmu kesempatan selama tujuh tahun. Tapi ayahmu tak pernah melunasinya!”
Clara menatap mereka dengan berkaca-kaca. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi sekarang. Belum cukupkah Tuhan mengambil kedua orang tuanya? Sekarang, Tuhan mengambil segala harta benda yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
“ Sekarang kau bisa pergi dari sini! Kau bisa mengambil semua barang-barangmu. Sebelum aku mengusirmu secara kasar!”
Clara hanya menatap orang itu kasar. Dengan tergesa ia mengambil koper besar berisi barang-barangnya. Ia menuntun kedua adiknya meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan tanpa arah. Clara hanya bisa berharap. Bahwa ia bisa menemukan tempat berteduh sebelum gelap menguasai.
Flashback Off

Bình Luận Sách (177)

  • avatar
    Ghe Thonbesy

    ceritanya seru

    18d

      1
  • avatar
    ່༺K꙰I꙰T꙰S꙰U꙰N꙰E꙰E꙰༻

    bagus

    23d

      0
  • avatar
    Ryan Garcia

    sangat bgus

    26d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất