logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

BAB 4 Tangis Jalan-jalan Hidupku

Hari yang sudah ditentukan dari bahasa Ibu guruku sudah tiba. Aku telah berkompromi dengan segala konsekwensi jalan hidup yang akan aku ambil.
Sedih sih ! Namun karena masa depanku adalah suatu nilai yang lebih utama dari apapun maka kusegarkan pikiranku untuk berlomba dengan nasib yang selama ini menyakitiku.
Tadi malam, keperluan, bekal dan sejenisnya sudah aku persiapkan untuk kebutuhan selama diatas kapal berlayar menuju Selayar. Rencananya kami akan menaiki kapal pulau tetangga sebelah yang biasa ke Selayar.
Sudah pagi, sekitar jam 08:00, Ibu guruku datang kerumah untuk menjemputku. Aku tidak pernah tahu dan tidak pernah menyangka bahwa kepergianku ternyata justru mendatangkan pilu yang tidak berkesudahan. Selama ini, aku berpikiran dengan mengejar impianku, keadaan akan semakin mendukungku, keadaan mungkin sedikit bisa berpihak kepadaku atau berkata manis padaku bahwa selepas perjuangan ini, Ain akan lebih dewasa menjalani kelakuan cinta Illahi padaku.
Ternyata aku kalah dengan nasibku, aku kalah ! Jujur, aku membutuhkan bantuan siapapun untuk memperjuangkan kebaikan yang selama ini kuingin kan.
Aku terprovokasi oleh keadaan, suasana yang tengah melekat dari dulu dalam hidupku hingga aku dikalahkan oleh nasib yang sedang tersenyum padaku saat ini.
Dari kecil sampai usiaku telah memasuki sebelas tahun sebelas bulan ini kepiluan ada karena diakibatkan oleh harapan-harapan semu untuk melihat kedua orang tuaku. Tapi saat ini malah bertambah, semakin tidak berpihak kepadaku, aku pergi meninggalkan Nenekku sendirian di rumah.
Pagi itu, ketika aku menaiki perahu kecil bersama Ibu guruku, aku memang melihat tetesan-tetesan air mata berjatuhan dari mata tua Nenekku. Tapi kupikir, derai air mata itu adalah sebuah tangis bahagia yang mengharapkan kelak cucuknya pulang bisa menjadi wanita yang lebih diandalkan. Sehingga pikiranku tidak pernah sampai pada akhir dari tangisan itu. Kini, aku sudah berada diatas kapal, aku sudah siap bertempur, berjuang, berjalan tanpa harus melihat lagi beban yang selama ini aku pikul.
Masih jelas, Nenekku belum pulang. Dia masih berdiri di bibir pantai melambaikan tangannya. Dia ingin meraihku, akupun begitu, aku masih ingin memeluknya dengan segenap cinta yang ada dalam diriku. Tapi, sedikit waktu untuk memutar kembali kebersamaan itu. Sampai akhirnya kapal terus berlayar membelakangi kampung halamanku.
Dalam jalannya kapal, ombakpun bergemuruh menabrak perut kapal yang aku tumpangi. Fokus pandangan masih tertuju pada titik dimana Nenekku berdiri. Aku sudah tidak bisa melihatnya hanya kabut kecil yang berbentuk pulau yang nampak di mataku.
"Nek, maafkan Cuk karena harus berpisah denganmu yang mestinya Cuk saat ini dan selamanya menjagamu" batinku seakan menyalahkan keputusan yang aku ambil. Harus bagaimana ya Tuhanku agar aku tidak menyalahkan diriku atas kepergianku ini."
Semakin jauh dan jauh dari kampung halamanku. Menyembunyikan air mata ini dari orang-orang sekitarku diatas kapal juga percuma. Mereka tahu bahwa aku menangis karena berpisah dari Nenekku. Mereka tahu bahwa kepergianku semata-mata mengejar mimpiku.
Pagi berlayar, siangpun menjemput kami diatas kapal. Lalu berganti malam, akupun tertidur sambil memeluk bantal guling yang hanya satu-satunya ada di rumahku diberikan kepadaku sebagai kenangan dari Nenek.
Setiap olengan kapal, aku merasa seperti di ayun oleh Nenek. Umurku memang semakin bertambah tapi perilaku anak kecil masih melekat dalam tubuhku. Bahkan dirumahku, Nenek membuatkanku ayunan khusus. Ayunan itu biasa aku pakai jika aku merasa susah ditidurkan oleh Nenekku.
Semakin laju kapal yang aku tumpangi semakin dekat dengan tujuan yang ingin aku datangi. Tengah malam, aku terbangun karena sebuah mimpi mendatangiku. Aku melihat dirumahku ada acara syukuran yang tidak biasanya. Acara itu seperti merayakan seseorang yang baru saja datang setelah kepergiannya yang lama. Saat aku bangun, kupositifikan pikiranku terhadap mimpi yang baru saja aku alami. Tapi hati ini tidak tenang semakin berpikiran positif justru semakin merasa khawatir.
"Apa yang terjadi ?" kataku sendiri pada diriku.
Semoga saja Nenek baik-baik disana. Kekhawatiranku kulemparkan jauh-jauh keangkasa sana bersamaan dengan tatapan mata kulihat bintik cahaya kecil bintang mengelilingi bulan yang padat. Kuajak berdamai kekhawatiran ini dengan bisik-bisik sepoi angin malam yang berhembus dari arah depan kapal mendinginkan tubuhku diatas kapal. Saat semua orang lelap tertidur tanpa gangguan masalah, aku malah menangis dipaku oleh kegelisahan.
Tepat jam 02:20 menit waktu pukul setempat, aku telah melihat lampu pijar berhamburan di depanku. Lampu yang cahayanya belum pernah aku lihat dikampungku. Aku kira, cahaya lampu itu adalah titipan pembangunan manusia untuk mengenang kepintaran mereka. Betul ! itu adalah titipan buatan manusia ! seketika aku bangkit dari tempatku duduk. Aku kegirangan, mimpi yang baru saja membuatku menangis terobati dengan cahaya lampu pijar yang ada di depanku.
"Sebentar lagi, kakiku akan menginjak dermaga Selayar, sebentar lagi, mataku akan melihat apa yang belum aku lihat dikampung. Semakin dekat, semangatku semakin ingin cepat sampai di Kota Selayar" hatiku bersuara menemani alam pikiranku yang kaku.
Tanpa kusadari, Ibu guruku yang tadinya tidur dengan lelapnya tiba-tiba tidak ada disampingku. Aku memanggilnya sekeras mungkin, berjalan sambil memegang penyangga tenda atas kapal mencari Ibu guruku sampai pada dalaman kapal. Tahu-tahunya dia sedang buang air kecil di WC belakang kapal.
"Ain, kamu mau kemana ?" tanya Ibu guruku padaku saat dia melihatku berjalan di dalam kapal.
"Aku mencari Ibu karena tadi tidak kulihat ditempat tidur."
"Ooo... Kirain kamu mau buang air juga. Jangan mondar-mandir dikapal nanti jatuh. Sekarang kita sudah mau sampai di Selayar. Kamu senang nggak lihat Selayar sudah dekat ?."
Pertanyaan itu bagaimana bisa aku jawab senang walau nyatanya aku senang melihat Selayar sudah dekat. Tidak mungkin juga aku tidak menjawab pertanyaan Ibu guruku padaku.
"Iya... Ain senang, Bu !."
"Kalau kamu senang, besok siang kita jalan-jalan keliling Kota Selayar sambil lihat-lihat dan mengunjungi tempat yang mungkin selama ini menjadi impianmu."
Aku semakin tidak mengerti dengan ucapan Ibu guruku. Aku hanya tahu bahwa kedatanganku ke Selayar hanya untuk jalan-jalan. Tapi tidak apalah, aku harus ikut kemanapun Ibu guruku membawaku.
Disela percakapan tanya jawab kami yang belum usai. Salah satu mesin kapal terdengar sudah tidak berbunyi. Biasanya kalau dikampungku, kalau mesin kapal sudah dimatikan satu berarti sudah mau berlabuh.
Kami pun naik keatas kapal. Benar ! ternyata kapal sudah mau berlabuh. Tinggal hitungan menit, kakiku akan menginjak dermaga Selayar. Karena bahagia, aku mengatur barang bawaanku begitupun Ibu guruku sibuk memasukan jaket yang dia pakai saat tidur.
Masing-masing penumpang sudah terlihat sibuk. Aku baru sadar setelah sampai dan kapal berlabuh ternyata teman sekolahku yang biasa mengejekku di sekolah juga ada diatas kapal.
Tiba-tiba saja dia memanggilku, "Ain, kamu ada juga disini ya ? saya kira, kamu tidak akan melanjutkan sekolahmu setelah tamat SD ?."
Dia masih sama seperti dulu, masih menjengkelkan. Aku menamainya si tukang nakal.
Sahutku padanya "aku datang keselayar bukan untuk melanjutkan sekolah tapi sekedar berlibur."
"Oh ! kamu ikut siapa kesini ?."
Tanpa menggubrisnya lagi, aku turun dari kapal mengikuti Ibu guruku yang duluan menginjak kakinya di dermaga.
Bismillahirrahmanirrahim...! Kakiku sudah menyentuh dermaga dengan aman. Aku sangat bersyukur atas pencapaianku hingga sampai di Kota Selayar. Kalau bukan Ibu guruku yang memanggilku kesini, tidak mungkin aku bisa melihat dermaga Selayar juga mustahil bisa melihat indahnya Kota Selayar.
Pas shubuh kami sampai dirumah Ibu guruku dengan selamat. Di rumahnya ternyata, aku sudah disiapkan kamar kosong yang begitu cantik. Kamar ini berbeda jauh dengan kamar rumahku yang ada dikampung.
Apakah aku bisa tidur di kamar sebagus ini sementara Nenek dikampung masih tidur dikamar yang biasa kami berdua tempati. Aku haru, aku terseduh-seduh, ingusku keluar tanpa kusadari, tenggorokanku tidak kuasa menyembunyikan suara tangis yang ingin keluar dari mulutku.
Nek, Ain rindu, Nek. Ain ingin pulang !, Nek. Ain ingin tidur bersama Nenek, Ain ingin memeluk Nenek.
Kesedihanku, kerinduanku kulampiaskan pada bantal yang Nenek berikan padaku. Aku tidak mau tidur memakai bantal yang harum ini, aku tidak mau tidur memakai sarung Ibu guruku berikan, aku tidak mau tidur diatas kasur empuk ini. Aku ingin tetap merasakan tidur dilantai yang terbuat dari bambu karena Nenekku dikampung tidur dilantai itu."
Shubuh itu, aku hanya bisa menahan dentuman jantungku yang selalu bergetar tiada henti. Mataku hanya bisa mengeluarkan air matanya, tanganku hanya bisa menghapus setiap tetesan air mataku sambil kupeluk bantal guling yang aku pegang.
Sampai benar-benar terang. Matahari sudah naik miring diatas kepala di ufuk Timur. Ibu guruku membuka pintu kamar yang aku tempati, dia kaget dan merasa kasihan kepadaku sampai dia memelukku dengan kencang, lalu kemudian berkata kepadaku dengan penuh kasihnya.
"Ain, kamu kenapa tidak tidur dan senantiasa memeluk bantal guling itu. Ibu melihat bola matamu merah, apa kamu tidak senang ada di rumah nya Ibu ?. Kita sudah sampai di Selayar, harusnya Ain gembira."
Dengan kepolosanku yang dini, aku mengutarakan kondisi kebatinanku sekarang ini. Aku tidak mau Ibu guruku merasa bersalah karena telah membawaku ke Selayar.
"Bu, apa begini ya kalau jauh sama orang yang kita cintai ? Ain rindu, Bu sama Nenek dikampung. Ain ingin pulang, Bu, Ain ingin bersama Nenek. Ain kasihan sama Nenek, Bu. Ain tidur ditempat yang bagus sementara Nenek masih tidur ditempat biasa."
"Ain diam dulu sebentar ya ! jangan nangis lagi. Kalau Ain nangis terus nanti apa kata Nenekmu dikampung jika tahu bahwa sesampaimu di Selayar bersama Ibu malah menangis terus. Tanggapan orang dikampungmu terhadap Ibu pasti beda, Ain. Katanya punya harapan, punya mimpi mau lanjut sekolah. Ibu sudah janji sama Ain akan memberitahukan hal penting pada Ain kalau sudah sampai di Selayar. Sekarang kita sudah sampai dan ada dirumah nya Ibu maka Ibu akan memberitahu perihal hal penting itu. Tapi Ain diam dulu, berhenti dulu menangis ya ! kan kasihan air matamu dari tadi shubuh jatuh. Ditambah lagi bola mata kecilmu itu kemerahan akibat nangis terus."
Kesedihanku untuk sementara ini redam dihadapan Ibu guruku.
"Nah, gitu dong !. Ain makan dulu, Ibu sudah siapkan makanan diatas meja makan. Nanti setelah makan, kenyang, baru Ibu beritahu apa maksud Ibu memanggilmu jalan-jalan ke Selayar. Satu lagi, selama kamu berada di rumah Ibu, anggap saja rumah sendiri ya. O... ya, Ibu punya anak laki-laki yang usianya sama sepertimu, namanya Dimas. Dia sudah berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Ayok, Ain makan dulu ! biar Ibu yang temani makan. Kebetulan Ibu juga lapar."
Entah ini adalah kebaikan dari Tuhan atau memang Ain adalah anak yang perlu dikasihani atau Tuhan sedang merekayasa masa depanku seperti apa kedepannya.
Dalam himpitan arah hidup yang tidak menentu. Aku keluar dari dalam kamar bersama Ibu guruku menuju meja makan.
Di meja makan, bau sedap makanan sebelum aku cicipi sudah menembus hidungku menuju dalam perutku. Sepertinya enak, dari baunya, aku sudah bisa merasakan kelezatan makanan yang ada di depanku.
Hidup baruku dimulai dari meja makan ini. Saat jari tanganku ingin meraih makanan lezat yang ada di depanku. Tiba-tiba saja sebatang lidi kecil melayang dan mendarat pas diatas punggung tanganku. Aku kaget dan heran dengan pukulan kecil dari Ibu guruku. Kuangkat wajahku sambil melihat Ibu guruku dengan penuh rasa hormat. Sepatah katapun belum terucap darinya. Ku ulangi hal yang sama tetap juga hal yang sama berulang, kedua kalinya lidi kecil yang dipegang Ibu guruku melayang dan mengenai punggung tanganku.
"Bu, sebenarnya Ain kenapa ? setiap mau mengambil makanan, Ibu selalu memukul punggung tanganku ?."
Tanda-tanda bringas mulai nampak dari wajah Ibu guruku. Dia membesarkan suaranya padaku tanpa berpikir bahwa aku akan sakit hati.
"Kamu ya, dari tadi nangsi aja tahunya !."
"Ibu kenapa ?" aku kembali bertanya padanya.
Hal serupa pun berulang, "kamu tidak tahu terimakasih pada Ibu. Sudah untung Ibu mengajakmu ke Selayar, eh sampai di Selayar malah menangis, dihibur baru mau berhenti, emang kamu pikir Ibu memanggilmu kesini untuk apa ?."
"Ain tidak tahu, Bu, untuk apa Ibu memanggilku kesini. Ain tidak pernah berpikir bahwa Ibu akan membuat Ain sedih setelah sampai di Selayar."
"Kamu ini banyak bicaranya dari tadi. Ayok makan sekarang !."
"Ain kenyang, Bu. Ain tidak mau makan. Ain mau makan tapi bukan makanan ini, masih ada bekal Ain yang Nenek buatkan untukku."
Secepat ini perubahan Ibu guruku padaku. Jadi apa sebenarnya maksud dan tujuan Ibu guruku memanggilku kesini. Aku harus kemana di Selayar ini, laripun dari rumah ini serasa mustahil. Andai aku mengikuti perkataan Nenek maka aku tidak akan merasakan pukulan kecil tadi.
Dalam upaya menahan kesedihanku, aku berlari menuju kamar. Kukunci pintu kamar serapat-rapatnya, aku takut bertemu Ibu guruku jangan sampai dia memukulku lagi.
Didalam kamar, aku mengambil buras yang Nenek bikin untukku. Semalaman Nenekku tidak tidur hanya karena mematangkan buras ini. Kubuka kulitnya, kulihat isinya, aku masih merasakan bekas telapak tangan Nenek diburas ini. Aku masih mencium aroma kasih sayangnya, aku masih mendapati sisa-sisa keringatnya di buras ini.
Nek, Ain ingin pulang, Nek !. Ibu guruku ternyata hanya berpura-pura baik dihadapan Nenek. Ain dipukul saat mau mengambil makanan, Nek. Dikmpung, Ain tidak pernah mendapatkan pukulan seperti itu. Ain bukan kucing, Nek, yang dipukul saat mau makan. Ain rindu, Nek, Ain ingin pulang kekampung, Nek.
Aku tidak pernah tahu selanjutnya seperti apa hidupku disini. Jam dinding yang terpasang rapih didalam kamarku sudah menunjukkan jam 02:03 siang. Ini artinya sudah hampir satu hari aku berada didalam kamar.
Belum ada bunyi ketuk-ketuk dipintu kamarku. Sampai pada akhirnya, telingaku mendengar suara laki-laki yang menanyakan namaku. Entah siapa ?, aku hanya tahu bahwa Ibu guruku punya seorang anak laki-laki.
Betul ! tidak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar seraya memanggil namaku, "Ain, buka pintunya, Nak."
Dititik ketakutan kutidak ingin membuka pintu kamarku tapi dititik harapan menyuruhku untuk membuka pintu kamarku. Gemerincing lonceng dada berbunyi bersamaan turunya keringat dingin membanjiri tubuhku.
Aku berdiri perlahan. Dari lubang sela-sela kunci kuintip laki-laki itu. Kulihat badan besar gemuk sedang berdiri berpakaian dinas didepan pintu kamarku. Perasaanku semakin tidak enak melihat laki-laki itu. Dalam keterpaksaan aku membuka pintu kamar dan kembali berlari ketempatku setelah pintu kamar terbuka. Kututup wajahku dengan bantal guling yang Nenek berikan. Laki-laki itu mendekatiku dengan penuh kehati-hatian. Dia membuka bantal guling yang menutup wajahku dan berkata, "kamu Ain kan ?. Jangan takut pada Om ya ! Kehadiranmu dirumah ini sebenarnya atas permintaan Om. Mulai sekarang kamu tidur bersama Om, kemana Om pergi kamu juga akan ikut. Jadi jangan takut ! Om tidak akan menyakitimu. Kamu sudah makan atau belum ?" tanya laki-laki itu padaku.
Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan dari laki-laki ini sementara dibelakangnya berdiri Ibu guruku dengan wajah masam melototiku. Melihatnya saja aku takut apalagi sampai harus menjawab sudah makan.
"Gini aja, karena Ain tidak mau jawab. Sore ini gimana kalau kita jalan-jalan !. Om sebenarnya ingin menjadikanmu sebagai anakku, Om sudah lama menikah dengan Ibu Gurumu tapi belum dikarunia anak. Makanya Ibu gurumu, aku suruh untuk membawamu ke Selayar. Ain tidak keberatan kan kalau Om jadikan Ain sebagai anak kami ?."
Mendengar pengakuan laki-laki ini, aku bukan malah senang tapi justru aku semakin takut. Aku takut jangan sampai disaat aku cuma berdua didalam rumah ini lalu kemudian Ibu guruku berbuat sesuatu padaku.
"Om, Ain ingin pulang !."
"Loh, kenapa Ain mau pulang ? ini rumah baru Ain. Kamu disini akan bersama Om juga Ibu gurumu."
"Ini Om gimana ? tadi Ibu bilang punya anak laki-laki namanya Dimas tapi Ain kok tidak melihatnya."
Sontak suara gelegar dari Om membahana ditelingaku. Bukan aku yang diteriaki melainkan istrinya yaitu Ibu guruku.
"Mah, kamu bilang apa sama Ain. Dimas yang mana Mamah maksudkan ?."
"Ini sebenernya ada apa Om ? karena aku bingung. Dari tadi saat Om mengatakan tidak dikaruniai seorang anak, Ain berpikir sebenarnya yang dikatakan Ibu punya seorang anak namanya Dimas itu siapa ?."
"Ain nggak usah pikirkan bicara Ibu ya. Dimas itu sebenarnya nama Om. Kami tidak punya anak makanya Ain mau tidak kalau Om pelihara jadi anak Om ?"
"Mah tolong jelasin kepada Papah dan Ain, mengapa Mamah harus berbohong seperti ini ?."
Sejenak Ibu guruku terlihat bingung. Dia menundukan wajahnya seakan berpikir untuk sebuah alasan didepan suaminya.
"Sebenarnya gini Pah, Mamah hanya ingin menguji Ain apakah dia bisa menerima perilakuan kita padanya jika suatu saat dia berbuat salah. Mamah ingin tahu seberapa tabahnya dia menghadapi beban kehidupan ini. Kita tidak mungkin merawat dia hanya dalam hitungan hari, bulan dan tahun Pah, tapi selamanya, kita akan merawatnya. Oleh karena itu makanya Mamah bersifat agak keras di awal sebelum di pertengahan didikan kita dan diakhir dia menyesali kelakuan kita dan pada akhirnya dia akan pergi meninggalkan kita disini."
"Tapi cara Mamah itu salah !. Ain baru datang, masa Mamah berperilaku seperti itu padanya. Dia ini masih kecil Mah, belum tahu membedakan mana didikan benar dan mana didikan salah. Anak sesuai Ain, bila dikerasin walaupun dengan niat yang baik, tentu dia akan menilai bahwa Mamah memaharinya. Coba deh Mamah pikir sendiri, gimana kalau Papah membuat kelakuan buruk pada Mamah, apakah Mamah akan senang, bahagia atau sebaliknya akan marah ?. Jadi Mamah mesti berpikir dampaknya dan sebisa mungkin sikap kerasnya Mamah dibuang jauh-jauh ya."
"Iya, Pah. Mamah minta maaf !."
"Jangan minta maaf pada Papah tapi minta maaflah pada Ain. Kasihan Ain seharian dalam kamar cuma makan buras dari kampung."
Haru, sakit, sedih bertambah, bahagia belum pasti, adalah bumbu hidup yang aku alami disini. Untung saja suami dari Ibu guruku punya niat baik. Kalau tidak, aku akan seperti apa disini.
Aku tidak berharap Ibu guruku meminta maaf. Aku cuma berharap kasihanilah aku jika memang sumainya ingin mengangkatku sebagai anak dalam rumah mereka. Jaga aku seperti mereka menjaga nafasnya.
Dari kejadian barusan aku belajar satu hal yang paling berharga, aku belajar untuk menghargai orang serta menjadi manusia yang lebih berguna lagi.
Kami bertiga keluar dari dalam kamar setelah keadaan betul-betul membaik. Makanan yang tadi tidak bisa kusentuh sekarang sudah dibolehkan untuk aku pegang. Bahkan saking bahagianya suami Ibu guruku, dia yang menyendokan nasi kedalam piringku.
Aku harus akui bahwa dibalik kesengsaraan selalu ada titik cahaya yang bersinar. Sekejap aku melupakan kesusahan hidup yang selama ini kulalui. Kejadian tadi menyimboli segala rasa yang pernah aku lalui selama ini.
Belum habis nasi dalam piringku, suami Ibu guruku kembali menambahkan nasiku. Dia pengen aku gemuk sepertinya, itu katanya padaku.
"Makan banyak biar gemuk seperti Om. O...ya karena hari sudah semakin sore, besok pagi Ain bangun lebih awal ya. Mandi dan ikut Om pergi kesekolah."
Aku agak tidak percaya tapi itulah yang aku dengar dari suami Ibu guruku. Kepalaku mangguk-mangguk mendengar itu.
Sambil bertanya kejelasannya pada Om "emang Ain mau bikin apa di sekolah besok, Om ?."
"Ain besok akan Om daftarkan sekolah."
Tidak terasa air mataku jatuh mendengar kebaikan suami Ibu guruku.
"Tapi baru daftar ya nanti setelah selesai daftar dan berkasmu rampung diterima di sekolah. Ain boleh pulang dulu kekampung untuk menyampaikan kabar gembira ini pada keluarga Ain dan pada Nenek yang begitu Ain cintai."
Kata pulang itu yang membuatku langsung memeluk suami Ibu guruku. Aku tidak tahu mau berterimakasih seperti apa pada keluarga ini yang ingin menyekolahkanku tanpa berpikir bahwa aku akan menghabiskan uang mereka.
Dalam kemelut batin yang melayang, Ibu guruku langsung bersuara, "sebenarnya ini hal penting yang ingin Ibu sampaikan padamu. Hanya saja belum waktu tepat akhirnya suami Ibu yang katakan padamu"
"Jadi menurut Ain gimana ?."
"Ain mana-mana aja baiknya. Cuma Ain akan merasa lebih senang lagi jika Ain boleh pulang dulu kekampung untuk menyampaikan kabar ini pada Nenenkku."
"Itu pasti. Gimana menurut Papah ? Ain boleh pulang dulu kan ?."

Bình Luận Sách (116)

  • avatar
    LUTFHI

    waw bagus

    5d

      0
  • avatar
    GirlApril

    baguss

    15d

      0
  • avatar
    ramdaniDani

    sangat baik

    23d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất