logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

BAB 2 Tetap Semangat

Ain hampir kalah untuk menerima kenyataan pahit bahwa Ain memang tidak memiliki orang tua. Hujatan - hujatan anak haram dilabelkan kepadaku bahkan Ain pernah di caci dalam sebuah kesempatan perpisahan tamatan SD. Padahal, aku bukanlah anak haram, aku punya orang tua. Mereka hanya pergi saat aku masih bayi. Suatu saat pasti mereka akan kembali padaku, menemuiku dirumah dengan penuh semangat.
Hari itu memang begitu ramai di lingkungan sekolah. Acara tahunan yang biasa dilakukan pihak sekolah untuk melepas siswanya. Acara perpisahan tahunan itu digelar begitu meriah. Semua orang hadir, siswa - siswa yang sudah tamat di wajibkan hadir bersama kedua orang tuanya untuk memeriahkan acara tersebut.
Ain pasrah dengan kondisi itu. Saat guru - guru memberitahukan kepada semua siswa kelas enam yang baru saja lulus sekolah agar menghadirkan kedua orang tuanya sebagai bentuk kesyukuran bersama, memanjatkan do'a kepada Illahi atas pencapaian bersama di sekolah selama ini.
Aku hanya diam ketika mendengar ucapan guru - guruku. Hingga bisik - bisik tetangga mulai aku dengar dari teman - teman sekitarku.
Sebagian berkata, "kasihan Ain ! Dan sebagian juga berkata, ah itu salahnya dia ! Siapa suruh lahir sebagai anak haram ?."
Mereka masih melabeliku anak haram. Aku bahkan tidak mengerti dengan sebutan anak haram yang ditujukan padaku. Bagi mereka, mungkin mereka tahu arti dari anak haram tapi bagiku, aku bukanlah anak haram, kuhibur diriku untuk tidak memahami perkataan mereka padaku.
Jujur, aku menahan penderitaan yang begitu dalam. Tapi aku mencoba untuk tetap tidak menangis dihadapan semua teman - temanku. Aku harus kuat ! Jika aku menangis dihadapan mereka maka teman - temanku akan mengatakan bahwa Ain adalah anak yang cengeng.
Sehingga aku mencoba untuk mengangkat tanganku dihadapan guru - guruku, mencoba untuk berani berbicara kepada semua yang hadir, mencoba untuk mengutarakan rasa sakit yang bersembunyi diantara hati dan kedua kelopak mataku. Sekedar ingin berusaha mendamaikan jeritaan perasaan ini, perasaan yang sakit karena hinaan juga perasaan yang sakit karena ketidak mampuanku menerima hinaan itu.
"Apakah Ain bisa berbicara, Pak ?" kataku dalam gugup yang menata ruang kendaliku.
Seorang guru yang memang selama ini mengerti dengan keadaan batinku memberiku ruang untuk berbicara. Sementara guru - guru yang lain merespon tanpa tahu jeritan hayatan luka dalam dadaku.
"Silahkan nak Ain !" Bu Fatimah mempersilahkanku untuk berbicara didepan semua teman - temanku setelah kepala sekolah merespon."
Dalam keadaan tidak tenang, saat aku berdiri dari tempat kursi bangku sekolah yang aku duduki, seorang teman yang begitu jahil menarik tanganku. Dia berkata penuh ketidak baikan, "kamu ngapain mau bicara ? Duduk aja ! Tidak penting kamu mau menyampaikan keluh kesahmu didepan, kami semua sudah lama tahu bahwa kamu memang tidak punya orang tua."
Aku tetap diam mendengar celotehannya. Sambil menarik tanganku yang dia pegang, aku tetap berjalan maju ke depan. Aku tidak perduli, apa yang mereka katakan padaku, apakah aku adalah anak yang haram atau bukan, aku tidak perduli !. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang aku rasakan, apa yang aku alami dan apa yang membuatku menangis. Mungkin saja mereka tidak ingin melihat senyum di wajahku, tidak apa - apa ? Aku bisa tersenyum tanpa kalian lihat, aku bisa bahagia tanpa kalian lihat. Aku cuma melakukan apa yang menurut hatiku benar. Biarkan aku melihat senyuman teman - temanku saat mereka bisa hadir dengan orang tuanya. Bagiku, cukup menjadi diri sendiri menikmati momen perpisahan yang akan diadakan oleh pihak sekolah adalah kesyukuran terbesarku. Hadir dan tidak hadirnya orang tuaku, toh tidak akan membatalkan acara yang akan diadakan oleh pihak sekolah.
Akupun maju melangkah ke depan. Sesampai didepan, air mataku menetes. Kupandangi segala sisi arah ruangan sekolah. Aku melihat, wajah teman - temanku penuh ceria. Perpisahan kali ini di angkatanku mungkin adalah perpisahan yang cukup mewah. Aku tidak perduli dengan perpisahan ini, yang aku perduli adalah ketika semangatku tidak terlihat down didepan teman-temanku. Aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa aku kuat, aku bisa hadir ditemani Nenekku, aku bisa hadir di acara perpisahan dengan semangat yang sama dengan mereka.
Ucapan yang mulai aku bicarakan dihadapan guru dan teman - temanku, "terimakasih karena telah memberiku kesempatan ini, kesempatan ini adalah cara Tuhan memberiku kekuatan untuk menghadapi segala kenyataan selama aku menjalani hidupku sampai detik ini. Kepada guru-guruku, terimaksih karena telah memberiku ruang pembelajaran yang cukup istimewa bagiku. Dari kalian guruku, aku belajar banyak hal, belajar mencintai teman - temanku, belajar menjadi anak untuk menerima keadaan yang tidak dimiliki oleh teman - temanku. Aku bersyukur kepada Tuhan, walau aku tidak memiliki kedua orang tuaku setidaknya aku memiliki kalian semua yang hadir diruangan ini, aku punya kalian yang selalu memberiku kesempatan untuk senyum, sekedar mengutarakan pendapat isi hatiku, aku punya kalian yang bisa melihatku tertawa, menangis bahkan kecewa. Aku punya perasaan seperti kalian yang harus aku jaga setiap harinya. Tidak penting kalian mengatakan aku anak haram ataukah aku anak siapa ? Yang aku tahu, aku punya orang tua. Di hadapan kalian semua, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kelakuan rendahku yang mungkin karena kelakuanku itu hingga kalian terbiasa menyakitiku. Sebenarnya bagiku, aku merasa bahagia jika kalian menggangguku, kalian membuatku menangis adalah hal yang belum pernah aku dapatkan dari orang tuaku. Dari kalian aku belajar bagaimana menjadi seorang anak yang bisa bertahan dari kerapuhan, yang bisa berdiri saat kakiku kesakitan. Mungkin di acara perpisahan kita, aku tidak bisa bersama dengan orang tuaku. Aku ingin bersama kedua orang tuaku tapi akupun tidak tahu hendak kemana aku mencari mereka. Maafkan aku teman-temanku, maafkan aku guru-guruku yang ada disini."
Selepas penyampaianku didepan. Aku kembali ke kursiku, berjalan menundukan wajahku, menyembunyikan air mata yang jatuh dari kedua mata kecilku.
Aku tidak pernah mengira bahwa ungkapan, perkataanku barusan ternyata telah membuka, menerobos hati, jantung keras sebagian temanku. Sebagian dari mereka bertepuk tangan, ada yang memelukku, ada yang berkata jangan putus asa dan ada pula yang mengangkat jempol tangannya sekedar memberiku semangat.
Puncak tangisku meledak, suaraku bak bom adalah ketika guru-guruku memelukku dan masing-masing berkata, "Ain yang sabar ya. Kami, gurumu adalah orang tuamu. Jangan lihat kami sebagai guru tapi lihatlah kami sebagai orang yang mencintaimu, menyayangimu. Intinya Ain tetap semangat ya. Kamu tidak perlu bingung atau ingin hadir di acara besok itu bersama kedua orang tuamu. Kami disini ada untukmu, kami ada untuk menemani kebahagiaan Ain saat acara dimulai dan berakhir, kami ada disini bersamamu nak Ain."
Bagiku, apapun yang terjadi setelah ini adalah karunia dariNya yang tidak bisa aku abaikan. Apa yang guru-guruku bicarakan, mereka sampaikan hanya sekedar kasihan melihatku menangis, mereka iba kepadaku, mereka tahu bahwa aku sakit menahan luka, mereka menghiburku dengan cinta mereka agar aku tetap semangat setelah ini.
Tapi justru aku semakin jatuh kedalam lubang harapan yang tidak berujung. Setelah ini, setelah perpisahan tamatan sekolah benar-benar terjadi, aku tidak akan lagi mendapatkan kondisi ramai seperti ini disekolah.
Benar ! Di sekolah, aku sering mendapatkan hinaan tapi setelah perpisahan ini, aku akan kemana ? Kemana aku akan mencari tempat untuk sekedar menghibur hati yang lara ini ? Segalanya akan berubah setelah ini.
Roda waktu terus berputar. Akhirnya acara yang dinanti - nantikan juga telah tiba. Seperti datangnya kehidupan baru yang diharapkan oleh banyak orang. Mereka yang datang ke acara sekolah, masing-masing terlihat ceria, antusias di wajah mereka kekal selama acara berlangsung.
Hanya aku yang nampak tidak lengkap. "Tidak apalah" aku menghibur diriku sendiri. Kurang apa coba, Nenek hadir menemaniku sementara teman-temanku yang lain tidak bisa sepertiku. Mereka bisa hadir bersama kedua orang tuanya di acara ini tapi tidak bisa memanggil nenek-neneknya untuk ikut ke acara sementara aku bisa.
Olehnya, kita tidak bisa menyamakan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain. Kita juga tidak mungkin melihat apa yang orang lain miliki harus juga kita miliki. Semua hidup ini sama, semua hidup ini berbeda, aku sama seperti mereka, mereka sama sepertiku. Namun, mereka tidak paham bahwa aku dilahirkan memang kurang beruntung.

Bình Luận Sách (116)

  • avatar
    LUTFHI

    waw bagus

    5d

      0
  • avatar
    GirlApril

    baguss

    15d

      0
  • avatar
    ramdaniDani

    sangat baik

    23d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất