logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 Jika kamu tidak keberatan

*****
Malam ini sepertinya akan panjang. Rania yang tadinya ingin tidur, terpaksa membuka mata tetap terbuka. Rian mengajaknya mengobrol dan menanyakan banyak hal.
"Bagaimana kehidupan rumah tanggamu dulu, apakah kamu bahagia?"
"Haha ... pertanyaan yang aneh? Jika aku bahagia, tidak mungkin aku berada di sini."
"Benar juga. Kamu tidak akan menceritakannya?"
"Kamu sangat ingin tahu?"
"Emm."
Rania diam sejenak. "Mantan suamiku hanya orang biasa, kami bertemu waktu aku pergi berlibur ke Jepang. Pertemuan yang tanpa sengaja dan kami berkenalan. Dua bulan kemudian kami menikah di kampung halamannya. Awalnya aku merasa pernikahanku sangat bahagia, mertua juga terlihat baik."
Rian mendengar dengan seksama. Tumbuh rasa kesal saat Rania mengatakan tentang pernikahan.
"Dia bekerja di perusahaan ekspor impor, entah bagian apa. Dia tidak pernah cerita banyak hal urusan pekerjaannya. Di tahun pertama pernikahan masih baik-baik saja. Hingga ketika aku hamil, kami memilih tinggal sendiri. Setelah anak kami lahir, dia tiba-tiba berubah, tidak pernah perhatian. Setiap ada permasalahan tidak pernah bercerita. Ibu mertuaku yang selalu memberi tahu. Saat ia kehilangan pekerjaan, tabungan kami habis untuk biaya hidup."
"Kalian pernah mengalami kesulitan?"
"Ya, dan akhirnya kami sering bertengkar. Aku mengajaknya pulang kesini. Namun, dia menolak dan memilih tinggal di rumah ibunya. Aku mulai diperlakukan tidak adil, dipandang sebelah mata oleh ibu mertua dan ipar ku. Aku dianggap pembawa sial dalam keluarga itu. Kemudian aku memutuskan untuk pulang bersama anakku dengan alasan merindukan Mama, dan kami berpisah." Rania menghela nafas panjang dan mengakhiri ceritanya.
Walau cerita itu hanya berupa garis besarnya saja. Rian cukup mengerti bahwa Rania sangat tidak bahagia. Berapa banyak tekanan yang wanita itu rasakan? Seberapa sering ia merasa terabaikan? Rian sangat menyayangkan dan menyesalkan perpisahan mereka dahulu.
"Kenapa dia bisa berubah?"
"Entahlah, mungkin saja karena hasutan dari keluarganya yang menyalahkan aku membuatnya kehilangan pekerjaan." Tak nampak ekspresi apapun dari wajah wanita itu, dia terlihat santai dan sudah menerima kenyataan.
"Kenapa mereka menyalahkan kamu?" Suaranya bergetar, amarahnya bergejolak dalam kisah yang menyayat hati.
"Karena mereka pikir setelah kami menikah, mantan suamiku itu selalu mundur dalam pekerjaannya. Mereka menganggapku pembawa sial."
"Tidak ada yang seperti itu. Mungkin dia kehilangan pekerjaannya karena salahnya sendiri!" Rian terlihat menahan amarahnya.
"Mungkin, karena mereka masih menganut kepercayaan begitu sehingga aku disalahkan. Aku tidak pernah tau apa-apa, mungkin itu alasannya."
"Apakah dia ringan tangan?"
"Tidak sama sekali, tapi pernah beberapa kali dia pulang dalam keadaan mabuk. Karena aku tidak suka, kami sering tidur terpisah."
"Kamu tidak suka alkohol?" tanyanya penasaran.
"Tidak lagi."
"Tidak lagi? Jadi kamu pernah menyukainya?" Rian mengerutkan keningnya.
"Dulu pernah, ketika aku di Jerman."
"Jerman? kehidupan seperti apa yang kamu jalani di Jerman?" Pria itu tampak antusias.
"Hahaha … apakah aku harus menceritakan yang itu juga?" Ia mendelik, merasa enggan untuk melanjutkan
"Jika kamu tidak keberatan."
"Oow … tidak, yang kamu tanyakan hanya mengenai pernikahanku dulu. Untuk yang itu aku masih belum bisa cerita."
"Apakah, itu sangat menyakitkan? kamu pasti mengalami hal buruk, lukamu pasti masih membekas, dan ingin menguburnya saja. Begitukah?"
"Ya, bisa dibilang begitu." Rania mengangguk pelan dan mengalihkan pandangannya ke langit-langit.
"Ya Tuhan, Ra. Hal mengerikan seperti apa yang pernah kamu alami? Aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya kamu dulu. Seandainya kita tidak berpisah seperti itu, mungkin kamu tidak akan menderita." Rian menarik Rania dalam pelukannya. Membayangkan penderitaan seperti apa yang telah Rania alami. Ia menahan genangan air mata yang hampir menetes.
"Kamu menyesal?" Wajah Rania tepat berada di dada bidang pria itu.
"Iya, aku menyesal. Aku tidak sempat mengatakan padamu bahwa aku sangat mencintaimu. Aku menyesal cintaku datang terlambat padamu." Dihirupnya harum puncak kepala Rania, lalu dikecup berkali-kali.
"Tidak ada yang perlu disesalkan, Ri. Tuhan telah membagi jalan kehidupan manusia secara adil, takdir masing-masing sudah ditentukan. Bisa bertemu dan berpisah begitu saja, lalu akan bertemu lagi," jelasnya dengan suara pelan dan lembut.
"Ya, kamu benar. Mungkin setelah pertemuan kita kali ini, Tuhan akan menakdirkan kita untuk bersama."
"Emm, semoga saja. Hanya Tuhan yang tahu."
Rian diam sesaat. "Siapa namanya, pria tidak bertanggung jawab itu. Apa kamu masih mencintainya?"
"Anjas. Entahlah, cinta itu bisa datang dan pergi kapan saja,"
"Dulu kamu mengatakan bahwa, 'cinta yang sebenarnya akan mengikat jiwa, memenuhi semua pikiran. Cinta memiliki ruang tersendiri di dalam hati.' Bagaimana itu, apa jiwamu telah terikat pada cintanya, jadi kamu akan terus memikirkannya?" Pelukannya dipererat, suara lirih menanti jawaban.
"Kamu mau tahu?" Rania mendorong tubuh mereka sedikit menjauh.
"Apa?"
"Hanya satu cinta yang bisa mengikat jiwa seseorang. Tempatnya tidak akan berubah di dalam hati. Itulah cinta yang sebenarnya, cinta sejati. Sedangkan cinta yang lain, bisa berada di bagian mana saja di dalam hati. Bisa datang dan pergi begitu saja," ucapnya seraya menunjuk bagian dada, tepat letak jantungnya.
"Jadi, jiwamu belum terikat sama sekali?" tanya Rian penasaran.
"Emm, entahlah." Rania mengedikkan bahunya. "Menurutmu?"
Pria itu menatap penuh keyakinan. "Jika belum, aku yang akan mengikat jiwamu." Rian kembali mendekap wanita itu, menyandarkan kepala Rania ke dadanya yang berdegup kencang.
'Sudah sejak lama Rian … hanya saja aku sudah menyimpannya, kunci hatiku entah hilang kemana. Kamu harus mencarinya dahulu,' batin Rania, ia memejamkan mata. Detak jantung pria itu membuatnya merasakan ketenangan.
"Emmm …," jawabnya tanpa suara. Rania sudah menguap beberapa kali, matanya sudah sangat mengantuk.
"Aku akan menjadikanmu ratu. Membahagiakanmu seumur hidupku." Sambung Rian dengan lembut, tidak balasan."
"Bisakah kamu menceritakan tentang putrimu? Dia pasti cantik seperti kamu, siapa namanya?"
Pria itu tampaknya masih ingin mendengar ceritanya. Tapi matanya benar-benar tidak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya Rania terlelap begitu saja.
"Hei, Ra … kenapa diam? Rania …."
Rian mengintip mengangkat sedikit kepalanya, ternyata Rania sudah tidur. Ia tersenyum, dituntunnya tangan wanita itu meletakkan di pinggangnya. Rania tanpa sadar mengetatkan pelukannya. Rian mengecup kening serta bibir Rania sekilas.
"Tidurlah, waktu kita masih banyak untuk menceritakan semuanya," ucapnya berbisik.
Cukup lama Rian memandangi wajah cantik wanita pujaannya itu. Dibelainya setiap sudut wajah itu. Kening, alis, mata, hidung, pipi hingga bibir tipis itu. Rian begitu mengagumi kecantikan yang Rania miliki. Ia tersenyum berulang kali, dengan memegang dagu Rania ia mengecup bibir itu lagi dan lagi, Rian tidak merasa cukup. Rania melenguh sesaat, tetapi tidak membangunkannya. Kemudian Rian memperdalam kecupan itu menjadi lumatan demi lumatan kecil. Hingga ia merasa cukup puas. Matanya mulai dipejamkan, tidak lama Rian pun terlelap.
*****

Bình Luận Sách (263)

  • avatar
    Dye Issabilla

    sngt baik

    22/07

      0
  • avatar
    MoeJESSICA JESSY ANAK JISEM

    bagus

    31/10

      0
  • avatar
    SavitriNanik

    bagus sekali ceritanya🥰

    15/10

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất