logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Jadilah istriku

*****
Rania melihat ke sekelilingnya, takjub dengan kemewahan di dalam sana. Ini pertama kali ia melihat kemewahan seperti ini secara langsung.
"Duduklah dulu, aku mau bersih-bersih."
"Ehh, Rian tunggu, boleh pinjam charger handphone? Handphone ku mati dari tadi. Aku mau mengabari Mama."
Rian berjalan menuju lemari pajangan dekat TV, lalu mengambil changer di laci dan menyerahkan pada Rania.
"Jangan salah ngomong. Mama taunya kamu ditugaskan ke luar kota. Besok pagi baru pulang," ucapnya seraya menyerahkan charger.
"Apa maksudnya? aku menginap di sini?"
"Benar." jawabnya datar lalu masuk ke kamar.
"Rian!" Dengan kesal Riana menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Bagaimana ini, Cla bagaimana?"
Sambil menunggu baterai handphone cukup terisi, Rania merebahkan tubuhnya. Ia lelah, setelah pagi bekerja di toko, sore hari ia harus ke cafe. Ditambah dengan pertemuannya dengan Rian yang telah menguras energinya.
Lima belas menit kemudian, Rian selesai dengan ritual bersih-bersihnya. Tubuhnya terlihat lebih segar dan wangi. Dilihat Rania tertidur di sofa ruang tamu dan menghampirinya.
"Ra ... Rania, mandi dulu sana." panggil Rian lembut sedikit menunduk, Rania menggeliat membuka matanya. Ia sontak kaget saat melihat Rian ada di hadapannya, sangat tampan dan itu membuatnya tergoda.
"Su–sudah selesai mandinya? Suaranya tercekat, ia menetralisir pikiran nakalnya.
"Emm, gantian kamu, sana mandi."
"Tapi, pakaianku bagaimana?"
"Pakai punyaku dulu, bajumu sini aku cuci."
Rania pun menurut, dengan segera ia berlari kecil ke kamar dan masuk ke kamar mandi. Ia tidak mau ketahuan diam-diam mengagumi laki-laki itu. Rian tersenyum geli melihat tingkah Rania yang lucu.
Ketiak telah selesai, Rania keluar memakai piyama pendek yang sudah Rian siapkan sebelumnya. Jelas itu sangat kebesaran hingga terlihat sedikit belahan dadanya. Bawahan piyama itu menutupi lututnya dan ia tidak memakai dalaman.
Rian terpaku melihat Rania yang berdiri di depan pintu memamerkan penampilan, wajahnya merah padam. Ia langsung memalingkan muka dengan cepat.
"Stop! masuk ke dalam lagi," perintahnya saat melihat Rania mendekat, wanita itu pun patuh.
'Rasain kamu! memangnya bisa tahan kalau begini?' katanya dalam hati, Rindu cengar-cengir sendiri di belakang pintu.
"Ra ... size kamu berapa? tanya Rian dari depan pintu. Tanpa malu Rania pun menyebutkannya.
'Wow, cukup besar,' otak nakalnya mulai bekerja dan ia tersenyum. Rian menepuk pipinya sendiri agar tersadar dari pikiran mesum itu. Rian mengambil handphone lalu menghubungi asistennya untuk mengirim pakaian, piyama, serta dalamnya.
Tak lama seorang pegawai dari toko pakaian gedung itu mengantarkan barang pesanan Rian. Akhirnya ia bisa bernafas bebas, melihat pemandangan seperti tadi bisa membuat imannya jebol seketika.
Rania keluar dari kamar dan mengambil handphonenya. Sedangkan Rian masuk ke ruang kerjanya. Rania mencari kontak sang mama dan membuat panggilan video. Guna menanyakan kabar putri kecilnya.
"Hai, Sayang." Rania melambaikan tangannya ke layar.
"Bunda …! Kapan bunda pulang?" Clara yang sudah mulai bijak memanyunkan bibirnya.
"Bunda masih kerja, Cla sama oma dulu yah! Besok bunda pulang. Cla jangan nakal ya sayang."
"Iya, Bunda … Cla kangen, Bunda."
"Iya, Sayang. Bunda juga kangen, Cla baik-baik ya sama Oma."
"Iya, Cla janji mau nurut sama, Oma," jawab gadis tiga tahun itu dan mengangguk. Clara menyerahkan handphone pada omanya.
"Ra ... besok pasti pulang kan? Kamu hati-hati disana."
"Iya, Ma. Ra sedang istirahat di hotel."
Rania terpaksa berbohong pada mamanya.
"Ya sudah, kalau gitu. Clara juga sudah mengantuk, matikan dulu saja." Lia memutar handphone itu. "Cla, dadah dulu sama bunda."
"Dadah … bunda … muach!"
"Dadah … Sayang … muach."
Ternyata Rian melihat semua itu, tanpa sepengetahuan Rania. Ia terenyuh, melihat kedekatan Rania dengan gadis kecil yang lucu itu. Pasti sulit bagi Rania hidup tanpa pendamping. Mengurus anak yang masih kecil serta menjadi tulang punggung keluarga. Hanya laki-laki bodoh yang tidak bertanggung jawab yang sanggup meninggalkan keluarga begitu saja.
"Erghm …."
"Ah, Rian? Mengagetkan saja." Rian tiba-tiba duduk di sampingnya.
"Sudah selesai telponnya?"
"Sudah."
"Kamu sudah makan?"
"Belum"
"Tunggu sebentar, aku buatkan sesuatu." Rian bangkit dan pergi ke dapur.
"Kamu mau masak?" Rania mengekori langkah pria itu.
"Iya."
"Wow ... sejak kapan seorang Rian bisa masak?"
"Sejak Papa mengirimku kuliah di Amerika, aku dipaksa untuk mandiri, uang saku pas-pasan, bahkan aku harus bekerja sambil kuliah." Ceritanya seraya mengeluarkan bahan makanan.
"Benarkah?" tanyanya menaikkan pinggul di kursi mini bar.
"Kehidupan disana sangat sulit, beruntung aku bertemu Dion, dia mengajarkanku mandiri dan membantuku mencari pekerjaan. Dia satu-satunya teman terdekatku dan sekarang menjadi asisten kepercayaanku."
"Oo … kamu mau masak apa? Sini kubantu!" Rania melihat pria itu sangat terampil memakai pisau dapur.
"Boleh, bisa bantu menggoreng ikan?"
Rania pun bergerak cepat, mencuci ikan, membumbui dan mengoreng. Rian tersenyum memperhatikan setiap gerak geriknya. Sesekali mereka bercanda dan bercerita banyak hal.
Dulu waktu SMA, Rania suka memasakkan makanan untuk teman-temannya ketika datang kerumah. Rian selalu menghabiskan makanan yang dibuat Rania.
Rian menumis sayuran, membumbui dan mengaduk dengan gerakan lincah. Rania melihat dengan takjub. Cara pria itu menggerakkan spatula terlihat sexy dimata Rania. Rian mencubit hidungnya, ia tersentak setelah melamun. Mereka saling pandang dan tersenyum.
"Ok, siap!" Rian selesai menata makanan di meja.
"Rian, Ini minumannya." Rindu meletakkan glass teapot di meja. Teh hangat yang diberi irisan lemon segar, minuman kesukaan Rian sejak dulu.
"Kamu masih ingat kesukaanku?"
"Tentu saja," jawabnya tersenyum manis, Rian membalas senyum itu.
"Baiklah, ayo mulai makan!"
Mereka pun duduk dan mulai menikmati hasil masakan mereka berdua. Makan malam yang sederhana, Ikan goreng dan beberapa tumisan sayuran berbahan seafood.
"Mmmm … ini enak! hebat kamu bisa masak seenak ini. Seperti masakan chef profesional, kicau Rania dengan ceria.
"Benarkah? kamu bisa makan masakanku setiap hari jika kamu mau?"
"Oya?"
"Tentu, tapi ada syaratnya?"
"Syarat apa?"
"Jadi istriku."
"Prruuupp … huk … huk … huk .…" Rania tersedak tepat sedang mengunyah makanan. Rian bangkit lalu menepuk-nepuk pundak wanita itu.
"Hei, hati-hati … minum ini cepat." Rian mengambilkan minuman dan membantu Rania minum.
"Ini gara-gara kamu bercanda kelewatan!"
"Aku tidak bercanda," akunya saat kembali duduk.
"Hahaha, sudahlah, Rian." Rania sengaja tertawa untuk menghindari obrolan itu.
"Ra ... aku serius, alasanku datang mencarimu mau menjadikanmu istriku."
Rania melirik sebentar lalu membuang nafas dan memejamkan mata sesaat.
"Rian, aku sudah pernah menikah."
"Aku tahu."
Rania diam, ia tidak ingin melanjutkan obrolan. Tidak tahu apakah Rian serius dengan perkataannya. Rania menganggap itu hanyalah candaan. Rania pikir mungkin Rian sudah melupakan perasaannya, setelah bertahun-tahun tidak bertemu.
Kenyataannya tidak, cinta Rian tidak pernah berubah. Ia benar-benar tulus pada Rania sejak dulu. Tidak peduli wanita itu pernah menikah atau belum. Tidak ada yang berubah, bahkan cintanya semakin dalam sekarang. Rian pernah berpikir untuk hidup membujang ketika tahu Rania telah berkeluarga.
Tidak ada pembicaraan apapun lagi di antara mereka hingga selesai makan. Rania tampak kehilangan moodnya. Rian tidak ingin lagi merusak suasana. Dia membiarkan sementara menunggu waktu yang tepat untuk membicarakannya lagi.
*****

Bình Luận Sách (263)

  • avatar
    Dye Issabilla

    sngt baik

    22/07

      0
  • avatar
    MoeJESSICA JESSY ANAK JISEM

    bagus

    31/10

      0
  • avatar
    SavitriNanik

    bagus sekali ceritanya🥰

    15/10

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất