logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Masih saja galak

*****
"Baiklah, ayo duduk dulu." Rian menarik lengan Rindu dan duduk berhadapan. "Sekarang mari kita bicara. Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik-baik saja," jawabnya datar.
"Delapan tahun yang lalu kamu pergi kemana?" Rian berusaha tetap tenang.
"Aku ikut tanteku yang ada di Jerman."
"Kamu tahu? Aku kebingungan waktu itu, kamu tiba-tiba menghilang. Aku mencarimu mengelilingi setiap tempat di bandara."
'Tentu saja aku tahu Ardi, dan kamu seperti orang gila. Sebab itulah aku menjadi takut untuk menemui kamu,' jawabnya dalam hati.
"Hei, kamu dengar? Kamu tidak ingin tahu bagaimana kabarku? Bagaimana kehidupanku setelah delapan tahun lalu?"
'Tidak, aku memutus semua komunikasi waktu itu. Aku bahkan baru saja tahu kejadian delapan tahun lalu,' jawab batin lagi, mulutnya masih berat untuk bicara.
"Hei, bicaralah, kenapa kamu diam?"
"Emm ... Rian, maaf," Rania menundukkan kepalanya.
Rian seakan di hempas gelombang yang mendorongnya, ia tidak bisa menahannya lagi. Rian pun kembali menarik Rania kepelukannya. Kali ini air mata bercucuran begitu saja. Dikecup puncak kepala wanita yang sangat dirindukannya itu.
"Tidak, Sayang ... kamu jangan minta maaf. Aku yang seharusnya bilang maaf. Maaf atas kebodohanku. Maaf, maaf, Rania, cintaku datang terlambat." Suaranya yang khas terdengar parau.
Tanpa sadar Rania pun menangis. Pengakuan Rian membuatnya tersentuh. Cinta pertamanya sedang menangis di puncak kepalanya. Kulit kepalanya terasa basah dan hangat. Rania melingkarkan kedua tangannya ke punggung Rian, mendekap dengan erat.
Cukup lama mereka berpelukan melepas kerinduan mereka selama ini. Hingga akhirnya terdengar suara ketukan pintu, membuat mereka tersentak. Lalu melerai pelukan masing-masing.
"Pak Rian, apakah saya mengganggu?"
"Ahh, tidak apa-apa?"– 'ya sangat mengganggu," Sambungnya dalam hati.
"Rania, kamu harus kembali bekerja sekarang." Pemilik cafe itu melihat Rania dari atas hingga bawah.
"Bisa pak."
"Pak, Rian ... maaf saya harus bekerja." Rania mendelik pada Rian. 'Sebaiknya kamu pergi saja. Lain kali kita bicara lagi.'
Rian mengerutkan keningnya, raut wajahnya masam. Ada kemarahan di sana, ia menolak untuk pergi.
"Pak David, mulai hari ini Rania tidak bekerja lagi di cafe ini. Saya akan mengirim seseorang untuk menggantikan Rania malam ini, saya tidak menerima penolakan," ucap Rian dengan wajah dindingnya, tegas dan sedikit menakutkan. Nadanya penuh ancaman.
"Rian, maksud kamu apa? Jangan seenaknya kamu!" bisik Rania mendekat ke pria itu.
"Ba–baiklah, Pak Rian."
Kemudian si owner menoleh pada karyawannya. "Rania, kamu boleh berhenti bekerja. Untuk bayaran kamu malam ini saya akan transfer."
"Hahh, tapi pak? 'A–apa yang terjadi? Kenapa pak David begitu patuh pada Ardi?' batinnya kebingungan.
"Baik, kalau begitu saya permisi." Si owner keluar dari ruangan.
Rian tampak tidak merespon sama sekali. Ranja yang keheranan membulatkan mulutnya. Rian mengeluarkan handphone dari kantong celananya. Lalu menghubungi seseorang.
"Dalam waktu sepuluh menit kirim seseorang untuk bekerja di sini malam ini." Panggilan dimatikan dan menyimpan handphonenya kembali.
Rian menoleh pada Rania. "Ambil barang-barang kamu, kita pergi sekarang."
"Apa apaan sih kamu? Main perintah seenaknya? Aku masih butuh pekerjaan ini!" protes nya tidak terima.
Rian tidak menggubrisnya, ia hanya fokus mencari tas Rania dengan ekor mata. Setelah melihat ada tas di pojokan sofa, langsung diambilnya.
"Hanya ini barang milikmu?"
"Iya."
Sudah cukup kesabaran Rian sampai disini. Pergelangan tangan Rania ditarik keluar dari tempat menyebalkan ini. Melihat emosinya, banguna cafe ini bisa diruntuhkan.
"Hei, Rian ... pelan-pelan."
Terpaksa Rania mengikuti kemauan pria ini. Dengan terseok-seok Rania menyamakan langkah mereka. Ia melirik penampilan Rian yang telah banyak berubah, semakin tampan. Tubuh temannya ini jauh lebih tinggi dari jaman SMA dulu. Tubuh Rian sekarang tegap dan berotot, sangat proporsional. Berbeda dengan Rania, tinggi badannya sekarang tidak berbeda jauh dari jaman waktu dulu. Dulu ia kurus langsing, kecil dimana-mana. Sekarang membengkak depan dan belakangnya, lebih berisi. Namun, terlihat lebih terlihat cantik.
_____
Saat di perjalanan Rania hanya diam. Masih kesal dengan kelakuan Rian barusan. Tidak terbayangkan bagaimana malunya Rania ketika tangannya ditarik di hadapan teman-teman dan pengunjung cafe. Pandangannya hanya mengarah ke jalanan yang ramai, Rian meliriknya sesaat.
"Kamu marah?"
"Menurut kamu?" tanyanya kembali dan bersedekap.
"Maaf, aku harus keluarkan kamu secepatnya dari sana." Rian menoleh sebentar lalu kembali fokus ke jalanan.
"Kenapa kamu jadi seenaknya begini? Apa alasannya aku harus ikut kemauan kamu? Sekarang kita mau kemana, kamu mau bawa aku kemana?" Nada bicaranya meninggi.
"Hahahaha, masih saja galak seperti dulu." Pria itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Apa?" tanya Rania sinis.
Rian menepikan kendaraannya.
"Tenang, Nona cantik," ucapnya lembut seraya mengacak puncak kepala Rania, lalu tersenyum gemas.
"Hiiihh ... apaan sih!" Rania terlihat jengkel lalu merapikan rambutnya kembali.
"Hahaha … benar, persis seperti itu, tidak berubah sama sekali," Hidung wanita itu dicubitnya.
"Aauu ...." Rania mengeluh dan terdiam meraba-raba puncak hidungnya, ia berpikir sejenak, 'Emm … benar, seperti kembali ke masa lalu' Ia menoleh Rian sesaat dan tersenyum.
"Masih marah lagi? Sudah bisa senyum?" goda Rian.
"Emm …." Dengan cepat Rania mengubah ekspresi wajahnya jadi datar.
"Kamu tahu siapa David?" tanya Rian dan Rania menggeleng.
"Dia itu pria hidung belang. Kamu lihat bagaimana caranya memandang ke arahmu? Dia bisa menerkam kamu kapan saja. Sebab itu aku harus membawamu pergi secepatnya," tuturnya lembut.
Bola mata Rania membesar, mulutnya terbuka. Ia membayangkan apa yang akan terjadi jika Rian tidak membawanya pergi. Lalu ia menggeleng menghilangkan kemungkinan buruk yang ia bayangkan.
"Sudah, jangan perlihatkan ekspresi wajah yang seperti itu," ucapnya gemas melihat tingkah Rania.
"Kenapa?"
"Menggemaskan," jawab Rian sekenanya tapi jujur, ia seperti kembali ke masa lalu.
"Hiiihh … cowok resek!" Sebuah tonjokan mendarat di lengan Rian yang berotot.
"Auuu … gadis galak!" Ia mengusap lengan dan cemberut. Mereka saling pandang lalu terdiam.
"Hahahahahaha … hahahaha!"
Dengan serentak mereka meledakkan tawa. Sangat lucu, bisa kembali bergurau seperti dulu saat sudah dewasa sekarang terasa sangat aneh bagi mereka. Rania memegangi perutnya, Rian memukul-mukul setir.
"Sudah, sudah, kita bukan remaja lagi," Rania menghentikan tawanya.
"Ok, kalau gitu kita ganti cara yang lebih dewasa." Senyum Rian nakal melihat wanita di sampingnya.
"Maksudnya?"
Rian menaikkan alisnya naik turun dengan senyum menggoda. Rindu mendelik pada Rian.
"Apa?! tanya dengan nada mengancam.
"Tidak, tidak apa-apa." Rian mengalihkan pandangan. Tatapan mata Rania seakan menyihirnya. Ia pun kembali melajukan mobilnya dan mereka terdiam sesaat.
"Rian, kita mau kemana?" Rania mengedarkan pandangan ke jalanan.
"Ke apartemenku."
"Hah, apa? Aku mau pulang sekarang!"
"Tidak bisa, kita sudah sampai … itu di depan apartemenku."
"Tapi aku harus pulang Rian ... keluarga aku menunggu dirumah. Mereka bisa khawatir!"
"Tenang saja, sudah ada yang atur."
Rian terus melajukan mobilnya hingga ke tempat parkir dalam gedung.
"Apa maksudnya?"
"Sudah, ayo turun. Aku butuh penjelasanmu mengenai yang terjadi delapan tahun lalu."
"Ta–tapi .…"
Rian memaksa Rania keluar dan menggandeng masuk ke dalam lift. Rania diam cemberut. Saat tadi di luar gedung Rania melihat bangunan apartemen ini tinggi, entah ada berapa lantai. Dan sekarang Rian membawanya ke lantai paling atas.
*****

Bình Luận Sách (263)

  • avatar
    Dye Issabilla

    sngt baik

    22/07

      0
  • avatar
    MoeJESSICA JESSY ANAK JISEM

    bagus

    31/10

      0
  • avatar
    SavitriNanik

    bagus sekali ceritanya🥰

    15/10

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất