logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Love Brother

Love Brother

Reriang


Chương 1 Serangan Tiga Rudal

Zoya berjalan perlahan menghampiri kakak laki-lakinya yang sedang duduk di balkon. Dengan ragu-ragu, ia seakan-akan menyeret langkahnya untuk mendekat. Debaran jantungnya membuat darah mengalir lebih deras ke sekujur tubuh. Peluh pun membasahi telapak tangan dan kaki gadis itu.
Akan tetapi, niatnya sudah sangat kuat untuk mengatakan kebenaran yang sedang terjadi. Ia lelah menjadi gadis single dari tahun ke tahun. Setiap ia berkumpul bersama sahabat, hanya ia sendiri yang selalu datang tanpa pasangan.
Kini, ia telah memiliki Alden di sisinya. Walaupun ia tidak mendapat izin untuk berpacaran dari sang kakak, kali ini ia nekat untuk menerima pernyataan cinta pria itu.
Suara sepatu flat milik Zoya terdengar nyaring untuk ruangan yang hening. Sakti bisa menebak kalau sang adik sedang menghampirinya dengan perasaan ragu-ragu. Biasanya gadis itu akan berseru dulu, sebelum tubuh mereka saling bersisisan.
"Ada apa?" tanya Sakti memecah gugup sang adik.
Gadis itu terperanjat. 'Bagaimana ia tau kalau aku akan menghampiri?' gumam Zoya yang membuat nyalinya semakin ciut.
"A … apa Kakak ada titipan? Aku mau ke butik, nanti sore." Dia mengucapkan kalimat asal. Padahal sudah berpuluh-puluh kali ia latihan. Namun, semuanya menguar dari lidahnya.
"Butik? Milik Tante Vindy? Apa di sana menjual celana dalam? Kakak butuh enam, yang baru. Biasa, warna abu-abu."
Pria itu terkekeh, lalu menoleh ke belakang tempat sang adik mematri langkah. "Ada apa? Apa ada hal serius di butik itu?" sindir Sakti yang sangat tahu kalau adiknya tengah berbohong.
Walaupun kakaknya tertawa, Zoya tetap gugup dan mencoba lagi memasang niat awal.
"Sebenarnya, aku ingin …."
"Apa? Apa adikku yang manis seperti kelinci ini akan bercerita bagaimana ia baru saja jatuh cinta pada seorang pria?"
Zoya pun terperangah. Mulutnya menganga dan napasnya seolah-olah berhenti.
"Bagaimana kakak bisa tau?"
Tawa dari wajah Sakti pun lenyap seketika. "Kau sudah tau jawabannya. Sekarang pergilah!"
Pria itu kembali menatap ke depan dan memunggungi sang adik. Namun, Zoya tidak mau lagi mundur karena mereka sudah terlanjur membahas.
"Tapi, Kak. Dia beda. Dia sangat baik."
"Beda? Dengan siapa? Apa ukuran baik untuk seorang pria? Hanya meraba-raba tidak sampai meniduri. Apa begitu?"
Zoya menghela napas dan mengembuskan dengan kasar. "Apa kakak pria yang seperti itu? Bisa-bisanya Kakak mengukur semua pria dengan hal yang sama," protes Zoya dengan memanyunkan bibir mungilnya.
"Di sudut dunia mana pun, pria tetaplah pria. Semua sama saja," tegas Sakti.
"Apa hak Kakak membuat kesimpulan seperti itu? Alden pria yang baik. Aku mempercayainya."
Dada Zoya pun sesak menghadapi kelakuan sang kakak yang tidak pernah sejalan dengan keadaan. Tanpa ia perintah, lelehan air mata kini sudah membasahi pipi mulus dengan perona merah jambu itu.
"Jangan menangis. Kau tau aku membencimu saat menangis? Kau jelek, Zoya!"
"Biar! Lebih baik aku jelek daripada harus menjadi adikmu. Aku menyesali keputusan mamaku untuk menikah dengan Papa Handoko, hingga aku harus bersaudara dengan orang sepertimu. Egois!" Gadis itu berlari meninggalkan balkon dan berlari ke kamarnya.
Sari, pelayan rumah Handoko menegurnya yang berlari sambil menangis.
"Zoya, ada apa? Kenapa kau menangis?"
Sari mengejarnya hingga ke pintu kamar. Ia terhenti karena pintu itu dibanting dengan kuat, lalu dikunci dari dalam.
"Sakti! Aku benci dia, Sari. Aku benci!" ucapnya dalam isak tangis.
"Kau sudah menceritakan soal Alden kepadanya?"
Sari adalah orang kepercayaan Zoya. Pekerjaan utamanya adalah mengurus gadis itu. Walaupun hanya anak tiri, Handoko tetap menyayangi dan memenuhi kebutuhan Zoya, layaknya memperlakukan anak sendiri.
Tidak heran, jika semua yang terjadi pada Zoya diketahui oleh pelayan itu. Termasuk saat pertama kali Zoya berciuman dengan Alden.
Zoya tidak lagi menjawab pertanyaan Sari. Ia sibuk tergugu di balik pintu.
"Aku 'kan sudah bilang jangan beritahu dia dulu. Kau, sih, nekat."
"Tapi, dia kakakku. Aku tidak tahan untuk tidak berbagi dengannya."
"Sekarang kau lihat 'kan akibatnya? Dasar payah! Kalau kau tentara yang ikut berperang, pasti kau mati lebih dulu sebelum peluru musuh menembak."
Pelayan itu sewot, lalu meninggalkan pintu yang ia ajak bicara itu.
***
Zoya mengerjap-ngerjapkan mata. Sinar jingga matahari sore memaksa masuk melewati tirai-tirai di kamarnya.
Tanpa ia sadari, ternyata ia tertidur meringkuk di dekat pintu, tempat ia berbincang dengan Sari tadi.
Gadis itu berjalan dengan kepala yang terasa sakit menuju meja rias. Ia mengambil ponsel dan mencari nama Bela di kontak telepon.
Panggilan tersambung dan Bela pun menjawab, "Ada apa, Bodoh? Kau suka sekali menelepon di saat genting seperti ini," umpat sahabatnya itu.
"Bela … ini soal Sakti …." Ia kembali merengek bagai anak kecil yang baru saja bertemu badut.
"Astaga. Kenapa kau tidak menikah saja dengannya," jawab Bela dengan terengah-engah.
"Bela, kau sedang apa?" tanya tanpa menghiraukan apa yang dikatakan sahabatnya. "Apa kau sedang di treadmill?"
"Dasar anak bayi. Makanya kau harus mempertahankan Alden agar bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang ini."
"Memangnya apa?" Zoya berpikir sejenak sampai sesuatu mampir di kepalanya. "Apa kau dan Albert sedang …."
"Cepat matikan teleponnya. Aku sebentar lagi sampai."
Zoya tidak melakukan perintah Bela. Ia mendengar semua rintihan dan erangan yang keluar dari mulut sahabatnya itu di sambungan telepon.
Tubuh Zoya terasa panas dan ia menggigit bibir bawahnya seolah-olah sedang menahan sesuatu yang akan meledak sebentar lagi di bawah sana. Ia pun merebahkan diri dan mulai meraba bagian sensitifnya. Bagian tubuh yang belum pernah tersentuh oleh siapapun.
***
Handoko mengunyah dengan memperhatikan anak gadisnya. Gadis belia itu tampak murung dan tidak berbicara sama sekali semenjak mereka duduk bersama di meja makan.
Pria beruban itu mendeham, lalu bertanya pada sang istri yang fokus pada piringnya.
"Sayang, apa Korea Utara baru saja mengirim rudal ke rumah kita?"
Tiana, istri Handoko, mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu. "Aku tidak tahu. Tapi, dari bau-baunya, ini seperti tiga rudal yang diluncurkan dalam satu waktu."
Mereka berdua terkekeh, lalu memperhatikan raut kesal dari kedua anaknya.
"Kalian kenapa?" tanya Handoko dengan lembut pada mereka berdua.
"Kakak yang mulai dulu," tunjuk Zoya pada pria yang berada di hadapannya.
"Bukan. Kamu yang datang ke balkon."
"Pap, apa Zoya boleh punya pacar?" tanya gadis itu dengan wajah penuh harap.
Kedua orang tuanya menatap ke arah Sakti yang seperti tidak peduli dengan keadaan sekitar.
"Tanya Sakti saja," kata sang ayah.
"Kan … selalu saja!"
Gadis itu membanting sendok, lalu pergi meninggalkan meja makan.
Sang mama pun akhirnya buka suara karena merasa tidak adil sang gadis diperlakukan begitu. Wajar saja wanita yang sudah berusia 24 tahun untuk pacaran, bahkan kalau menikah pun sudah pantas.
"Sakti … coba beri dia kepercayaan sekali saja. Kasihan dia, pasti juga punya keinginan seperti teman-temannya."
"Tidak bisa, Ma. Sekali saja nanti dia rusak, tidak bisa dibetulkan lagi."
Sakti tetap teguh pada pendiriannya. Tidak peduli adiknya akan mendiamkannya atau mengamuk sekalipun.
***
Handoko dan istrinya sibuk menekuri kegiatan masing-masing. Sebelum tidur biasanya mereka akan berbincang tentang hal apa saja yang mereka lewati hari itu.
"Han, apa hanya aku yang merasa aneh dengan sikap Sakti pada Zoya?" tanya Tiana membuka percakapan.
Handoko yang dari tadi menggulir layar ponsel pun meletakkan benda pintar itu di sampingnya. Ia juga melepas kacamata baca dan meletakkan di atas nakas.
"Aneh bagaimana?"
"Apa … sebenarnya Sakti suka sama Zoya, makanya dia selalu mengekangnya? Mereka, kan, bukan saudara kandung!"
Handoko mendekat ke tubuh istrinya. Diraihnya tangan berjemari lentik itu dan menggenggamnya. Satu persatu jemari bercat nude itu dikecup hingga membuat Tiana meremang.
"Astaga, Han. Kau benar-benar nakal. Kita sedang membicarakan anak-anak. Jangan mengalihkan pembicaraan."
Handoko semakin mendekati wajah istrinya. "Biarkan saja mereka. Kalau besok mereka berbaikan, lusa mereka juga akan berperang lagi. Bukankah selalu begitu?"
"Iya. Makanya kita harus menyelesaikan masalah ini dan menemukan titik persoalannya."
"Tapi, kini aku yang sedang sedang bermasalah. Tidak bisakah kau menyelesaikannya sebentar?" Sebelah mata Handoko mengedip, membuat Tiana tidak bisa berkata-kata lagi, apalagi menolak suaminya malam itu.

Bình Luận Sách (323)

  • avatar
    ZahiraUlvia

    bagus

    2d

      0
  • avatar
    slayyymira

    bagus aku sangan menyukai cerita inii🤩

    7d

      0
  • avatar
    PnkAura

    aplikasi ini sangat bagus

    12d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất