logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Serupa Tapi Tak Sama

Serupa Tapi Tak Sama

MoreShinee


1 - Bad News

"Hah? Are you kidding? Yang bener aja, Val? Masa iya, kamu mau pindah sekolah?" Nadia terkejut saat Val memberi tahu akan rencananya pindah sekolah. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada pembahasan tentang hal itu sebelumnya, kini Val mendadak mengatakan akan pindah sekolah.
"Are you serious?" Vivian tak kalah terkejut.
Val dengan santai menanggapi pertanyaan temannya dengan anggukan singkat.
"Yakin, kamu mau pindah? Enggak tetep sekolah di sini aja, Val?" tanya Nadia. Gadis berkacamata itu mematung di sebelah Val sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
"Iya, Val. Kalau enggak ada kamu, kita bakal kesepian dong. Enggak seru, Val!" timpal Vivian.
Bagi teman-temannya, Val adalah sosok yang baik. Ia selalu siap membantu ketika salah seorang dari temannya mengalami kesulitan. Selain itu, Val merupakan siswi yang pandai di sekolah. Meski sambil bekerja paruh waktu, dia tidak pernah ketinggalan pelajaran atau bolos. Banyak guru dan teman yang mengagumi Val karena prestasinya.
"Kenapa sih pada bermuram durja kayak gitu?" tanya Maya yang baru saja memasuki kelas. Terlalu lama di toilet membuatnya ketinggalan berita. Dan gadis itu menyesal sekarang.
"Kamu mau tahu aja atau mau tahu banget?" Nadia mendelik ke arah Maya.
Maya merasa tak enak hati mendapati temannya menatap seperti itu. "Ya ... mau tahu banget lah. Aku kan enggak ngerti," desisnya seraya duduk di bangku dekat Val.
Val hanya menggeleng-geleng melihat ekspresi teman-temannya.
Nadia dan Vivian saling tatap. Sedangkan Maya tetap dalam kebingungannya sembari menatap temannya satu per satu.
Suasana kelas tidak begitu ramai karena jam istirahat sedang berlangsung. Karena itu Val sengaja memanfaatkan momen tersebut untuk memberi tahu teman-temannya tentang rencananya pindah sekolah. Lebih tepatnya, rencana sang ayah.
Pindah sekolah sebenarnya bukan kemauan Val. Tapi karena ibunya telah tiada, ayahnya tidak mengizinkan Val tetap tinggal berdua saja dengan Yolanda —adik sang ibu, yang notabenenya adalah kupu-kupu malam.
Akhirnya Val terpaksa menuruti kemauan ayahnya. Karena diam-diam, Val ingin merasakan keseruan hidup bersama dengan Vio —saudara kembarnya, yang belum pernah dia temui.
Ibu Val selalu semangat bercerita tentang Vio. Val tahu, dibalik gestur ibunya, ada kerinduan yang ia sembunyikan untuk anak gadis yang tidak pernah ditemuinya. Namun, kerinduan itu ia lebur dengan kasih sayang yang dicurahkannya kepada Val. Mungkin karena mereka kembar identik, jadi ibunya Val tidak begitu memikirkan apa yang ia rasa.
Pernah sekali, tanpa Val ketahui. Ibunya pergi menemui Vio. Namun, di luar dugaan, Vio begitu dingin terhadapnya. Bahkan, Vio sama sekali tidak mau menemui ibu kandungnya itu.
Karena kekecewaan itulah, ibu Val mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang. Namun, Val sama sekali tidak mengetahui tentang penyebab kecelakaan itu.
"Terus, kamu bakal pindah kapan, Val?" Nadia kembali bersuara.
"What? Val mau pindah? Pindah ke mana?" Maya terbelalak. "Serius kamu mau pindah, Val? Kenapa?" lanjutnya memberondong pertanyaan yang membuat Val bingung harus menjawab yang mana terlebih dahulu.
Lagi-lagi, Val dengan santai menanggapi ocehan teman-temannya. Bagi Val, kepindahannya bukanlah masalah besar. Toh selama dirinya masih 'ada', mereka masih bisa bertemu, bukan?
"Mamaku kan udah enggak ada, May. So, Papa minta aku tinggal sama Papa." Bibir Val mengembang. Ia sudah tidak sabar pindah ke rumah ayahnya dan bertemu dengan Vio.
Maya mencebik. Raut wajahnya berubah muram. "Jadi kamu mau pindah ke rumah Papa kamu? Enggak seru dong, kalau enggak ada kamu di sini," gerutunya dengan bibir manyun.
"Tapi ... menurut aku, emang lebih baik Val ikut papanya, sih. Soalnya kalian tahu sendiri kan, gimana Tante Yolanda? She's a bad woman," pikir Vivian.
Nadia manggut-manggut. "You're right."
"Tapi kamu bakal sering-sering ke sini, kan? Kamu enggak bakal lupain kita, kan?" Maya mengguncang-guncangkan bahu Val.
Val yang mendapat perlakuan itu justru tertawa. "Heh! Kamu pikir aku mau ke mana, sih? Aku kan cuma mau pindah ke Yogyakarta! Kita masih dalam lingkup satu negara, enggak sampe lintas dunia," ujarnya di sela tawa.
Maya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Iya juga, ya."
"Lola tuh jangan dipiara, dodol!" Dengan sadis Nadia menoyor dahi jenong Maya. Sementara Vivian hanya tertawa melihat sikap Maya yang selalu saja lembek dan tidak berani melawan ketika Nadia berbuat sesuka hati terhadap dirinya.
"Jangan gitu, Nad. Harusnya kamu baik sama May. Dia kan selalu jajanin kamu. Kebayang enggak sih, kalau enggak ada May? Pulang sekolah jalan kaki, loh!" seru Val yang tidak tega melihat tingkah polos Maya yang sering kali menjadi bulan-bulanan Nadia.
Nadia mendelik. "Habisnya kesel kan! Dari dulu lola banget! Suka telat mikir juga, enggak ngerti-ngerti kalau dikasih tahu. Kan sebel aku!" celotehnya sambil sesekali melirik ke arah Maya.
"Ya sorry, aku kan enggak mau kayak gini juga. Ini juga bukan kemauan aku buat tumbuh jadi cewek telmi," tukas Maya dengan wajah innocent.
"Udah, udah! Jangan galak-galak, Nad! Yang ada, nanti Maya mewek. Aku lagi yang bakal ditanya-tanya sama nyokapnya. Nasib aku yang tetanggaan sama Maya. Oh My God," sahut Vivian seraya menepuk dahi.
Selalu saja seperti itu. Setiap hari, tiada bosannya Val mendengar celotehan teman-temannya. Mereka berbeda sikap, berbeda prinsip, tapi masih bisa berteman karena merasa nyaman satu sama lain. Meski kedekatan mereka terkadang terlihat seperti sedang bermusuhan, tapi mereka tetap enjoy.
***
Seperti biasa, sepulang sekolah, Val menuju tempatnya bekerja paruh waktu. Ia bekerja di sebuah kafe sejak memasuki SMA. Tentu saja, hal itu berkat bantuan dari salah seorang teman ibunya. Jika tidak, mana mungkin gadis seusia Val bisa bekerja.
Awalnya, Val merasa bosan hanya diam di rumah saja setiap kali menunggu ibunya pulang kerja. Terlebih, dia merasa kurang cocok dengan Yolanda yang selalu saja melimpahkan pekerjaan rumah padanya. Karena merasa dirinya bukan pembantu, tentu saja Val tidak mau diperlakukan seenaknya. Hingga akhirnya Val memutuskan untuk mencari kegiatan di luar rumah.
Sesampainya di kafe, terlihat Mahendra —pemilik kafe, buru-buru keluar. Tampilan yang biasanya terlihat modis, entah kenapa menjadi sedikit acak-acakan. Ia berjalan sambil melihat layar gawai dalam genggaman. Entah apa yang dibacanya.
"Kenapa buru-buru banget, Kak?"
Laki-laki itu terkejut. Ia berhenti mendadak. Hampir saja ia menabrak Val jika saja gadis itu tidak menyapa.
"Ngagetin aja, kamu!"
Val meringis sambil mengacungkan jari membentuk huruf V. "Sorry," ucapnya.
"Aku mau ke rumah sakit. Nanti sebelum pulang, tolong bantu Nadine rekapan, ya?" pinta Mahen.
Val mengangguk cepat. "Oke," ucapnya setuju.
Mahen berlalu menuju mobil. Tak berapa lama, laki-laki itu melaju dengan fortunernya.
Tanpa pikir panjang, Val memasuki kafe, bekerja seperti biasa hingga waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB. Karena harus membantu Nadine rekapan, dia pulang sedikit terlambat dari biasanya.
Jarak kafe tidak begitu jauh dari rumah Val. Sehingga gadis itu bisa pulang dengan berjalan kaki. Setibanya di rumah, Val merasa bising dengan suara musik yang diputar dari ruang tengah. Tentu saja, Yolanda yang membunyikan musik itu keras-keras. Ia selalu saja membuat Val kesal.
Lama sebelum ibunya meninggal, Yolanda sering kali melakukan hal itu. Membawa teman laki-lakinya ke rumah tanpa sepengetahuan ibu Val.
Val berjalan perlahan memasuki rumah, ia menyumbat kedua telinga dengan jari telunjuk. Terlihat beberapa botol whiskey di meja ruang tengah. Beberapa puntung rokok tersebar begitu saja mengotori meja. Bahkan ada rokok yang masih mengepulkan asap dari dalam asbak yang entah kapan mulai berada di meja yang sama.
Val heran, bagaimana bisa Yolanda meninggalkan ruangan dalam kondisi seperti itu? Dengan geram Val mendekati sound system yang terletak di sisi TV. Belum sempat ia mematikan musik, terdengar suara cekikikan Yolanda dengan seorang laki-laki.
Perlahan Val melangkah, mencari sumber suara. Ia menuju kamar Yolanda, tapi kamar itu kosong. Val tidak menemukan siapa pun di sana. Namun, suara cekikikan itu masih saja terdengar. Val terus berjalan mencari sumber suara. Kali ini ia menuju kamar mendiang ibunya. Dari balik daun pintu yang tidak tertutup rapat, Val melihat apa yang seharusnya tidak dilihat. Val membekap mulut dengan kedua tangan.

Bình Luận Sách (635)

  • avatar
    cantikayang

    menarik aplikasi ini banyak cerita yang di dalam buku ini

    1d

      0
  • avatar
    intanfebiola07

    bagus

    1d

      0
  • avatar
    RamadhanGustian

    lipayan lahhhh

    2d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất