logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 5

"Bau harum apaan tuh?"
Kia meletakkan tas selempangnya di lantai lalu menghampiri Ben yang sibuk memasak di dapur. Tadi Ben memintanya datang dengan alasan penting ternyata laki-laki itu hanya memasak seperti biasanya. Kia menarik kursi kemudian mendudukinya sambil memperhatikan Ben dari belakang. Dia tersenyum kecil melihat keanehan sahabatnya sejak malam membeli cincin. Kia juga belum sempat menanyakan perihal hubungan Ben dan Eren, tapi dari sikap yang ditunjukkan laki-laki itu pertanda hubungan mereka sudah melangkah lebih jauh.
"Tumis kangkung, aku sengaja masak kangkung biar tidurmu nyenyak." Ben meletakkan piring berisi tumis kangkung tepat dihadapan Kia. "Lihat mata pandamu lebih parah." ucapnya lalu duduk di kursi samping Kia.
Kia memasukkan tumis kangkung ke mulutnya, rasanya lezat seperti masakan Ben yang lainnya. Dia iri pada laki-laki yang pintar memasak.
"Aku begadang ngerjain tugas biar keberangkatanku ke Jepang dipercepat." ucap Kia terus menyantap tumis kangkung. "Sebulan lagi aku berangkat Ben."
"Kenapa mendadak?" tanya Ben kaku.
"Biar nggak kelewatan sakura mekar."
Ben menghela napas berat. "Sakura nggak sepenting itu Ki, kesehatan kamu lebih penting. Seminggu yang lalu kamu di opname, aku nggak mau tante datang ke Surabaya terus culik kamu."
"Dia nggak bakal datang meskipun aku mati." ucap Kia pelan.
"Tapi aku nggak mau kamu kenapa-kenapa."
Kia tersenyum menggoda. "Aku mencium aroma cinta. Hubunganmu sama Eren berkembang pesat ya."
"Biasa aja." ucap Ben enggan.
Kia hanya mengangguk lalu kembali menyantap tumis kangkungnya sementara Ben tampak melamun. Suara petir bersahutan menandakan akan turun hujan padahal Kia sudah mewanti-wanti agar tidak menginap di rumah Ben. Namun, hujan mengacaukan semuanya. 
"Rain." gumam Kia pelan.
"Apa?" Ben terkesiap mendengar nama itu.
"Bukan apa-apa."
"Sebelum kamu berangkat ke Jepang. Aku mau buat permintaan sama kamu Ki."
"Apaan tuh?" 
"Temani aku ke Bromo."
"Ogah, aku nggak suka naik gunung." tolak Kia langsung. Dia memang tidak suka mendaki gunung atau kegiatan lainnya di luar ruangan. 
"Sekali ini aja." Ben mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Mau ya?" pintanya dengan nada memohon.
"Sama Eren?"
Ben menggeleng. "Cuma kita berdua."
Melihat tatapan memohon seperti anak kecil menyebabkan pertahanan Kia runtuh, dia mengangguk singkat lalu kembali menyantap makanannya.
"Ki, aku cuma buat pengandaian." Ben menatap Kia serius. 
"Maksudnya?" 
Bunyi petir meredam suara Ben sehingga Kia tidak begitu mendengar ucapan laki-laki itu. Ketika petir berakhir Kia hanya melihat Ben dalam diam, sama sekali tidak mengerti pengandaian itu. 
"Kamu ngomong apa sih Ben?" tanya Kia penasaran.
"Hujannya tambah deras kamu nginap di sini aja."
Kia merasa aneh dengan sikap Ben barusan. Setelah menyelesaikan makan malamnya, Kia mencuci piringnya dalam diam. Ben sedang menonton televisi dan menghindarinya setelah pertanyaan tadi. 
Laki-laki memang sulit ditebak.
Pikirannya melayang jauh pada kejadian di bandara saat bertemu Rain, sedang apa laki-laki itu sekarang? Kia menyesal tidak meminta nomor ponselnya dan kemungkinan saat ini rasa rindunya terobati. 
"Kia."
Piring yang dicucinya hampir terlepas dari genggaman ketika Ben secara tiba-tiba berdiri di belakangnya. Kia bisa merasakan hembusan napas Ben membelai tengkuknya, tapi dia enggan membalikkan tubuhnya dan melihat Ben dalam kondisi kacau. 
"Aku mau kamu di sini."
Oke, Ben semakin meracau dan Kia tetap mendengarnya, meski tangannya mulai gemetar saat Ben memeluknya dari belakang. Ini bukan pertama kalinya Ben memeluknya. Namun, malam ini terasa berbeda dan Kia merasa asing dengan sikap laki-laki itu.
"Lihat aku Ki."
Kia berbalik lalu menatap Ben dalam jarak dekat. "Kenapa?" tanyanya.
"Aku cuma buat pengandaian."
"Apa?"
"Misalnya aku cium kamu, gimana?"
Kia belum sempat mencerna pertanyaan Ben ketika wajahnya ditarik dan merasakan sentuhan lembut di pipinya. Lalu mendengar Ben berbisik di telinganya.
"Cuma pengandaian karena kamu bukan Eren." 
***
Hujan turun begitu deras mengingatkan Rain pada Surabaya serta kerinduan pada ibu dan kedua adiknya. Jeslyn, Jessica, dan ibunya yang pendiam, tapi apa yang bisa dilakukannya sekarang?
Rain tertawa kecil menertawakan kebodohannya menikah dengan Sarah. Lalu melihat perempuan itu bersama orang lain. Ternyata cinta atau tidak kedua hal tersebut sama-sama berkhianat.
Dulu Rain tidak perlu repot-repot mendengar penilaian orang lain tentang dirinya. Namun, setelah mengalami beberapa kejadian yang menurunkan harga dirinya, Rain mulai ragu dengan kemampuannya. Secara fisik Rain tidak terlalu buruk bahkan bisa dibilang di atas standar rata-rata. Banyak yang memujinya secara fisik, tapi kenapa hidupnya tidak beruntung?
Apakah takdir hidupnya sangat buruk?
Hujan bertambah deras disertai suara petir bersahutan. Rain masih berdiri di balkon melihat tetes hujan dalam lamunan. Sudah satu jam dia melakukan kegiatan itu, kakinya kebas karena terlalu lama berdiri. Pikirannya berkelana entah kemana mengingat apa pun yang dialaminya belakangan ini. Berada di negeri asing bersama ayah brengsek serta perempuan aneh yang menjadi istrinya. Rain seolah menjadi gila setelah melewati semua ini.
Tawa Rain kembali pecah, kali ini lebih keras seolah bebannya terangkat bila mengeluarkan tawanya. Dia tidak akan mengalami fase ini jika memilih tinggal di Surabaya alih-alih menerima tawaran Hari untuk menikahi Sarah.
Dua jam kemudian hujan mulai reda. Rain berjalan-jalan di luar untuk menenangkan diri. Tokyo sangat indah dan semua itu mampu mengalihkan perhatiannya. Rain memasuki sebuah kafe dan memesan secangkir kopi tanpa gula. Suasana tenang di kafe itu sedikit menurunkan emosinya Rain bersyukur menemukan tempat sebagus itu. Pengunjung yang datang juga tidak banyak hanya ada tiga orang termasuk Rain. 
Cangkir berwarna putih dihidangkan di meja asap masih mengepul mengeluarkan aroma kopi yang khas pantas saja para penikmat kopi rela mengeluarkan uang demi menikmati secangkir kopi.
Permasalahan yang berkelebat di kepalanya mulai menghilang saat Rain menyesap kopinya. Rasa pahit yang mengalir di tenggorokannya sesuai dengan hidupnya saat ini. Pahit dan gelap seperti kopi.
Menjelang malam kafe semakin ramai, Rain segera meninggalkan tempat itu karena tidak nyaman berbaur bersama orang asing apalagi dia tidak bisa berbahasa Jepang. Keinginan untuk belajar bahasa asing sirna terlebih keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Rain mengikuti keinginannya sendiri mengabaikan keinginan Hari. Lagipula Rain sudah menikahi Sarah dan laki-laki itu tidak akan memaksanya melakukan sesuatu di luar keinginannya.
Tiba di apartemen, Rain menemukan Sarah. Perempuan itu sedang sibuk di dapur begitu melihatnya memberikan seulas senyuman yang Rain sendiri enggan melihatnya. Tanpa repot-repot membalas senyuman Sarah dia segera memasuki kamarnya. Setelah membersihkan diri Rain menonton televisi mengabaikan Sarah yang duduk di sampingnya. Aroma parfum menguar dari tubuh perempuan itu. Jenis parfum yang tidak Rain sukai.
"Rain, kamu sudah makan malam?" tanya Sarah.
Rain menekan tombol remote mencari kesibukan untuk menghindari pertanyaan Sarah. Televisi menampilkan acara membosankan atau suasana hatinya yang tidak baik karena kehadiran Sarah.
Kenapa perempuan itu tidak pergi saja?
Rain mendengus dalam hati. Lalu kembali menekan remote mencari acara lain selain mendengar omong kosong mengenai laporan cuaca.
"Aku masak iga bakar, kamu makan dulu Rain." 
Rain masih diam.
"Aku bawa kemari biar kamu bisa makan sambil nonton."
Sarah beranjak dari sofa menuju dapur kemudian membawa piring berisi nasi dan iga bakar. Rain hanya menatap piring itu tanpa selera. 
"Masih panas aku letakkan di meja." ucap Sarah lembut.
Kenapa perempuan itu suka sekali berbicara? 
Rain mendengus dengan suasana hati memburuk. Secangkir kopi tidak mampu mengembalikan keceriaannya. Rain bangkit dari duduknya, tapi sebelum kakinya melangkah Sarah lebih dulu menahan tangannya. 
"Rain, kamu marah?"
Logat bicara Sarah terdengar kaku. Untuk pertama kalinya Rain memperhatikan hal sekecil itu. 
"Ayahmu memintamu datang ke universitas minggu depan. Dia sudah menyiapkan keperluanmu dan mungkin kita akan pindah apartemen." 
Sebelum Rain menjawab, Sarah buru-buru menambahkan. "Apartemen ini milik Alex dan sebelumnya aku tinggal di sini, tapi karena kita sudah menikah ayahmu membeli apartemen untuk kita. Rain, aku ingin menjalani kehidupan normal bersamamu, bisakah kita bekerjasama?" 
Rain melepaskan tangannya dari cengkeraman Sarah.
"Lakukan sesuai keinginanmu." ucap Rain dingin.
"Rain aku minta satu hal darimu. Bisakah kamu merahasiakannya dari ayahmu?" 
Rain mengangguk.
"Jangan katakan tentang hubunganku dan Alex."
Terang-terangan meminta Rain untuk menyimpan rahasia perselingkuhan itu. Sepertinya Sarah memang berniat melanjutkan hubungan gelapnya. Rain kembali mengangguk enggan menanggapi ucapan Sarah. Perempuan gila itu kenapa harus menjadi istrinya?
"Rain aku juga minta satu hal darimu." Sarah memeluk Rain dari belakang dan mengalungkan tangannya di pinggang laki-laki itu. "Jadilah suamiku yang sesungguhnya."
Rain diam dengan menahan rasa mual.
***

Bình Luận Sách (214)

  • avatar
    Bento99Yaksa

    bagus

    8d

      0
  • avatar
    NoSono

    baik

    10d

      0
  • avatar
    EttoyHendar

    bagus

    25d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất