logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Game Over, 05

"Bangsat!"
Itu makian pertama yang April keluarkan kemudian disusul makian lain begitu kata, 'gue cuma bercanda' keluar dari mulut Saima.
"Emang, ya lawaknya orang yang kebanyakan ngemilin buku levelnya beda. Bukan main, nggak bikin ketawa tapi bikin jantung rasanya mau copot!"
"Segitunya?"
April melotot tak habis pikir. "Untung nggak copot beneran! Kalo beneran, gue benar-benar bakalan gentayangin lo karena bikin gue mati cepat padahal gue belum mulai misi glow-up ala-ala anak toktok biar itu mantan gue yang kek, guguk nyesel mampus karena ninggalin gueee!"
Saima nyengir tetapi terlihat meringis di saat yang sama. Ia tidak berkata apapun namun tangannya bergerak menarik tisu lantas sigap membersihkan kekacauan yang April perbuat karena penyebabnya.
"Bodohnya gue segala kaget." April mendengus. "Padahal yang lo omongin ini tuh, Jaendra Eka Maharga yang jelas-jelas bukan sejenis manusia jadi-jadian kaya mant—shit, bener-bener nggak sudi gue anggap dia mantan tapi gimana? Kenyataan emang gituuu?! Dia brengsek, udah selingkuhin gue! Kampret! Tuhkan jadi inget ... jadi pengen nangis, kan gue ..."
Saima memandang April dengan sesal yang mulai tercipta. "April ... gue nggak bermaksud—"
"Iye, iye, gue tahu, Beb." April memotong. Kini raut wajah gadis itu kembali baik walau sepasang mata tersebut masih berkaca-kaca. "Lagian kenapa, sih lo? Dapet ilham dari mana sampe niat nge-prank gitu?"
Saima tidak langsung menjawab. Ia mengambil jeda untuk membasahi bibir bawah sebelum mengendikan bahu. "Kak Niken suka Jae."
"Jawaban lo nggak nyambung anj—what? Lo bilang apa tadi? Kak Niken suka sama cowok lo?!"
Saima mengangguk. "Kelihatan jelas."
"Demi?!" April memekik namun setelahnya gadis itu menghela nafas. "Gue tahu cowok lo ganteng, Sai, dan nggak sulit buat para cewek naksir ama doi. Seharusnya sih, gak mengherankan kalo kak Niken juga jadi salah satu dari mereka tapi yeah ... gue tetap kaget meski gue seharusnya merasa terbiasa dan bosan ... maybe? Abisan gimana, ya setiap ketemu orang or kenalan baru yang berjenis kelamin perempuan, pasti! Mereka nggak mungkin nggak naksir sama Kak Jaendra, hadeh! Benar-benar lelaki berbahaya."
"Perasaan Jae gak se-luar biasa itu padahal," sanggah Saima.
"Trus, apa yang bakal lo lakuin  sama kak Niken yang kata lo suka sama kak Jaendra?"
Saima menggernyit. "Emang gue harus ngelakuin apa?"
April menatap datar.
Saima menghela nafas. "Ini  bukan kali pertama gue tahu kalo ada cewek yang suka sama Jae."
"Tapi, Sai. Kali ini cewek yang suka sama Kak Jaendra beda dari yang lain."
"Gue nggak menemukan perbedaannya."
"Beda Saima!"
"Bedanya?"
"Seperti yang tadi gue bilang, Kak Niken itu ratu kampus. Dia itu kalo diibaratkan pasti jadi Kak Jaendra versi cewek."
"Masalahnya?"
"Kak Niken berada di atas lo."
Saima menatap April.
"Hehehe, dikit. Dikit banget. Cuek lo deh kurang-kurangin makanya."
"..."
"Bukan cuma itu aja." April melanjutkan. "Dengar-dengar Kak Niken juga sering dijodoh-jodohin sama Kak Jaendra."
"Tau dari mana?"
"Gue stalking, hehehe."
"Lo ternyata punya banyak waktu luang," sindir Saima.
April mengibaskan tangan. "Nah, lho? Apakah anda mulai khawatir?"
"Semua orang berhak punya pendapat masing-masing." Saima menggeleng. "Dan, seluar biasa apapun lo ngegambarin Kak Niken pun, nggak bisa menutup fakta kalo dia tetap manusia."
"Jadi lo ngga khawatir?"
"Gue udah terbiasa."
"Nggak seru banget," keluh April. "Kali-kali lo jadi tokoh yang kaya di sinetron, kek yang kalo ada cewek yang suka sama cowok lo—lo langsung ngelabrak plus ngacem-ngancem! Seru keknya bayangin ekspresi wajah lo yang gitu-gitu aja jadi melotot-melotot kaya orang nggak sengaja nelen beling."
"Drama banget," komentar Saima. Sepertinya ia perlu memberi penjelasan.
Baiklah.
"Menyukai itu hak semua orang, Pril. Lagian kayanya nggak banget kalo gue ngelarang mereka buat suka sama Jae." Mereka yang ia maksud di sini jelas para gadis yang pernah menyatakan rasa sukanya pada Jaendra dengan menemuinya secara terang-terangan atau mereka yang hanya mengutarakannya lewat DM Instagram. "Emang gue siapa? Pacarnya Jae? Oke, noted. Tapi, apa itu cukup?"
April berdecak tak setuju namun gadis itu tak melakukan apapun untuk menyangkal dan memilih kembali berkata, "Ganti topik. So, apa maksud bercandaan lo yang sangat nggak lucu tadi? Kak Jaendra selingkuh? What the hell! Sebenarnya apa yang ada dipikiran lo sih, Sai?"
Saima tidak berharap April akan benar-benar lupa mengenai perihal bercandaannya tersebut, tetapi ia juga tidak menduga sahabatnya akan memperlihatkan raut yang seakan menunjukan padanya ... kalau ia, telah melakukan kesalahan besar.
Lalu, untuk kesekian kali decakan kembali April lakukan begitu mendapatinya mengendikan bahu. Well, Saima memang tidak memiliki alasan tersendiri. Semuanya murni iseng. Toh, ia juga sama sekali tidak berharap kalau April akan tertawa terbahak-bahak karenanya bukan malah kaget seperti itu.
"Saima, Saima, Saima. Lo tuh, benar-benar—arghhh." April mengangkat kedua tangan ke udara, seolah sedang mencekik. "Jaendra selingkuh beneran baru tau rasa! Bisa apa lo? Hah?!"
"..."
"Nangis kejer seakan dunia mau berakhir?!" Tanya April, masih menggebu-gebu.
"Gue bukan lo."
April mengumpat.
Saima menggeleng. "Well, respon yang mainstream banget dan gue, sama sekali nggak tertarik untuk  melakukannya."
April melirik sinis, lalu bibirnya bergerak mengulang kalimat yang Saima katakan dengan nada malas sebelum bertanya remeh, "Masaaa, sih?"
Saima terkekeh, namun selepas itu anggukan juga tatapan mantapnya tetap ia perlihatkan.
Saima meneguk habis minumannya yang memang tinggal separuh. Tatapannya tertuju ke arah lain—nampak wajah cantik namun minim ekspresi tersebut seperti sedang memikirkan sesuatu.
Kemudian, diantara suara sedikit gaduh oleh gerombolan orang yang baru masuk ke dalam ćafe, Saima kembali bersuara. Pelan tanpa menoleh.
"Trust me."
***
"Kamu hati-hati ya, di rumah. Inget, belajar boleh asal jangan sampe kurang tidur apalagi lupa makan. Kesehatan itu penting."
Saima mendengarnya tetapi tidak memberi respon apa-apa, yang ia lakukan hanya berdiri menonton ayahnya yang sedang memasukan koper ke dalam bagasi mobil dengan Jaendra yang ikut membantu.
Terlalu asik, sampai-sampai Saima abai pada sosok yang masih terlihat cantik diusianya tersebut yang kini menatap ia kesal.
"Saima Adara ... "
Saima menoleh, menatap sang mama tanpa ekspresi yang berlebih. "Iya, Ma." Ia menyahut sekenanya yang membuat mamanya geleng-geleng.
"Kamu ini, jangan cuma iya-iya aja dong. Bilang apa, kek," protes Mama Saima.
"Malas."
"Ini mama mau pergi, lho Saima. Kamu nggak mau ngucapin minimal  hati-hati gitu sama mama?"
"Hati-hati."
"Idih, nggak niat banget kamu," gerutu mamanya yang tidak Saima pedulikan. Wanita itu tampak memutar tubuh, berbicara dengan ayahnya sebelum memanggil Jaendra untuk mendekat.
Jaendra tersenyum lebar, pemuda itu segera mengambil tempat berdiri di samping Saima.
"Aduh, makasih lo Jaendra udah bantu-bantu. Baik banget sih, kamu."
Saima bisa mendapati bagaimana mamanya menepuk pundak Jaendra berlebihan sementara pemuda itu sendiri hanya mengusap tengkuk. Mungkin merasa malu, atau bisa saja terlalu senang.
"Sama-sama tante."
Jaendra tersenyum lebar, mencetak jelas dua lesung pipi tersebut membuat mama Saima kian tersipu-sipu. "Kebetulan saya juga lagi senggang dan nggak ada kelas jadi bisa bantu-bantu."
"Duh, emang paling bener kamu yang jadi pacarnya Saima. Udah ganteng, baik, ramah lagi."
Jaendra menggerling pada Saima yang menatap datar.
"Coba kalo pacarnya Saima yang sejenis papanya—sama-sama kaku. Udah, langsung bubar."
Saima juga papanya yang berdiri di samping sang mama sama-sama mendengus malas.
"Nah, nah. Kamu bisa lihat sendiri, kan? Kompak banget mereka." Mama Saima geleng-geleng.
Jaendra tertawa.
Mama Saima menatap jam di pergelangan. "Kita harus berangkat sekarang nih, Pa." Sementara yang sedang diajak bicara itu mengangguk setuju. Tidak mengatakan apa-apa tetapi tangan tersebut terulur menyentuh pucuk kepala Saima yang tersenyum kecil.
"Inget apa yang tadi mama bilang."
Tidak mau memperpanjang, Saima segera mengangguk. Mengiyakan perkataan tersebut yang sayangnya respon yang ia berikan tidak membuat mamanya merasa puas.
"Beneran?"
"Iya."
"Ah, nggak percaya mama."
Saima menatap jengah dan Jaendra terkikik geli di sebelahnya.
Saima melirik tajam. "Jae ..."
"Oke, oke, aku diem."
Bohong. Karena nyatanya Saima masih bisa mendengar kikikan Jaendra yang berangsur menjadi tawa.
Jaendra maju selangkah. "Tante tenang aja, nggak perlu khawatir sama Saima. Selama ada saya di samping Saima—" lagi, pemuda itu menggerling pada Saima. "Saima pasti aman sehat sentosa!"
Mamanya tertawa padahal menurut Saima tidak ada yang lucu. "Nah, kalo gini baru percaya."
Saima memutar bola mata malas.
Sebelum benar-benar masuk mobil, sang mama sempat mengusap pipi Saima sebelum berkata, "Berhenti ngambek, mama sama papa janji bakal mengusahakan buat pulang cepet."
Demi apapun, Saima tidak  ngambek, salahkan mamanya yang terlalu berlebihan dalam mengartikannya. Ia hanya sedikit kesal—bagaimana pun kepulangan kali ini, ia dan kedua orangtuanya benar-benar hanya menghabiskan waktu bersama yang jauh lebih singkat dari yang sebelum-sebelumnya. Belum ada hitungan satu minggu, tetapi sekarang mereka sudah akan pergi lagi.
Entahlah. Rasanya Saima sungguh ingin mengeluh kepada Tuhan karena membuatnya kesepian. Terlahir sebagai anak tunggal, terlebih memiliki kedua orangtua yang gila kerja—namun di satu sisi, Saima tetap mensyukuri. Biar bagaimana pun, berkat mereka yang pekerja keras, ia bisa hidup tanpa kekurangan sampai detik ini sekalipun—kalau boleh dirinya menambahkan—keluargannya tidak sekaya Jaendra.
Saima menurunkan tangan yang sebelumnya melambai begitu mobil kedua orang tuanya sudah tidak lagi terlihat di depan mata.
Setelah mengunci pintu gerbang, Saima masuk ke dalam rumah diikuti oleh Jaendra yang merangkul pundaknya.
"Mbok Asih udah pulang, ya?" Tanya Jaendra menanyakan ART yang memang baru beberapa hari ini dipekerjakan di rumah Saima—yang hanya datang di pagi hari lantas pulang begitu semua pekerjaan yang ditugaskan telah selesai.
Saima mengangguk. Ia melepaskan rangkulan Jaendra sebelum mendudukan diri di sofa ruang tamu.
Sebenarnya rumahnya ini tidak terlalu besar dan Saima juga masih mampu untuk membersihkannya sendiri seperti biasanya. Hanya saja, ia menurut saja ketika san ibu negara—alias mamanya mengusulkan untuk mempekerjakan seorang ART mengingat Saima katanya sudah kelas 12—dan beliau takut jikalau Saima akan terlalu sibuk belajar mempersiapkan berbagai macam ujian dan tidak memiliki cukup waktu meski itu hanya bersih-bersih kecil.
"Babe ..."
Saima menoleh. Ia melihat kekasihnya itu menanggalkan jaket denimnya, menyisakan kaus putih yang membalut tubuh cukup atletis karena yang ia tahu Jaendra memang sering berolahraga.
"Kenapa?" Saima bertanya. "Haus? Mau aku ambilin minum?"
Jaendra menggeleng. Pemuda itu justru beranjak melangkah pergi dan Saima yang bingung refleks menahan. "Kamu mau kemana?"
"Ke kamar mandi, Babe."
"Oh."
"Kenapa? Nggak boleh?"
"Aku nggak ada bilang nggak boleh, Jae."
"Kirain nggak boleh. Kalo beneran nggak boleh juga nggak apa-apa kok, Babe. Aku bisa jalan keluar, trus gali pasir yang ada di halaman rumahmu."
"Buat apa?"
"Pipis."
"Kamu kucing?"
"Emang ada kucing yang seganteng aku?" Jaendra bertanya balik.
"Sampah," kata Saima datar.
Jaendra tertawa. Sebelum benar-benar pergi, pemuda itu melangkah mendekat lalu menciumi berulang-ulang kedua pipi Saima bergantian.
"Jae—stop!"
"Hehehe, suruh siapa terlalu lucu! Jadi gemes aku, kan?"
Jaendra baru berhenti saat marah Saima sudah terlihat begitu menyeramkan di mata pemuda itu.
Tatapan Saima geram. Ia mengangkat tangan seolah akan memukul. "Kamu ini benar-benar minta—"
"Ampun, Babe!" Jaendra langsung lari terbirit-birit sesudah melempar ponsel pemuda itu ke pangkuan Saima. "PEGANGIN BENTAR, SUKA NYEMPLUNG KE CLOSET SOALNYA!"
Benar-benar.
Saima mengusap pipi, ada jejak basah di sana. Ia berdecak sebal.
Diantara gerutuannya yang tercipta, ponsel Jaendra yang berada di pangkuan bergetar—menandakan ada sebuah panggilan masuk. Saima mengambil benda tersebut, tidak langsung mengangkatnya sebab ia justru dibuat salah fokus dengan ponsel kekasihnya yang berbeda dari sebelumnya.
Ponsel baru, kah? Entahlah.
Berikutnya, lagi. Saima dibuat salah fokus dengan nama pemanggil di ponsel Jaendra.
Love is calling ...
Saima mengernyit. Love?
***

Bình Luận Sách (56)

  • avatar
    Rusmiati

    suka banget sama alur ceritanya, bikin greget dan gak mau berhenti baca... kharakter Saima the best banget, mampu menyembunyikan perasaan itu gak mudah dan gw salut sama saima. jadi baper pokonya.

    08/08/2022

      3
  • avatar
    harmoniWahana

    bagus sekali

    9d

      0
  • avatar
    SaputraAprianda

    bagus 😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎

    25/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất