logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Game Over

Game Over

hellonara


Game Over, 01

'Mengapa masih ada'
'Sisa rasa di dada'
'Di saat kau pergi begitu saja'
'Mampukah ku bertahan'
'Tanpa hadirimu sayang'
'Tuhan sampaikan rindu untuknya'
Lagu berjudul Sisa Rasa milik penyanyi mudah tanah air, Mahalini yang sedang di cover oleh penyanyi cafe tersebut tidak hanya terdengar sangat menghayati namun juga menambah suasana sendu yang ada.
Bahkan saat lagu sudah selesai dinyanyikan dan si penyanyi Ćafe pamit untuk undur diri—bukannya menyurut, suara tangis seorang yang duduk di satu meja yang sama dengannya tersebut semakin menjadi-jadi.
"Anjing lo! Babi lo! Bangsat lo!"
Oke. Memilih tetap tinggal untuk menemani sang sahabat yang tengah patah hati sepertinya bukan keputusan yang tepat. Saima tahu, sekalipun segala umpatan yang dikeluarkan bukan ditunjukan padanya, namun tetap saja tidak merubah apapun. Kupingnya berdengung karenanya dan lagi, ia juga harus menanggung malu ketika beberapa pasang mata melirik aneh tidak hanya pada gadis yang duduk di seberanganya tetapi juga ke arahnya.
Serius. Saima sedang tidak melarang April—sahabatnya untuk meluapkan amarah tetapi, demi apapun ini Ćafe, lho? Bukan di hutan yang kalau mau teriak-teriak bahkan sampai pita suaranya putus pun oke-oke saja, tidak ada masalah.
"April." Saima menepuk punggung April, berharap sahabatnya ini mau diajak berkompromi. "Kita pergi ke apart lo aja. Lanjutin teriaknya di sana."
April tak bergeming.
"Jangan di sini." Saima membasahi bibir. "Lo nggak hanya bikin diri sendiri, tapi gue juga."
April menggeleng. Gadis itu tetap menatap syahdu foto sang mantan kekasih di tangan dengan air mata berlinang. "Luki setan! Bisa-bisanya lo bikin gue termehek-mehek kaya istri di sinetron kumenangis, hah?! Lo yang selingkuh kenapa gue yang diputusin, bangke! Seharusnya gue yang putusin lo bangsul! Gak Ridho! Gue Rizki aja!"
Saima memijat kening. "April—"
"Ini nyebelin Saima, huaaaaa!" Potong April seraya meraung layaknya balita yang keinginannya tidak dituruti. "Lo tau apa yang si Luki bilang setelah dia putusin gue? Kamu orang baik dan aku yakin, kamu pasti bakal dapat yang jauh lebih baik dibandingkan si brengsek ini yang sia-siain kamu dan maaf karena aku kurang ajar, sekalipun kita udah putus ... di hatiku, kamu tetap jadi hal yang paling terindah—cuih, terindah buwung kau keriting! Kalo guenya terindah kenapa gue di selingkuhinnn? Kan anjing banget."
Mendapati April yang menguburkan wajah di meja dengan bahu bergetar, hati Saima melunak. 
"Tell me, Saima. Apa sayang dan cinta gue selama ini kurang sampai bikin Luki berpaling?"
Ya, Saima tidak perlu menjadi April lebih dulu untuk tahu apa yang gadis itu rasakan. Hanya cukup bayangkan saja orang yang kamu cintai setulus hati nyatanya begitu mudah mengingkari. Benar, sakit.
"Salah gue apa, Saima?" Raung April.
Saima tidak terlalu mengenal siapa itu Luki meski sebelumnya pemuda itu menyandang status sebagai kekasih sahabatnya, ia tidak mencoba mendekatkan diri. Yang ia tahu, Luki tipe orang humoris, sangat ramah pada siapapun dan untuk ukuran cowok, Luki memang terbilang tampan tetapi siapa sangka? Karena rupanya itu justru membuat Luki banyak dikerumuni gadis-gadis cantik yang begitu menggoda iman hingga pada akhirnya membuat Luki khilaf.
Bukan khilaf sepertinya. Lagipula, tidak ada yang namanya perselingkuhan yang terjadi karena kekhilafan. Perselingkuhan terjadi, karena sebuah proses yang berakhir dengan keputusan yang sadar.
Luki menghianati April, kemudian pemuda itu lebih memilih selingkuhnya. Keputusan yang tepat menurut Saima—karena dipikir-pikir, sahabatnya terlalu berharga dan April tidak berkewajiban untuk tetap tinggal pada suatu hubungan bersama orang yang tidak bisa setia---meski mungkin sebaliknya untuk April.
Tidak ada yang merasa baik-baik saja saat setelah sudah mencintai sepenuh hati tetapi justru dikhianati lalu ditinggal pergi.
Keberadaannya di sini mungkin tidak membantu apapun untuk April. Apalagi yang bisa Saima lakukan hanya menepuk punggung gadis itu, tetapi setidaknya itu jauh lebih baik menurutnya daripada ia mengeluarkan berbagai kata penghibur seperti; semuanya bakal baik-baik aja, sabar ya—terdengar penuh kepedulian tapi nyatanya hanya bullshit, tidak ada yang berubah. 
Ada belasan menit berselang sebelum tangis April benar-benar menyurut dengan sendirinya. Gadis itu mengangkat wajah, menarik naik ingus, menatap Saima dengan mata sembab.
"Gimana? Better?" Tanya Saima.
April mengangguk ragu. "Sai ..."
"Kenapa?"
"Kalo gue bilang, gue masih berharap Luki kembali terlepas dari apa yang dia perbuat, gue goblok gak, sih?"
Saima menggeleng.
"Cih." 
April memandangnya tak percaya. Tidak apa, setidaknya Saima sedikit lega melihat raut April yang tidak lagi semendung sebelumnya.
"Bohong banget," gerutu April. "Demi otak lo yang kebangetan encer, yakin banget gue kalo lo lagi ngomong dalam hati. Memaki betapa bodohnya gue."
"..."
"Iya, kan?!"
"Sok tau."
"Yang bohong kutilan, bisulan, borokan!"
Saima agak mengkerut ngeri.
April menyeringai. "Nah, lho."
"Oke." Saima menyanggupi.
April manyun.
"Gue nggak bohong."
April meneguk habis minuman yang di pesan tadi lantas, bersidekap sembari menatap foto Luki yang gadis itu letakan di atas meja. April menghela nafas berat. "Emang, ya punya pacar ganteng itu ibarat kaya burung peliharaan. Kalo nggak dikurung dengan baik ... udah, terbang."
Saima diam mendengarkan.
"Serius deh, Sai. Belajar dari pengalaman gue, lo juga harus jaga ketat itu burung peliharaan lo."
Saima menatap April penuh kernyit. "Dia bukan anak kecil yang harus gue jaga." Dia yang dimaksudnya adalah kekasihnya.
"Yang sejenis Luki aja terbang bebas, apalagi burung peliharaan lo yang langka itu, Saima. Banyak banget yang ngincer, sekalipun udah ada yang punya."
"Tau, kok." Saima menimpali santai. 
April mendelik, terlalu semangat seolah ia yang sebelumnya menangis tersedu-sedu hanya mimpi belaka. "Nggak waras emang. Bisa-bisanya lo nggak berubah, masih santuy kaya gini?"
"Emang gue harus gimana?"
"Harus gimana?! Serius lo nanya begitu??"
"Kenyataannya emang udah kaya gitu. Ngegas?"
"..."
"Gue manusia. Bukan motor, mobil apalagi truk, April."
"Lo ngelawak?"
Saima mengernyit bingung, memangnya dari segi mana ia terlihat sedang melawak? Ia menggeleng kemudian menjawab, "Nggak, gue serius."
"Kirain." April mencemooh. "Soalnya nggak cocok. Bukannya bikin ketawa, gue justru pengen lempar kursi ke muka lo yang datar bin kaku kaya triplek."
 "Mulut lo."
"Perlu gue kasih kaca? Supaya lo bisa buktiin sendiri?"
Saima tidak menjawab.
April mencebikkan bibir. "Abisan gue greget banget sama lo, serius! Gue yang bukan ceweknya aja masih kesal nggak ketulungan setiap keingat sama kejadian waktu itu. Seganteng-gantengnya cowok, nggak ada yang sampai bikin cewek nekat nyamperin lo dan terang-terangan minta izin buat jadi selingkuhan kecuali burung peliharaan lo itu, Saima! Gilak!"
Bukannya kesal Saima justru tertawa kecil, tidak lama. Tidak tahu saja, bila sebenarnya ada yang jauh lebih parah. Apa yang disebutkan April, bukan apa-apa. Ia tidak akan memberi tahu atau bumi akan gonjang-ganjing karena teriakan sahabatnya.
"Ibarat status gunung meletus, lo bukan lagi di siaga, tapi awas!"
"Sejauh ini kita baik-baik aja, nggak ada hal yang seserius itu buat dikhawatirkan," tukas Saima, berharap April menyudahi pembahasan tentang kekasihnya. Jelas bukan karena tidak suka.
"Hm, iya, deh. Yang punya cowok bucin, mah beda."
Saima menggeleng pelan akan penilaian April yang benar adanya tetapi menurutnya berlebihan, tetapi ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya. "Bukan, maksudnya buat sekarang jangan peduli hal apapun. Prioritasikan diri lo, itu lebih penting."
"Halah."
"Setidaknya serius pikirin gimana cara lo terlihat baik-baik aja, padahal hati lo nggak."
April mengumpat. "Wah, mau ngajak jambak-jambakan, nih maksudnya?" Sengit gadis itu.
Saima tidak terpengaruh. "Pikirin juga tugasnya Bu Hanum. Lo belum ngumpulin, beberapa kali beliau nanya ke gue." papar Saima. "Inget. Kita udah kelas dua belas, kalo bisa kurangi leha-leha nggak jelas. Harus rajin, ujian menunggu di depan mata, Pril."
"Tai."
"Jangan lupa, besok hari terakhir."
"Nggak denger, mata gue merem."
Lagi, Saima tertawa. Tidak lebar namun kepalanya sampai terlempar ke belakang, menghindari April yang mulai melayangkan cubitan.
"Emang dasar, ya lo. Bahas ginian aja baru tuh, lo bisa ngomong panjang kali lebar! Coba kalo bukan? Mana mau lo?!"
Mengendikan bahu acuh adalah respon yang Saima pilih. Disela-sela ia menghabiskan sisa makanan yang ia pesan di piring, sebuah notifikasi masuk di ponselnya.
Sudut bibir Saima agak tertarik saat melihat siapa yang mengiriminya pesan tersebut.
Jaendra Eka Maharga: Pipipipippppp calon mantu!
Jaendra Eka Maharga: Aku udah selesai kuliah, nih😎
Jaendra Eka Maharga: Kamu masih di ćafe sama April? Boleh aku jemput?
Jaendra Eka Maharga: Aku kangen, Babe👉👈
***

Bình Luận Sách (56)

  • avatar
    Rusmiati

    suka banget sama alur ceritanya, bikin greget dan gak mau berhenti baca... kharakter Saima the best banget, mampu menyembunyikan perasaan itu gak mudah dan gw salut sama saima. jadi baper pokonya.

    08/08/2022

      3
  • avatar
    harmoniWahana

    bagus sekali

    9d

      0
  • avatar
    SaputraAprianda

    bagus 😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎

    25/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất