logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Istri, katanya?

Sabilla bangkit, lalu menepis tangan Bear yang melingkar di perutnya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, apa yang sudah ia lakukan? Sabilla beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Bear yang sudah bangun itu segera bangkit untuk duduk. Ia menoleh sekilas ke arah kamar mandi. Lalu menatap ponsel yang berdering di sampingnya. Ponsel itu ia ambil, lama ia menatap panggilan masuk itu tanpa menjawabnya karena ia tidak tahu harus bagaimana.
Sabilla keluar dari kamar mandi, lalu mendapati Bear sedang menatap ponsel yang berdering. Sabilla menghampirinya dan segera melihat siapa penelpon itu. Leo sedang memanggilnya via Video Call. Sabilla mencebik, lalu menatap Bear.
“Kamu tekan ini lalu geser ke sini, itu angkat panggilan!” ucap Sabilla sambil duduk di samping Bear.
Leo menatap tajam ke arah Bear, karena pria itu yang muncul di kamera ponselnya.
“Mana Sabilla?” tanyanya dengan rahang yang mulai mengeras, darahnya mendidih melihat wajah polos Bear yang terpampang di layar ponselnya.
Sabilla menggeser arah kamera padanya. “Kenapa kamu masih mencariku?” tanya Sabilla dengan rambut bassah dan memakai handuk kimono. Pemikiran Leo semakin kacau, ia membisu dengan napas yang memburu.
“Kenapa ada pria itu di rumahmu?”
“Kamu tanya kenapa? Dia calon suamiku!” tegas Sabilla. “Kalau kamu tidak ada kepentingan, jangan hubungi aku lagi. urus saja wanita jalangmu itu. Bukankan seharunya kalian menikah saat ini?” tanya Sabilla lalu mengakhiri panggilannya.
“Bear, cepat mandi. Kita harus belanja untuk mulai berjualan lagi!” ucap Sabilla sambil berdiri. Ia berjalan menuju lemari dan membawa handuk ke arah Bear. Pria itu menatapnya kebingungan.
“Mulai sekarang, mandi sendiri, ok!” pintanya. “Jangan bikin aku kehilangan nyawa!” gerutunya sambil beranjak menuju lemari untuk mengambil baju.
Sabilla menoleh ke arah pintu kamar mandi yang baru saja di tutup. “Jangan habiskan banyak sabun!” teriaknya dari luar. “Awas saja kalau main sabun seperti kemari!” gerutunya lagi sambil mengeringkan rambut.
Selesai memakai pakaian, ia berjalan menuju dapur dan mulaimenyiapkan sarapan. Saat mendengar pintu kamar mandi di buka, lagi Sabilla menoleh. Bear keluar dari sana dengan hanya memakai handuk. Sabilla menepuk keningnya sendiri, lalu berjalan menuju lemari pakaian.
“Tunggu di sana!” titah Sabilla dengan ketus. Tidak bisa seperti ini, ia bagaikan wanita gila yang serumah dengan pria polos. Ia tidak ingin menjadi orang jahat.
Selesai mengambil baju yang dibelinya kemarin, Sabilla menghampiri Bear, lalu memberikan baju tersebut padanya.
“Ini di pakai lebih dulu sebelum celana ini. Baju ini, kamu pakai juga, nggak boleh telanjang dada seperti itu!” gerutunya sambil berpaling. “Pakai di kamar mandi jangan di sini, awas kalau salah pakai! Aku jiwir kamu!” ancamnya.
Bear menatap Sabilla sejenak, lalu ia mengangguk dan berbalik untuk memasuki kamar mandi lagi. Sabilla menghela napas panjang dan segera berjalan menuju dapur. Ia menyiapkan makanannya, lalu duduk menunggu di meja makan.
Suara derit pintu kembali terdengar, Sabilla menoleh ke arah pintu kamar mandi. Bear sudah memakai baju dengan benar. Yah, tidak sulit juga mengajarkan orang itu, daripada mengajarkan anak kecil.
“Sini, kita makan!” ucapnya sambil melambaikan tangan. Bear menghampiri Sabilla asambil mengacak rambutnya dengan handuk.
Sabilla berdecak lalu berdiri, ia mengambil handuk dari Bear. Pria itu ternyata meniru cara dia mengeringkan rambut. “Handuknya simpan di sini!” ucapnya berdiri di dekat kawat jemuran. Bear mengangguk patuh.
Sabilla kembali duduk dan mulai menyantap sarapan paginya. Selesai makan, Sabilla berdiri dan berjalan menuju wastafel, menyimpan semua piring kotornya di sana.
“Ayo kita pergi!” ajaknya smabil mengambil tas tangan. Ia mebawa topi berwarna hitam untuk dipakai Bear. “Kamu harus pakai ini. Kalau kita bertemu dengan wanita kemarin dan pria yang tadi menelponku. Kamu harus marahin mereka, ok!” pintanya. “Kamu harus bilang, jangan ganggu istriku.”
“Istri?” tanya Bear.
Sabilla menghela napas panjang, dirinya benar-benar menjadi wanita jahat. Tetapi, ia tidak mungkin menikah dengan pria asing, Bear sangat penurut, ia berharap pria itu sedikit bisa di ajak kerja sama.
“Kamu harus tahu, pria yang menelponku itu, dia mantanku. Aku tidak mau diajak balikan sama dia, jadi kamu pura-pura menjadi calon suamiku. Kita juga harus segera menikah.”
“Menikah?”
Sabilla berdecak geram. “Iya, menikah. Lagipula, lama-lama satu atap seperti ini tanpa ikatan, kamu akan di usir, emang mau?” tanya Sabilla menahan geram. Bear menggeleng pelan.
“Ya sudah, mulai sekarang, dengarkan kata-kataku dan ikuti saja perintahku!” pintanya. Ia merutuki diri sendiri yang sudah memanfaatkan kepolosan Bear.
“Ayo kita pergi, kita harus belanja dan nanti aku ajarkan kamu membuat kue!” Sabilla menarik tangan Bear dan berjalan keluar dari apartemennya.
“Istri itu apa?” tanya Bear dengan polosnya.
“Istri itu aku.” Sabilla menjawabnya dengan singkat.
“Suami?”
“Kamu.” Jawaban itu terlontar singkat, Sabilla berharap Bear mengerti.
“Menikah itu apa?”
“Hubungan kekasih dalam perjanjian yang sah.”
Bear menatapnya penuh tanya. Sabilla mendengus kesal. “Sudahlah jangan banyak tanya lagi, nanti aku jelaskan di rumah!” ucapnya. Ia benar-benar sudah menjadi wanita jahat.
Sepanjang berada di pasar, Sabilla tidak pernah melepas genggaman tangannya dari Bear. Ia tidak mau Bear hilang dari sisinya, terlebih beberapa kali banyak wanita yang menghampiri Bear untuk sekadar meminta nomor telepon. Berkali-kali juga Bear menolak dengan mengatakan bahwa dia memiliki istri, hal itu membuat para gadis merasa kecewa dan menjauhinya.
Bearangan membawa troli belanjaan yang sudah penuh. Lalu keduanya berjalan menuju kasir. Sementara Billa membayar belanjaannya, Bear melihat sepasang kekasih yang berjelan bergandengan tak jauh darinya. Mereka tampak bercanda, lalu mengambil sebuah kotak bergambar pisang matang. Bear menoleh ke arah Sabilla yang sejak tadi menggenggam tangannya.
“Istri!” panggilnya, membuat pegawai kasir itu mendongak dan Sabilla menoleh.
“Apa itu?” tanyanya pada Sabilla sambil menunjuk kotak kecil sebesar cangkang korek api dengan gambar pisang.
Sabilla mendelik. “Kita tidak perlu itu!” tegasnya sambil mencubit Bear. Pegawai kasir itu tertawa kecil, lalu menyerahkan struk belanjaannya. Sabilla segera membayar dan menarik Bear untuk segera keluar.
“Kamu itu, ya, nyebelin. Jangan menunjuk-nunjuk kotak itu!”
“Kenapa?”
Sabilla menggeram kesal. “Ituuu, benda yang dipakai sepasang kekasih saat berduaan.”
“Kita kan berdua. Kamu istri, aku suami, kita punya hubungan juga.”
“Tapi Bear!” geramnya. Sabilla mengusap wajahnya sambil menghela napas. “Kamu tuh polos tapi nyebelin, ya!” ucapnya sambil menjiwir telinga Bear. Pria itu sedikit meringis. “Pulang!” ajaknya. Sabilla tidak tahan lagi berada di keramaian, ia harus banyak memberitahu Bear tentang apa itu bersikap di depan umum dan bersosialisasi.
Sesampainya di rumah susun, Sabilla dan Bear turun dari bus. Pria itu membawa barang belanjaan turun dari bus diikuti Sabilla di belakangnya. Lalu keduanya berjalan memasuki gedung bertingkat dua itu.
Langkah Bear terhenti, membuat Sabilla menabrak punggung pria itu. Sabilla mengintip ke depan untuk mengetahui kenapa Bear tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Leo sedang berdiri di depan pintu kamar mereka, ia mengepalkan tangannya dan berjalan menghampiri Bear. Satu tonjokan itu lolos memukul wajah Bear. Sabilla menjerit, lalu berusaha melerai. Barang belanjaann itu jatuh ke lantai bersamaan dengan tubuh Bear yang terhempas.
“Kamu sudah gila? Untuk apa kamu mencariku?” tanya Sabilla tidak terima.
“Kamu itu masih pacarku, kita belum menghakhiri hubungan ini. apa yang akan aku katakan pada orang tuaku kalau bukan kamu yang akhirnya kunikahi.” Leo menjawab dengan penuh emosi. Ia tidak menyangka kalau Sabilla bisa menemukan pria yang bahkan lebih tampan darinya? Leo sangat marah, bahkan dirinya ingin meninju pria di belakang Sabilla itu berkali-kali.
“Itu kan urusanmu. Hubungan kita berakhir! Aku tegaskan, berakhir!”
“Aku tidak terima ini, Billa!” teriaknya.
“Terserah, itu semua urusanmu!” ucapnya Sabilla tidak mau kalah. “Pergi dari sini, atau aku panggilkan polisi?”
“Tapi, Sa. Aku tidak mau kamu menikah denga pria sok polos itu. Dia itu brengsek!” tunjuk Leo pada Bear yang sedang memungut barang belanjaan yang terbungkus plastik.
“Memangnya kamu tidak brengsek? Bahkan kamu lebih brengsek, Leo. Enyah dari hadapanku sekarang!” tegas Sabilla tanpa meninggikan suaranya.
Leo bergeming sesaat, ingin ia menampar wajah Sabilla yang bersikap begitu angkuh.
“Jangan ganggu istriku!” ucap Bear sambil memeluk Sabilla dan menariknya ke sisi untuk memberi jalan pada Leo supaya pergi dari hadapan mereka.
“Heh. Aku beritahu kamu, ya. Sabilla itu cewek murahan, dia sudah tidur berkali-kali denganku, sebelum kamu cicipi!” tegasnya sambil menunjuk wajah Bear dan menahan geram.
Wajah sabilla begitu merah, darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun, setega itu Leo menuduh dirinya yang bahkan tidak pernah ia lakukan.
“Memangnya itu penting untukku? Dia istriku, bukan urusanmu lagi!” tegas Bear yang membuat Sabilla terbelalak saat mendengarnya. Bahkan ketika Bear menggandengnya menuju kamar pun, Sabilla masih terkejut.
Sabilla membuka kunci pintu rumahnya, lalu menarik Bear untuk segera masuk. “Kamu dapat kalimat itu dari mana?” tanya Sabilla menatap penasaran.
Bear terdiam, padahal sabilla berharap Bear menjawabnya dengan kata-kata yang masuk akal, tetapi pria itu malah bergeming sambil memeluk barang belanjaan. Sabilla menghela napas, lalu mengambil sebagian barang belanjaan itu dan berjalan ke dapur.
“Tunggu di sini! Aku akan mengambil obat merah,” ucap Sabilla sambil berjalan menuju nakas.
Bear berdiri di depan meja kompor, ia menatap kepergian Sabilla menuju dekat ranjang. Tak lama kemudian, ia kembali ke dekat Bear dan membawa kapas serta obat merah.
Sudut bibir pria itu mengeluarkan darah, Sabilla meneteskannya obat merah pada kapas dan mengobati luka di wajah Bear.
“Lain kali, kalau ada yang mau mukulin kamu tuh, menghindar.” Sabilla menggerutu. Ia menutupi luka di wajah Bear dengan plester khusus wajah. Pria itu diam dan benar-benar menuruti apa yang dikatakan Sabilla.
“Istriku, kenapa wajahku kamu tambal?”
Tambal? Sabilla tertawa. “Ini bukan ditambal, aku hanya menutupi lukanya.”

Bình Luận Sách (390)

  • avatar
    AnggariAlfien

    bagus untuk mengisi waktu luang tulisannya juga jesal

    15d

      0
  • avatar
    NikeAvrillia

    cerita ini sangat bagus dan rapi

    28d

      0
  • avatar
    ZaskiaKia

    sangat bagus😭😭

    24/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất