logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Kios Minyak mbah Reihan (Dijamin 100% Murni)

- 48 tahun kemudian setelah terjadinya ledakan mortir besar-besaran -
- Jumat, tanggal 10 November - pukul 10:30 pagi hari -
..................................................
Hujan lebat disertai suara gelegar halilintar baru saja usai mengguyur bumi ibu pertiwi di hari pahlawan itu. Jalanan yang baru saja di aspal ulang dua minggu yang lalu terlihat becek dipenuhi genangan. Begitu amburadul terlihat. Di sisi kiri dan kanan jalan juga mulai kembali berlobang bolong-bolong bagai punggung sundel bolong. Sebuah sepeda motor yang tadi menyelonong genangan langsung kandas dan terhempas. Pengendaranya garuk-garuk kepala bengong tak menyangka jalan itu sudah kembali bolong-bolong.
Traffic light di perempatan jalan tak jauh dari sebuah halte bis kota sejak tiga hari yang lalu juga tak lagi terlihat menyala. Dengan gesitnya sebuah mobil angkot warna hijau muda terlihat sikut kiri sikut kanan menyalip tiga mobil mewah berwarna merah yang ada di depannya. Lalu..., mobil angkot yang tak mewah itu berhenti mendadak setelah pertigaan jalan tak jauh dari sebuah hotel berbintang lima milik seorang konglomerat kaya.
Wajah kesedihan tersuguh di sana. Seorang lelaki tua dengan bersusah payah menyandang tongkat turun dari mobil angkot warna hijau muda. Kaki kanan lelaki tua itu putus..., kaki kirinya cacat pula, benar-benar suatu kesedihan yang nyata. Namun..., tak hanya itu ternyata, bekas luka bakar yang terpendam sejak puluhan tahun lamanya jelas sekali terlihat di sekujur tubuhnya. Gerangan apakah sebenarnya yang telah terjadi pada lelaki tua itu sebelumnya....? Tak satu pun orang di negeri ini ada yang tahu kenapa.
“Ongkosnya kurang pak...!” Supir angkot yang berambut cepak terdengar marah. Enam lembar uang kertas ribuan yang disodorkan oleh si pak tua itu mentah-mentah ditolaknya.
“Memangnya berapa ongkos angkot sekarang mas...?” Pak Tua bertanya heran. Biasanya...., enam lembar uang ribuan itu cukup untuk ongkos angkot dengan sekali perjalanan jarak dekat.
“Loh bapak kok nggak tahu, lihat tuh...., minyak goreng pada langka, solar dan gas elpiji dua belas kilo saja sudah dua minggu lebih naik harganya, memangnya bapak nggak punya TV di rumah ya..?” Supir angkot itu menjawab ketus.
Jawaban ketus itu dibalas oleh si pak tua dengan senyuman tulus. Pak tua mengangguk anggukkan kepala, dia paham apa maksudnya. Kocek celana depan kemudian kembali dirogohnya, selembar uang kertas lima puluh ribu rupiah di helanya, uang kertas itu diberikannya pada supir angkot tanpa suara.
Di saat uang itu dia berikan, si pak tua tiba-tiba saja terpana sembari mengusap-usap dada. Rasa iba seketika itu muncul dalam sanubarinya setelah dia memahami apa yang sebenarnya telah terjadi. Lihat saja..., angkot itu di dalamnya ternyata sepi, sedari tadi penumpangnya hanya pak tua itu sendiri. Mungkin saja hari itu si supir angkot tak dapat gaji, lalu bagaimana caranya dia bisa menafkahi anak bini yang setiap hari menanti rezeki. Memang..., mereka sudah lama tersingkir oleh jasa angkutan on-line dan kendaraan pribadi, namun kehidupan yang semakin sulit memaksa mereka untuk tetap beroperasi mengais rezeki tanpa harus korupsi dan mencuri.
Supir angkot itu kemudian juga diperhatikan oleh si pak tua. Supir itu masih muda belia, dia berambut cepak seperti seorang tentara. Kaos oblong yang dia pakai warnanya biru tua. Sepatu yang dia kenakan adalah jenis sepatu PDL juga milik seorang tentara. Bangku di sebelah kiri supir angkot itu terlihat kosong tak ada penumpangnya. Ternyata di sana tergeletak sebuah seragam loreng PDL pakaian dinas lapangan milik seorang tentara dengan tanda pangkat dua garis strip merah di lengannya (prajurit satu). Pangkat itu ternyata persis sama dengan pangkat yang di sandang oleh si pak tua itu 48 tahun yang lalu di saat serangan mortir meluluh lantahkan tubuhnya yang masih kekar perkasa.
“Sisa kembaliannya ambil saja ya mas untuk tambahan belanja anak istri di rumah.” Si pak tua berbaik hati setelah dia mengetahui supir angkot ternyata juga seorang tentara dengan pangkat prajurit satu seperti dirinya dulu....., sebuah urutan kepangkatan terendah nomor dua dari bawah setelah pangkat prajurit dua.
*****
Bertumpu pada tongkat kayu buatannya sendiri, pak tua itu berjalan tertatih-tatih dengan satu kaki. Sungguh...., sesuatu pemandangan yang begitu sedih untuk bisa dinikmati. Kaki kanan pak tua itu putus tepat di atas paha. Serangan roket RPG milik fretilin keparat yang meledak empat puluh delapan tahun yang lalu tepat di hadapan pak tua itu telah meluluh lantahkan masa depannya. Tak hanya itu..., mata kiri si pak tua itu ternyata juga buta, dia hanya bisa melihat dengan satu mata, itu pun dengan penglihatan yang tak sempurna. Namun si pak tua yang dulunya seorang prajurit tangguh itu tak pernah meminta-minta. Dia tetap menjalani hidup sederhana dengan bejualan seadanya, ditambah dengan uang pensiun yang jumlahnya tak seberapa.
Sesekali pak tua itu terpaksa harus berhenti berjalan karena kelelahan, dia juga harus menyeka wajahnya yang basah karena tadi kehujanan. Setelah meneguk setetes air putih yang selalu dia bawa dalam botol plastik di saku celana belakangnya, pak tua itu kembali melangkah.
Seratus meter melewati pertigaan jalan, pak tua tiba-tiba kaget terperangah. Suara hiruk-pikuk terdengar olehnya, orang-orang dilihatnya berkerumunan mirip pasar kaget tak jauh dari sana. Suara tangis kesedihan beberapa orang ibu rumah tangga penjual buah terdengar olehnya. Sebahagian dari mereka terdengar seperti menyembah-nyembah dan meminta minta. “...tolong pak.., jangan di bawa, nanti anak-anak kami makan apa....?”
“Ada apakah sebenarnya gerangan di sana....?” Si pak tua terperangah bertanya-tanya. Bertumpu pada tongkat kayunya yang usang, dengan terpincang pincang si pak tua itu berjalan memacu langkahnya agar lebih kencang. Si pak tua semakin terperangah lagi setelah mengetahui ternyata di antara mereka terlihat beberapa orang perlente berpakaian mewah begitu bersahaja. Orang-orang perlente itu terlihat marah-marah menampakkan wajah garangnya bagai drakula. Bahkan kegarangan mereka melebihi garangnya seorang tentara yang sedang baku tembak degan musuh di dalam hutan rimba. Pak tua itu semakin tegang, dalam pikirannya pasti terjadi penggusuran barang-barang dagangan. Langkah satu kaki pak tua itu semakin kencang walaupun dengan terpincang pincang.
Kesedihan pak tua seketika itu juga datang setelah menyaksikan barang-barang dagangan banyak yang hilang. Bukan hanya lapak buah-buahan yang terbuat dari kayu-kayu usang yang melayang, kios minyak satu kali setengah meter miliknya yang sama sekali tak menggagu jalan raya itu ternyata juga ikut hengkang. Yang tertinggal hanyalah beberapa botol plastik yang tersisa, sebahagian isinya berserakan di atas tanah yang gersang. Tak jauh dari botol-botol plastik yang berserakan terlihat sebuah tripleks bekas yang sudah usang. Di sana masih tertulis sebuah kalimat:
“......KIOS MINYAK MBAH REIHAN - DIJAMIN 100% MURNI......“
*****
“Kios milik mbah tadi juga di obok-obok sama mereka, maafkan saya ya mbah, saya tadi benar-benar tak kuasa melawan mereka...., soalnya datangnya secara tiba-tiba.” Seorang wanita paruh baya tiba-tiba saja terdengar berbicara. Pak tua ‘mbah Reihan’ menoleh ke belakang. Seorang perempuan penjual buah ternyata telah berdiri di sana. Wajah perempuan itu tampak lusuh, air matannya yang tersisa masih menempel di sudut-sudut kedua bola matanya.
“Kenapa barang-barang kita mereka sita semuanya ya bu....? padahal kita di sini kan nggak mengganggu jalannya orang-orang.” Pak tua penasaran.
“Kalau mengganggu saya pikir memang nggak juga sih mbah...., tapi kata sebahagian orang-orang itu lahan kosong ini katanya sudah terjual dan akan dibangun mal besar....., namun sebahagian lagi mengatakan barang-barang dagangan kita merusak keindahan dan juga melanggar aturan..., entah mana yang benar, semuanya nggak ada kejelasan.”
“Tapi selama ini kan nggak ada peringatan dan juga tak ada surat teguran kan bu....?”
“Nah...., itu yang kami herankan mbah, tapi kata mereka sih mereka hanya menjalankan tugas.”
“Menjalankan tugas....?”
“Iya mbah..., tapi itu sih kata mereka.”
Pak tua ‘mbah Reihan’ yang tua renta itu terdiam ketika dia mendengar alasan demi menjalankan tugas. Dia hanya mengelus-elus dadanya berusaha untuk tegar dan tetap bersabar, walaupun dadanya terasa seolah-olah menggelegar terbakar bagai terkena serangan mortir kaliber besar.
“Ya sudah bu.., kita bersabar saja, kalau rezeki pasti tak akan ke mana.” Ujar pak tua masih dengan mengelus-elus dada yang berdebar-debar bagai terbakar.
*****

Bình Luận Sách (15)

  • avatar
    firdausmohammad

    saya sangat suka dengan komando dan itulah cita" saya

    04/06

      0
  • avatar
    RadenRido

    mksi

    26/03

      1
  • avatar
    RifkyMuhammad

    bagus

    07/12

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất