logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Gugur Tanpa Air Mata

Pukul 02: 43 Wita:
-------------------
Hingga lewat tengah malam setelah terjadinya serangan mortir besar-besaran, satu pleton prajurit infanteri brigade-1/pasukan pendarat marinir termasuk prajurit satu Reihan masih bertahan dalam kerimbunan semak belukar yang kelam. Secara tak terduga, satu pleton pasukan yang tadi tengah melakukan pergerakan malam menuju kota Fatularan untuk melindungi iring-iringan kompi tank PT-76 dan panser amphibi BTR-50 itu tiba-tiba saja dihadang di tengah perjalanan.
Setelah dua jam berjalan kaki dalam pergerakan malam dengan melambung kiri menelusuri kaki perbukitan menuju ke kota Fatularan untuk mendukung serangan fajar besar-besaran di kota Atabae yang berdekatan dengan kota Fatularan, mendadak satu pleton pasukan pendarat marinir itu mendapat serangan gencar di tengah kerimbunan hutan dan semak belukar yang dipenuhi oleh bebatuan. Keberadaan prajurit infanteri marinir yang bergerak dalam kesenyapan malam di hutan belantara itu keburu diketahui oleh pasukan pengintai lawan sebelum mereka berhasil sampai di kota Fatularan.
Kontak senjata terjadi sejak pukul sembilan malam tadi. Pertempuran frontal saling berhadapan berlangsung sengit selama hampir dua jam, di sana-sini terdengar tembakan secara sporadis. Dua puluh orang lebih pasukan musuh anggota infanteri fretilin terbunuh dalam baku tembak. Namun tujuh orang prajurit infanteri marinir juga gugur tertembus peluru dalam pertempuran. Untuk beberapa saat, satu peleton prajurit infanteri marinir yang masih tersisa memang berhasil menguasai medan pertempuran, mereka terus menghujani musuh dengan tembakan. Belasan pasukan fretilin yang tertinggal di dalam medan pertempuran harus kocar-kacir berlompatan ke sana kemari berlarian menyelamat diri, lalu mereka kembali mundur menuju area perbukitan. Namun sayang....., secara tak di duga, satu kompi pasukan artileri fretilin lainnya yang memiliki senjata bantuan berupa pelontar mortir sedang kaliber 105 mm, 80 mm dan 60 mm standar NATO ternyata bersarang di sekitar lereng perbukitan. Pasukan artileri fretilin kemudian ikut menghujani prajurit infanteri marinir dengan tembakan mortir kaliber besar. Prajurit-prajurit infanteri marinir yang tadi nyaris menguasai medan pertempuran itu akhirnya berhasil didesak mundur oleh musuh. Namun setelah melewati hutan palem, mereka yang masih tersisa terjebak di lapangan berbatuan yang berada tak berapa jauh dari pinggir jurang.
*****
Lima belas menit setelah gempuran mortir menghilang, pasukan fretilin yang menguasai area perbukitan itu masih belum melakukan serangan. Sisa-sisa prajurit infanteri marinir yang masih bernyawa bertahan di posisi masing-masing. Tak seorang pun yang berbicara, semuanya senyap menunggu dalam kebisuan. Jari telunjuk masing-masing prajurit bersiap-siap di pelatuk senjata. Belasan pasang mata yang masih tersisa tak berkedip menyorot tajam kalau kalau saja ada pergerakan lawan. Semua siap siaga dalam ketegapan hati melirik kiri kanan dan ke depan.
Hampir tiga puluh menit kini berlalu, sisa-sisa prajurit masih bungkam membisu bagai menunggu bom waktu. Prajurit satu Reihan yang baru saja terjaga setelah tersembur dari pusat ledakan mencoba mengurai kebisuan, dia mulai beranjak dari persembunyian mencari-cari prajurit lainnya yang sedang bertahan dalam kegelapan. Tamtama itu merayap pelan memasuki celah hutan buas, kemudian menyusup pelan menerobos jalan tikus yang membelah hutan buas itu menjadi dua bagian. Bagai ular sanca yang bersiap-siap menyergap, Reihan merayap senyap di antara kerimbunan semak belukar yang kelam.
Sisi kiri dan kanan hutan dirasakan bagai tempat nongkrong singa dan harimau lapar yang tertidur ngorok kelelahan. Namun jangan salah, apalagi sampai berbuat lengah, jika mereka tiba-tiba saja terjaga, seketika itu juga mereka akan menerkam. Seperti terkaman timah-timah panas yang kapan saja mungkin akan dimuntahkan dari salah satu moncong senjata laras panjang milik lawan. Begitulah rasanya kengerian yang harus di hadang oleh Reihan dan juga masing-masing prajurit lainnya yang masih bernyawa.
Namun...., ternyata tak hanya kengerian itu yang tersuguh di hadapan Reihan dan juga sisa-sisa prajurit lainnya yang masih bertahan. Beberapa meter setelah Reihan merayap dari pusat ledakan, darah merah terlihat berceceran membasahi rerumputan dan tanah becek penuh bebatuan. Ceceran darah itu ditelusuri oleh Reihan. Di antara dahan-dahan pohon yang patah berserakan, tubuh letnan satu Prapto dia temukan tewas dalam keadaan tak lagi berbadan. Sebuah pemandangan yang begitu memilukan, sulit bagi prajurit infanteri marinir itu untuk bisa mengungkapkan dengan kata-kata di saat dirinya harus menyaksikan bagaimana seorang perwira rela gugur dalam keadaan isi perut berhamburan dan kedua kaki terlepas dari badan.
Keterkejutan lain tiba-tiba menyentak pendengaran Reihan. Suara merintih kesakitan seorang prajurit terdengar dalam kegelapan. Tamtama dengan pangkat prajurit satu itu memasang pendengarannya tajam-tajam, suara rintihan itu ternyata berasal dari sebuah batang pohon yang tumbang. Tak lama kemudian, suara rintihan itu menghilang dari pendengaran. Penasaran, dan juga ingin tahu gerangan siapakah sebenarnya yang sedang mengerang kesakitan, tamtama dengan pangkat prajurit satu itu buru-buru merangkak menuju ke arah pohon yang tadi tumbang terkena ledakan. Penglihatan Reihan seketika tersengat, sersan Dodi seorang prajurit infanteri marinir dia temukan tengah meregang nyawa dalam kepayahan.
Senapan mesin AK-47 kemudian dia letakkan di atas tanah penuh ceceran darah. Perlahan bahagian kepala bintara itu dia angkat lebih tinggi dari badan, lalu dia dia sandarkan di batang pohon yang rebah agar napasnya tidak tertahan di kerongkongan.
“Oh Tuhan...., sersan..., sersan..., sersan Dodi.” Nama bintara itu dipanggil-panggilnya, namun sersan itu tak berdaya untuk menjawabnya. Reihan mendekatkan wajahnya agar bisa melihat lebih jelas, kedua kelopak mata bintara itu dia lihat terbuka, namun tak lagi mampu dia menutupnya. “Sersan..., sersan.” Sekali lagi Reihan memanggilnya, Dodi masih tak bersuara. Tangan bintara itu kemudian dia raba, namun denyut nadinya tak lagi terasa. Reihan memicingkan mata mengetahui bahwa bintara itu ternyata telah pergi untuk selama-lamanya.
Sebagai penghormatan terakhir, Reihan melipat kedua tangan bintara itu di dadanya. Tamtama itu seketika terlonjak, tangan bintara itu terasa ringan. Kedua matanya kemudian mendadak terbelalak mengetahui tangan itu ternyata telah putus dan tak lagi melekat di tubuh sang bintara. Jantung berdebar tersentak, napas serasa sesak bagai menahan tusukan tombak menyaksikan bagaimana tangan sang bintara itu putus oleh peluru mortir keparat yang tadi meledak.
Tak ada air mata untuk mereka, apalagi karangan bunga. Letnan satu Prapto dan sersan Dodi bersama belasan prajurit infanteri marinir lainnya telah pergi untuk selama-lamanya. Mereka melupakan seluruh kesenangan dunia yang fana, meninggalkan orang tua dan kekasih tercinta, meninggalkan anak dan istri tanpa harta pusaka. Memang tak ada air mata untuk mereka, namun itulah mereka. Namun....., apapun yang terjadi pada mereka yang telah tiada, perjuangan bagi prajurit-prajurit yang masih bernyawa belumlah sampai ke ujungnya. Hingga suatu nanti saatnya tiba, maut akan terus mengintai mereka di mana-mana.
Reihan kembali bangkit meninggalkan prajurit-prajurit yang gugur di sana, dia biarkan kaki lembah perbukitan itu sebagai saksi bisu untuk selama-lamanya. Senapan serbu AK-47 yang tergeletak di samping jasad sersan Dodi kembali dipungutnya. Membunuh atau keburu terbunuh, itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh Reihan kini, walaupun pahit, namun harus tetap dia jalani. Tamtama itu kembali merangkak dalam kegelapan malam, melewati tanah becek dan melangkahi beberapa tubuh prajurit infanteri marinir yang telah menjadi mayat. Dibiarkannya darah segar milik jasad beberapa orang prajurit yang tumpah membasahi rerumputan basah mengotori baju seragam miliknya yang sudah terlanjur berlumuran darah.
*****
Suara caci maki seseorang kembali mengusik pendengaran Reihan. Seorang prajurit infanteri brigade-1/pasukan pendarat marinir dilihatnya sedang bersandar di balik bebatuan. Helm tempur yang bertengger di kepalanya dia lepaskan dari ikatan, tangan kanannya di kepalkan dengan erat, lalu dia hujamkan berkali-kali ke atas tanah yang tak bersalah. Seolah-olah..., prajurit itu mengalami trauma berat menghadapi pertempuran yang tak seimbang.
Reihan mendekat dengan merangkak. Prajurit yang tengah bersandar itu kaget mengetahui ada seseorang yang sedang mendekat, dia langsung siaga mengarahkan moncong senjatanya ke arah Reihan. Sebelum terjadi saling tembak di antara mereka, Reihan mengangkat tangannya. “Pratu Reihan, brigade-1 infanteri marinir.” Sorak Reihan pelan menyebut identitas dirinya.
“Oh kau ternyata Han..., aku Saharudin, kopral infanteri marinir.” Balas prajurit itu, dia juga menyebut identitas dirinya. Prajurit itu ternyata Saharudin, juga seorang tamtama dengan pangkat kopral dua, satu tingkat kepangkatan yang lebih tinggi di atas Reihan
Reihan menghampiri, kopral Saharudin buru-buru menyeka air mata yang tadi sempat jebol dari kedua bola matanya. Kemudian dia kembali memasang helm tempurnya di kepala. Kopral itu kembali tiarap dengan sikap siaga, dia menongolkan kepala beberapa senti di atas bebatuan, mengamati pergerakan pasukan fretilin yang mungkin saja ada di sekitar sana. Reihan juga langsung mengarahkan moncong senjata AK-47 miliknya ke arah pepohonan dan kerimbunan semak belukar, bersiap-siap kalau kalau saja mendadak terjadi adu tembak dengan pasukan lawan.
*****
“Gelap sekali Din..., aku tak bisa melihat mereka.” Prajurit satu Reihan membisiki Kopral dua Saharudin yang tiarap di sisi sebelah kanannya. Tamtama remaja prajurit infanteri marinir yang masih berumur dua tahun itu itu terlihat tegang. Reihan menggigit-gigit ibu jarinya untuk mengurangi rasa takut. Sesekali dia mengusap kedua bola matanya agar dapat melihat lebih jelas apa sebenarnya yang ada di balik kerimbunan dan semak belukar yang berada tak jauh di depannya.
“Aku juga nggak bisa lihat mereka Han..., hitam semua, lihat tuh.” Kopral dua Saharudin juga berbisik, dia bahkan terlihat lebih tegang dari pada Reihan.
“Tahu nggak, berapa orang lagi yang ada di depan sana tadi Din....?” Reihan masih berbisik dengan menundukkan kepalanya. Sedari tadi dia coba mengamati apa sebenarnya yang tengah terjadi di posisi depan di mana sebuah ledakan mortir tadi terdengar. Namun keadaan begitu gelap, tak sepercik cahaya pun tertangkap di bola matanya. Bahkan...., di saat dia mencoba memandang ke atas, tak sebutir pun bintang tampak berkilau olehnya.
“Mungkin hanya belasan orang Han, Dirman dan Toni tadi ada bersamaku, tapi mereka sudah menyebar ke sana mencari posisi bertahan yang aman.” Saharudin menunjuk ke arah lekukan tanah penuh bebatuan yang berada tak jauh dari mereka.
“Buset....! fretilin anjing kurap...! setan alas..!” Caci maki Reihan mengetahui jumlah mereka hanya tinggal segelintir saja.
Saharudin tiba-tiba meninggikan helm tempurnya, dengan tatapan heran dia melihat ke arah Reihan “Loh, baju kamu kok berdarah Han...?” Tunjuk Saharudin dengan mulutnya mengetahui sebahagian seragam Reihan ternyata berlumuran warna merah seperti ceceran darah.
“Ah..., birarin saja Din...!” Reihan tak ingin mengatakan yang sebenarnya.
“Kamu kena juga tadi Han...?” Saharudin semakin mengangkat helm tempurnya.
“Nggak Din..., tapi gila nih...., kalau kita keluar saja dari sini menurut kamu bagaimana Din...?” Suara Reihan menggambarkan kecemasan.
“Jangan sekarang Han, kayaknya pasukan fretilin yang bersarang di atas bukit itu lebih dari tiga kompi jumlah mereka..., kita hanya tinggal belasan orang, bayangkan saja, sepuluh banding satu. Kita tunggu saja hingga dua kompi lainnya dari pasukan linud kostrad yang malam ini juga berangkat menuju Fatularan sampai di sini, paling lama tiga jam lagi.”
“Tiga jam lagi....? mampus deh, itu kelamaan Din....!” Reihan menggenggam helm tempurnya dengan kedua tangan. Rasa cemas yang bersarang dalam benak tamtama itu tiba-tiba saja mendadak menggila.
“Memangnya kenapa Han...?” Saharudin mengeraskan suaranya. Dilihatnya prajurit dengan pangkat dua garis merah itu cepat-cepat mengganti magazen senjata AK-47 miliknya dengan magazen baru yang terisi penuh.
“Kamu tahu nggak Din, sersan Dodi dan letnan Prapto tewas, mereka bersama aku tadi, yang tertinggal kini hanya kita-kita saja.” Suara Reihan terdengar bergetar. Moncong senjata AK-47 miliknya yang terisi penuh amunisi kembali dia bidikkan ke arah pepohonan, berjaga-jaga kalau kalau fretilin tiba-tiba saja muncul lalu melakukan serangan ke arah mereka.
“Apa Han....? sersan Dodi koncoku tewas.....!?” Saharudin mengulangi. Reihan menganggukkan kepala. “Ada enam orang lagi yang aku lihat tadi Din.” Sambung Reihan lagi. “Jumari dan Dirman yang tadi ada di belakangku mungkin juga ikut terkena ledakan.” Reihan masih membidikkan senjatanya ke arah pepohonan.
Saharudin terdiam, lalu dia mendesah dengan desahan yang panjang. Kepalanya kemudian dia geleng-gelengkan. “Ya Tuhan, yang tersisa kini hanya tamtama semua, habislah kita semuanya di sini Han.” Ujar kopral itu memicingkan kedua matanya masih dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ah..., nggak tahulah Din...!” Reihan memejamkan matanya sesaat, sepertinya dia tengah bersemedi dan berdoa meminta ampunan pada yang Kuasa. “Fretilin itu memang keparat, beraninya cuma main keroyokan.” Gerutu prajurit infanteri marinir itu lagi mengakhiri doanya.
Sejenak kopral Saharudin juga terdiam dengan memejamkan kedua bola matanya. “Ya Allah..., selamatkanlah anakku, lindungi dia ya Allah, sayangi dia.” Kopral itu tiba-tiba bergumam dengan kedua bola mata masih terpejam, suaranya terdengar pilu menggambarkan kesedihan. Reihan mendengar gumaman Saharudin, seakan-akan kopral itu tengah mengenang sesuatu dalam pikirannya. Dengan kedua tangannya yang bergetar, kopral yang baru saja lima bulan menikah itu kemudian kembali meletakkan jari telunjuknya di pelatuk senjata. Moncong AK-47 mengarah ke depan, seperti bersiap-siap dengan kematin. Reihan yang melihatnya semakin keheranan.
“Hoi..., Saharudin sebenarnya ada apa...?” Reihan penasaran.
“Istriku sedang mengandung anak pertamaku Han.”
“Alhamdulillah..., sudah berapa bulan Din...?”
“Hampir tiga bulan Han.”
“Selamat ya Din sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah.”
Saharudin hanya membisu setelah itu. Bahkan dia merasakan begitu pilu bagai tersayat-sayat sembilu setelah mendengar ucapan selamat dari Reihan. Dia memang begitu berharap agar diberi kesempatan untuk bisa menyaksikan kelahiran anak pertamanya. Namun apa boleh buat, semakin lama hal itu dia ingat-ingat, semakin dekat pula rasanya kehadiran malaikat yang dia lihat.
“Jika aku nanti mati, kau tolong urus anakku ya Han.” Pinta Saharudin dengan tiba-tiba. Kopral itu kembali memicingkan kedua bola matanya, kali ini dengan tetesan air mata.
“Haaaaaah.....! matilah aku....!” Mulut Reihan ternganga setelah mendengarnya.
*****

Bình Luận Sách (15)

  • avatar
    firdausmohammad

    saya sangat suka dengan komando dan itulah cita" saya

    04/06

      0
  • avatar
    RadenRido

    mksi

    26/03

      1
  • avatar
    RifkyMuhammad

    bagus

    07/12

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất