logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

SURROUNDED (Dalam Kepungan)

SURROUNDED (Dalam Kepungan)

MORA


Chương 1 Mimpi Di Lembah Sunyi

... sebuah cerita fiksi ... mengenang perjuangan hidup dan mati ribuan pemuda dan kepala keluarga yang rela gugur demi membela sebuah kehormatan di sana ... beberapa bahagian dalam cerita ini menggambarkan suasana yang terjadi di dalam medan pertempuran ‘...the killing ground...!’ area pembantaian ... kedewasaan dan kebijaksanaan pembaca diperlukan ...
*****
.... jangan katakan padaku manis ....
.... bahwa aku terlalu ....
.... karena dari kebahagiaan ....
.... dekapan sucimu ....
.... dan keteduhan hatimu ....
.... aku pergi ke medan perang ....
.... namun ...
.... ketidaksetiaanku ini sedemikian rupa ....
.... sehingga suatu saat nanti kau pun akan mengaguminya ....
.... aku tak dapat mencintaimu sayang sebegitu besar ....
.... jika aku tak lebih mencintai tugas dan kehormatan ....
*****
.......Ayam jantan masih belum berkokok, jutaan orang masih tidur lelap, nun jauh di sana....., segelintir pemuda yang malang terjebak di garis musuh. Mereka meregang nyawa melawan maut....., mereka menjerit....., memekik.... lalu tewas dibantai oleh timah panas yang berhamburan simpang siur di atas kepala.......
.......Prajurit prajurit itu terjun menyabung nyawa, melawan badai dan halilintar yang menggila. Mereka melupakan seluruh kesenangan dunia yang fana, meninggalkan orang tua dan kekasih tercinta, meninggalkan anak dan istri tanpa harta pusaka. Mungkin..., memang tak ada air mata untuk mereka, tapi itulah mereka.......
.......Mereka memang tidak berharap apa-apa, tidak juga pernah mengharapkan tanda jasa, apalagi pujian di atas jabatan yang menggila. Mereka mati tidak dengan percuma. Kesetiaan mereka kepada keluarga, kepada anak istri dan kekasih tercinta sedemikian rupa, hingga suatu saat nanti orang-orang akan mengaguminya.......
*****
- 48 Tahun yang silam - Desember tahun 1975 -
- Lima kilo meter arah barat kota Fatularan - Propinsi Timor timur - Indonesia -
- pukul 02:30 Wita dini hari -
.............................................
Sesosok benda hitam kaliber 105 mm kembali muncul menembus angkasa malam. Benda itu terlihat melejit dengan begitu gesit membentuk garis melengkung setengah lingkaran. Hanya dalam hitungan detik kemudian, dua benda hitam lainnya dengan kaliber yang sama menyusul dari sisi yang berbeda di sekitar area kaki perbukitan. Dalam sekejap mata, ketiga benda hitam yang merupakan peluru mortir kaliber besar yang mematikan itu terlihat terjun bebas, lalu terjerembab dengan begitu cepat kembali menuju ke daratan. Letnan satu Prapto yang menyaksikan kemunculan peluru-peluru kanon roket yang datang secara tiba-tiba itu sontak tercengang.
“Awas.....! in coming...! tiaraaaaap....! tiaraaaaap.....!” Letnan itu langsung berteriak memberi peringatan kepada seluruh pasukan bahwa ada sesuatu yang tak terduga datang menyerang. Dalam kegelapan malam, seluruh pasang mata prajurit yang masih tersisa terbelalak memandang ke atas. Namun sayang..., tak lagi banyak waktu yang tersisa bagi prajurit prajurit infanteri marinir yang sedang bertahan di kaki perbukitan itu untuk bisa menghindar dari ledakan. Pekikan dan jeritan puluhan orang prajurit seketika terdengar bergema dalam medan pertempuran. “Oh Tuhan…., Allahuakbar.....! Allahuakbar.....! Allahuakbar.....!”
Dengan tiba-tiba...., terdengar suara dentuman yang menggemparkan kebisuan malam. “....duaaaaaaaarrr......! duuuum....! buuuuuuuum.....!” Dalam sekejap mata, ledakan dahsyat menerjang medan pertempuran dengan garang. Setumpuk mesiu panas dalam peluru mortir seketika menggelegar terbakar. Bongkahan tanah merah dan bebatuan pecah berhamburan dari pusat ledakan. Prajurit-prajurit yang sedang tiarap meregang nyawa dalam jeritan kematian.
“La ilaha illallah...! Allahuakbar.....!” Itulah pekikan terakhir yang terucap dari mulut-mulut prajurit prajurit yang malang. Tubuh tiga orang prajurit infanteri anggota brigade-1/pasukan pendarat marinir seketika itu juga terhempas seiring dengan hempasan material panas yang berhamburan dari pusat ledakan.
Namun jeritan kematian belumlah hilang. Lagi-lagi dua peluru kanon roket kaliber 105 mm yang lainnya jatuh secara bersamaan dalam kegelapan malam, menghujam dua lokasi yang berdekatan tepat di hadapan tujuh orang prajurit yang sedang bertahan. “..... braaaaaaaaak ....! duuuuuuuum .....!” Begitu dahsyat ledakan terdengar, angkasa kembali menggelegar, menggetarkan bulu-bulu seekor babi hutan yang sedang berebut makanan dengan anjing-anjing liar. Seekor ular sanca yang sedang mengendap-endap mengintai seekor mangsa seketika ciut mengurungkan niatnya untuk memangsa, lalu merayap mundur ketakutan dan kembali menyelinap dibalik semak belukar.
“La ilaha illallah...! Allahuakbar.....! Allahuakbar.....!” Jeritan kematian kembali terdengar. Tubuh tujuh orang prajurit infanteri marinir yang tak sempat menghindar terhempas beberapa meter terseret oleh kekuatan ledakan. Letnan satu Prapto yang berada tak jauh dari sana ikut terlempar sejauh lima meter dari pusat ledakan. Senapan mesin laras panjang Detyarev RPD kaliber 7,62 mm terlepas dari genggaman tangan, melayang jauh dan jatuh di dalam kerimbunan semak belukar penuh bebatuan, lalu pecah berhamburan. Helm tempur yang melekat di kepalanya juga melayang entah ke mana. Pinggangnya serasa remuk di saat menghantam sebuah dahan pohon, ‘.......braaaaaaakk.....’ diikuti jeritan histeris dan pekikan meregang nyawa. “......Lailahailallah......! Allahuakbar.....” Pekik perwira itu terdengar membahana.
Lagi-lagi....., darah segar milik tujuh orang prajurit infanteri marinir kembali tumpah di dalam medan pertempuran. Warna merah terlihat semakin berceceran di atas tanah lapang penuh bebatuan. Tujuh orang prajurit infanteri marinir seketika itu juga gugur mengakhiri kedukaan dan kelalahan, dunia kini mereka rasakan begitu damai dalam kesunyian. Tak ada lagi pekikan, juga tak ada lagi jeritan, yang tertinggal kini hanyalah ketersenyuman di saat mereka menyaksikan kemunculan sesosok perempuan putih mengenakan mukena serba putih turun dalam kegelapan malam, kemudian kembali terbang dengan membawa roh-roh mereka ke langit ke tujuh menghadap Tuhan penguasa alam.
Dan kini....., dalam kurun waktu hampir lima jam lebih lamanya pertempuran, puluhan prajurit infanteri marinir kini telah tiada. Mereka rela mengorbankan nyawa satu-satunya yang mereka punya tanpa mengharapkan tanda jasa ataupun setumpuk harta. Memilukan...., sebahagian dari jasad prajurit prajurit itu tak utuh lagi, wajah hancur dan isi perut berserakan. Bahkan..., sepotong tangan yang putus terlihat tergeletak di samping sebuah senjata laras panjang. Sungguh, sebuah pengorbanan yang tak mungkin bisa dibalas dengan tanda jasa, apalagi ditukar dengan setumpuk harta atau jabatan yang menggila. Mungkin...., memang tak ada air mata untuk meraka, apalagi karangan bunga, tapi itulah mereka.
*****
Reihan, seorang tamtama remaja prajurit infanteri anggota brigade-1/pasukan pendarat marinir yang masih berusia dua puluh tahun juga ikut terlempar dari pusat ledakan. Serangan kanon roket kaliber 105 mm yang ditembakkan oleh pasukan fretilin keparat dari lereng perbukitan itu sebenarnya jatuh cukup jauh dari posisi di mana Reihan sedang tiarap, dan juga masih berada di luar jangkauan radius yang mematikan. Namun semburan material ledakan dan bongkahan bebatuan dari pusat ledakan begitu kuat menerjang, tubuh remaja usia dua puluh tahun dengan pangkat prajurit satu itu akhirnya ikut juga terjungkal, lalu menghempas dengan keras dan kandas hanya beberapa jengkal dari batu cadas. Seketika itu juga kesadaran prajurit infanteri marinir itu terlepas.
Dinginnya hawa malam di dalam kerimbunan semak belukar, ditambah lagi dengan keletihan badan setelah dirinya terhempas dari pusat ledakan membuat Reihan prajurit infanteri marinir itu tiba-tiba saja terperangkap dalam sebuah mimpi yang menyedihkan. Jiwa prajurit yang masih muda belia itu seolah olah terlepas dari raga, lalu terjerembab di dalam sebuah lembah kegelapan di hadapan dinding yang terjal. Dalam kesunyian malam, sebuah suara misterius tiba-tiba saja bergema hingga menggetarkan gendang telinganya.
“Reihan...! hei Reihan..!” Suara panggilan seseorang terdengar. Prajurit infanteri marinir itu tersentak, suara bergema seorang wanita paruh baya yang memantul dari dinding dinding lembah yang terjal begitu nyata terdengar dalam mimpinya.
“Haah...! ada suara...?” Kelopak mata remaja itu terbuka, namun Reihan yang masih terbelenggu dalam mimpinya itu tak bisa melihat apa apa. Kiri kanan depan dan belakang kemudian dipelototinya dengan begitu lama, namun semuanya sama saja, yang terlihat oleh tamtama remaja itu hanyalah warna hitam merasakan hari bagai gelap gulita. Dia merasakan seolah olah dirinya tengah berada dalam sebuah kamar mayat tanpa kaca, tanpa jendela dan juga tanpa cahaya. Prajurit itu kemudian bertanya-tanya dalam kebingungannya, ada apakah sebenarnya gerangan yang telah terjadi pada dirinya.
“Buset deh...! kok tiba-tiba saja bisa gelap begini ya..? ada kejadian apa nih...!” Reihan geleng-geleng kepala tak percaya. “Jangan-jangan...., aku sekarang sudah menjadi buta..! gawat nih..., bisa-bisa aku jadi gila dibuatnya.” Pikir prajurit itu lagi. Dia mengira dirinya mendadak sudah menjadi buta, benaknya pun mulai kacau balau dan menggila. Tak ingin prajurit itu percaya dengan begitu saja, bola matanya kemudian dia tabok dengan sebegitu kerasnya. Aneh....., ternyata dirinya tak merasakan apa-apa. “Haaah..., kok nggak terasa ya...?” Mulut remaja usia dua puluh tahun itu kembali membulat ternganga.
Reihan masih tak ingin percaya bahwa dirinya mendadak buta dengan begitu saja, dia bahkan menonjok jidatnya sendiri dengan kepalan tinjunya hingga berkali-kali, namun juga tak ada rasa sakit yang dia rasa. “Benar-benar gila.....! masih nggak terasa juga...!” Celoteh Reihan lagi mengerutkan jidatnya.
Kedua bola matanya kemudian dia kucek-kucek hingga memerah warnanya, namun remaja itu masih juga tak merasakan apa-apa. Tak hanya itu, bahkan lidahnya juga dia jepit sekuat mungkin dengan giginya, ternyata dia juga tak merasakan sakit di sana. Tak pelak lagi, wajah remaja itu semakin pucat dibuatnya. “Waduh....., kok satu pun nggak ada yang terasa ya....? jangan-jangan aku ini sekarang sudah berada di alam baka, mampus deh.....!” Rintih Reihan mengutuk dirinya sendiri, dia merasa bahwa dirinya mungkin saja kini telah tiada di dunia nyata.
“Hei Reihan.., ayolah bangun nak.” Suara wanita itu terdengar lagi. Reihan semakin tersentak, kedua bola matanya semakin terbelalak. Suara panggilan kali ini begitu membingungkan dirinya, karena suara yang muncul itu kini malahan terdengar seperti suara ibu kandungnya sendiri. “Kok yang terdengar sekarang seperti suara ibu, mengapa dia ada di sini ya...?” Pikir Reihan menengadahkan wajahnya.
“Ibu..., ibu..., sura ibukah itu....?” Prajurit infanteri marinir itu mencoba memanggilnya. Penglihatannya kemudian berkeliling mencari-cari dari mana datangnya arah suara, namun dia tak bisa melihat apa-apa karena dirinya merasa sudah terlanjur buta.
“Iya nak.... ini benar ibumu....!” Suara wanita itu kemudian terdengar lagi, dia menjawab degan suara iba, seperti tengah bersedih hati melihat kondisi anaknya yang begitu menderita.
“Haah..., ibu....???” Mulut Reihan semakin ternganga. “Jadi..., itu memang benar suara ibu...?” Reihan kembali bertanya.
“Iya..., ini ibumu nak.” Aku wanita itu, suaranya kini terdengar pilu.
“Ya Aallah..., ibu...?” Kini Reihan barulah menyadari bahwa suara wanita yang memanggil-manggil namanya tadi ternyata adalah memang benar suara ibunya sendiri.
“Ibu...., ibu di mana sekarang..? kenapa aku tak bisa melihat wajah ibu....?”
“Ibumu kini telah pergi menghadap Ilahi..., maafkan ibumu ini nak..., maafkan ibu karena tak bisa lagi bersamamu.”
“Haaaah...., menghadap Ilahi....? di mana itu bu...?” Suara Reihan terdengar lugu. Ternyata prajurit itu tak paham apa itu artinya telah pergi menghadap Ilahi.
“Ibumu tak ada lagi nak, ibu kini telah berada di sisi Nya.”
“Apa....? ibu telah pergi dan tak ada lagi, jadi ibu sebenarnya sekarang telah mati....?” Pertanyaan prajurit itu terdengar semakin lugu.
“Kamu jangan bersedih hati ya nak, walaupun ibu tak lagi bersamamu tapi ibu akan selalu hidup dalam hatimu.” Jawab wanita itu dengan kalimat yang tak pasti
“Jadi...., ibu benar-benar sudah mati....?” Reihan bertanya lagi. Namun setelah itu, suara wanita paruh baya itu tak terdengar lagi olehnya.
Tak pelak lagi, jantung Reihan menggelegar setelah dia menyadari bahwa wanita yang telah melahirkan dirinya ke atas dunia ini ternyata kini tiada lagi. “Ibu...! ibu...! ibu jangan tinggalkan aku ibu...! ibu...! ibu..! ibu jangan pergi....! ibu...! ibu...! ibu...!” Teriak Reihan tak henti-henti memanggil-manggil ibunya yang telah pergi menghadap Ilahi.
Remaja yang sebenarnya masih terjerembab dalam mimpinya itu meronta-ronta. Dia terus berteriak di alam bawah sadarnya, sampai-sampai suarnya serak tak bisa lagi bicara. Hingga suatu ketika teriakan dalam mimpinya terhenti secara mendadak di saat suara dentuman kembali terdengar dalam kegelapan malam yang pekak.
“....duaaaaaarrrrr....! buuuuuuuum....! braaaak...!” Sebuah peluru mortir musuh kembali meledak. Reihan yang tergeletak dalam mimpi sedihnya sontak tersentak. Dia terjaga telak, jantung merah dalam dadanya seketika terlonjak. Mimpi sedih dan bayangan kematian sang ibunda tercinta akhirnya lenyap mendadak. Tak diduga, sebuah peluru mortir kaliber besar kembali jatuh hanya beberapa puluh meter jauhnya dari tubuh Reihan yang sedang tergeletak.
Bagai sekarung granat tangan yang meledak dalam waktu bersamaan, begitulah kuatnya suara ledakan yang ditimbulkan, benar-benar menggemparkan. Bongkahan mesiu panas menggelegar terbakar. Bebatuan dan bongkahan tanah kembali pecah berhamburan, lalu bertebaran bagai gunung api meletus. Pohon-pohon yang yang tumbuh liar luluh lantah dan hancur berkeping-keping. Dahan-dahan dan dedaunan kering terbakar luar biasa. Malam yang hitam pun dalam sekejap mata kembali berubah menjadi merah membara.
Reihan mengusap-usap dada seketika dia terjaga. Tak ada lagi rasanya duka yang lebih menyentak dalam dada selain duka di saat mengetahui ibundanya tercinta mendadak pergi untuk selama-lamanya. Itulah yang dirasakan oleh Reihan dalam situasi perperangan kini. Walaupun semuanya itu hanya hadir dalam mimpinya, namun....., kesemuanya mampu mengalahkan ketakutan akan ledakan brutal yang sedang terjadi hanya beberapa puluh meter di depan mata.
Namun kegalauan perang perjuangan integrasi Timor timur belumlah usai. Semua prajurit yang terlibat termasuk Reihan sendiri menyadari akan hal itu. Pertempuran di kaki lembah perbukitan itu masih terus berlanjut, itulah kenyataannya. Reihan harus menyimpan rapat-rapat kesedihannya dalam dada hingga anjing pelacak pun tak akan mampu menciumnya. Senjata laras panjang AK-47 milik yang tergeletak di atas tanah kembali digenggamnya, kemudian dia kembali bangkit bersiap-siap untuk mempertahankan nyawa.
*****
Tiga menit setelah peluru mortir kaliber 105 mm yang terakhir jatuh, suasana dalam medan pertempuran yang dipenuhi oleh kerimbunan semak belukar di kaki lembah itu kembali hening dalam kegelapan malam.
Dalam waktu beberapa saat...., pasukan fretilin keparat menghentikan gempuran mortir mereka, namun pergulatan maut bagi prajurit-prajurit marinir infanteri yang selamat belumlah berakhir. Mungkin saja pasukan artileri musuh tengah melakukan “...reload...” pengisian amunisi dan kembali bersiap-siap dengan tembakan susulan mereka. Atau mungkin juga mereka merencanakan taktik lain dengan serangan frontal atau kontak senjata secara langsung di medan pertempuran. Hal itu mungkin saja terjadi, karena di samping mereka mempunyai kekuatan satu kompi pasukan artileri, jumlah pasukan infanteri fretilin yang berada di sana juga jauh lebih banyak, mungkin saja lebih dari sepuluh kali lipat bedanya jika dibandingkan dengan sisa-sisa prajurit infanteri marinir yang masih tersisa.
*****

Bình Luận Sách (15)

  • avatar
    firdausmohammad

    saya sangat suka dengan komando dan itulah cita" saya

    04/06

      0
  • avatar
    RadenRido

    mksi

    26/03

      1
  • avatar
    RifkyMuhammad

    bagus

    07/12

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất