logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Perubahan Revan

Risa berdiri di halaman sekolah bersama Vanya. Ia melihat murid-murid berhamburan keluar dari sekolah, ada yang keluar gerbang dengan kendaraan mereka, ada pula yang berjalan kaki lalu menunggu jemputan atau bus. Vanya berpamitan pulang duluan karena bus sudah datang, sementara Risa menunggu Arsen untuk pulang bersama.
"Gue pulang dulu, lo baik-baik sama Arsen, gue doakan semoga jodoh. Jangan lupa, lo hutang cerita ke gue." Vanya berlari keluar gerbang sambil melambaikan tangan.
Risa tersenyum dan mengangguk. Saat jam istirahat kedua, Risa ingin bercerita pada Vanya tentang dirinya yang merasa aneh akhir-akhir ini jika berdekatan dengan Revan, namun ia harus ke ruang guru karena dipanggil wali kelas mereka. Vanya tampak kesal karena penasarannya tidak terjawab saat itu.
"Risa?"
Risa menoleh dan melihat cowok dengan tinggi 180 cm berjalan ke arahnya. Cowok tampan dengan sikap dinginnya dan cowok yang populer dan digandrungi banyak siswi bahkan guru di sekolah.
"Apa?" tanya Risa jutek.
"Pulang bareng gue! gue mau ngomong."
"Gak bisa, lo pulang aja sendiri, gue---"
"Hai, Ris." Tanpa mereka sadari Arsen sudah berada di samping Risa.
"Hai, Ar." Risa tersenyum menatap Arsen.
Revan merasa di acuhkan dan melihat dua orang di depannya dengan tatapan kesal.
Ngapain Arsen kesini? Batin Revan.
"Hai, Van. Lo ada perlu sama Risa juga?" tanya Arsen.
Risa menatap Revan. Sementara Revan malas menanggapi karena tiba-tiba ia kesal dan ingin marah.
"Enggak, gue hanya lewat dan menyapa musuh bebuyutan, yaudah gue pergi dulu." Revan berjalan menjauh dan meninggalkan Risa yang masih berdiri mematung di sana.
Revan kenapa? Aneh banget, Batin Risa.
"Ris, gue ambil motor, lo tunggu di sini"
"Oke Ar," jawab Risa.
Tanpa mereka sadari, ada dua pasang mata yang memperhatikan mereka. Bahkan dua gadis itu memperhatikan sejak Revan datang menemui Risa.
"Sok kecantikan banget, sih, sampe dua most wanted sekolah ini menemuinya," ucap gadis bernama Alessa, teman Arsen satu Kelas.
"Bener banget, Sa, males lihatnya," ucap gadis bernama Karin di samping Alessa.
"Tunggu di sini, gue mau ke tempat Risa."
"Eh mau ngapain, Sa?" Karin khawatir dengan Alessa. Ia tahu Alessa bisa bersikap arogan jika miliknya diganggu seseorang. Karin hanya diam menatap sahabatnya itu menghampiri Risa.
Risa memutar bola matanya bosan. Entah kenapa Arsen belum muncul juga dari parkiran.
"Risa!" teriak Alessa.
Risa menoleh dan melihat seseorang yang melotot ke arahnya. Risa maskh acuh dan berusaha tidak peduli pada gadis itu.
"Ada apa?" tanya Risa jutek, ia membalas tatapan Alessa dengan ikut memelototinya.
"Lo itu---." Alessa berhenti berbicara karena tiba-tiba Arsen datang dengan motor sport nya.
"Alessa?" Arsen menatap Alessa dan Risa bergantian.
"Hai Ar, gue nyapa Risa bentar. Eh lo mau pulang ya, gue bareng lo ya? Gue gak dijemput, nih." Alessa menatap Arsen dengan tatapan manja.
Risa melotot karena dalam sekejap sikap Alessa berubah kalem saat berbicara dengan Arsen.
"Sorry Sa, gue gak bisa. Gue udah janji sama Risa buat pulang bareng."
Alessa cemberut, ia menatap Risa dengan tatapan jengkel, "Lo kenapa sih Ar, gue ajakin pulang bareng selalu gak mau, ngapain juga lo pulang sama dia." Alessa menunjuk Risa, "Dia kan suka bikin masalah, lo bisa-bisa ikutan bermasalah."
"Maksud lo, gimana tadi?" Risa menatap jengkel pada Alessa.
"Alessa, lo pulang sana, udah ditungguin sama supir lo tuh di depan, gue pulang sama Risa, ayo Ris." Arsen meminta Alessa segera naik ke motornya.
Risa tersenyum mengejek pada Alessa. Ia naik ke motor Arsen dan menjulurkan lidahnya.
Alessa kesal dan membanting tasnya. Karin yang sejak tadi memperhatikan dari jauh menghampiri Alessa.
"Awas ya lo, Ris, gue bales nanti." Alessa menghentikan kakinya kesal dan keluar gerbang menemui supirnya.
***
Risa dan Arsen sampai di Albana coffee yang searah dengan tempat tinggal mereka. Arsen memesan minuman sementara Risa menunggu di kursi. Keadaan kafe masih sepi, tapi sudah ada beberapa meja yang terisi.
"Ngelamun?" kedatangan Arsen mengagetkan Risa.
"Enggak kok, gue masih kepikiran tadi aja. Dia kayaknya suka deh sama lo," ucap Risa sambil tertawa.
"Alessa memang gitu, gak usah di pikirin," ucap Arsen bersamaan dengan pelayan kafe datang untuk memberikan minuman dan makanan di meja Arsen dan Risa.
Arsen menatap Risa, "Lo mau ngomong atau nanya sesuatu gitu?"
Risa yang sedang minum langsung kaget, hampir saja menyembuhkan minumannya. Benar kata Vanya, orang pinter mah bisa menebak situasi, batin Risa
"Duh, ngomong sama orang pintar, belum apa-apa niat terselubung gue ketahuan, deh." Risa tertawa dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Arsen ikut tertawa, "Yaudah katakan aja, santai kali sama gue."
"Eh, beneran?" tanya Risa sambil memuji laki-laki di depannya ini dalam hati, sungguh ramah dan baik.
Arsen mengangguk dan meminum cokelat hangatnya, "Tapi ada syaratnya."
"Syarat?" Risa mengerutkan keningnya.
"Jangan mikir aneh-aneh, gue bukan badboy, kok." Arsen tertawa.
"Lo nanya ke gue satu pertanyaan, gue boleh nanya ke lo satu pertanyaan juga, setuju?"
"Oke." Risa setuju.
"Lo mulai duluan aja."
"Gue mau nanya tentang temen lo, namanya Rindi." Saat mengatakan itu. Risa melihat Arsen mengerutkan keningnya.
"Rindika Yasmin?" tanya Arsen, Risa mengangguk.
Kenapa Risa ingin tahu tentang Rindi?, batin Arsen.
"Mungkin gue gak bisa kasih tahu banyak, tapi gue lumayan kenal dia."
Risa manggut-manggut, "Hmm ... dia itu punya masalah apa? Gue ketemu dia di ruang guru, dia seperti sedang tertekan sesuatu."
"Jujur aja untuk masalah di keluarganya gue gak tahu, karena memang dia tertutup, jarang berinteraksi dengan teman sekelasnya. Setahu gue dia sekarang dekat dengan Louren, itupun juga baru-baru ini karena mereka ikut olimpiade yang sama. Gue pernah ngobrol beberapa kali, tapi ya sebatas tanya masalah pelajaran di kelas, gak lebih dari itu, dia itu susah untuk diajak bicara," jelas Arsen.
"Apa dia juga pernah jadi korban bullying?" tanya Risa.
"Dulu pernah, Alessa dan Karin sering membullynya, tapi gue minta Alessa untuk menghentikannya, setahu gue sekarang udah enggak."
"Dua pertanyaan, ya? Gantian gue." Arsen menatap tajam Risa.
Risa menghela napas berat, kemudian mempersilahkan Arsen untuk bertanya.
"Kenapa lo suka berkelahi?"
"Hah? Oh ... hm ... gue sebenarnya bukannya suka berkelahi, tapi itu sebagai bentuk pertahanan diri, lo gak pernah lihat gue tawuran, 'kan? Ya karena memang gue gak seburuk itu," Jelas Risa.
"Oke, pertanyaan kedua. Gimana dengan kebanyakan orang bilang, kalau lo itu angkuh dan berbahaya?"
Risa tertawa, "Hah? Gue angkuh sih mungkin iya, emang gue jutek sama yang gak gue kenal. Kalau berbahaya? Emang lo pikir gue berbahaya?"
Arsen menggeleng.
"Emang gue pembunuh apa? Dibilang berbahaya. Aduh jadi sakit perut gue Ar, ada-ada saja, sih." Risa tertawa.
"Padahal gue lihatnya lo itu ramah periang dan manis." Arsen menatap Risa dan tersenyum.
"Hah?" Risa terkejut dengan perkataan Arsen.
"Duh, kepala gue jadi membesar, nih." Risa memegang kepalanya dan Arsen tertawa.
"Tanya satu lagi, ya? Lo sering gak lihat Rindi terluka entah itu tangan atau bagian tubuh lainnya?" tanya Risa.
Arsen mengangguk, "Beberapa kali emang gue lihat dia terluka, di tangan, kaki, bahkan di wajahnya. Pas gue tanya bilangnya terjatuh. Tapi gue yakin itu semacam luka pukulan atau kekerasan lainnya. Tapi gue gak berani nanya lebih jauh, kalau dari bully di sekolah kayaknya gak, sih." Arsen mengerutkan keningnya tampak berpikir sesuatu sementara Risa hanya mengangguk.
"Gue ganti tanya. Kenapa lo nanya ini semua?" Arsen menatap tajam Risa.
"Gue ... gue cuma penasaran aja, dia gadis yang kalem dan terlihat banyak tekanan dalam hidupnya, gak tahu kenapa gue sedikit peduli." Risa tersenyum miris. Arsen tersenyum dan mengusap rambut Risa.
"Sudah gue duga, lo emang peduli dengan orang lain."
Risa terkejut dengan apa yang dilakukan Arsen, kemudian ia tersenyum. Risa mulai nyaman berbicara dengan cowok di Depannya Itu. Setelah dari kafe, Arsen mengantar Risa pulang.
"Lo yakin gue antar sampai sini aja?" tanya Arsen
"Iya, gak apa-apa kok, gue sekalian olahraga sore, jalan-jalan sampai rumah," ucap Risa tersenyum.
Arsen berpamitan dan melajukan motornya menjauh. Risa tidak ingin tahu kalau saat ini ia tinggal di rumah Revan, cukup sampai jalan utama Arsen mengantarnya pulang. Risa berjalan menuju Endomaret, ia ingin membeli sesuatu sebelum pulang. Saat hendak membuka pintu, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang. Risa kaget dan melihat Revan sedang menariknya ke taman terdekat.
"Revan, lo ngapain tarik-tarik gue?"
Risa mengikuti langkah Revan tanpa melawan.
Revan berhenti di sebuah taman, ia berbalik dan melepas tangan Risa. Tatapannya yang tajam menguasai manik Risa.
"Gue udah bilang, 'kan, gue mau ngomong sama lo." Ekspresinya masih sama, datar dan dingin.
"Ngomong kan bisa di rumah," jawab Risa.
"Gak! gue mau ngomong di sini."
Risa memperhatikan Revan, lalu timbul niat untuk menjahili cowok di depannya ini.
"Jadi, lo nunggu gue pulang, ya? Revan sweet banget, lah," ucap Risa sambil tertawa mengejek.
"Bisa diam, gak?" Revan berusaha menahan emosinya.
"Nggak tuh, gue suka bikin lo kesal." Risa sengaja menyulut emosi Revan.
"Lo gak diam, gue cium!" Revan tersenyum smirk.
"Lo tadi ngomong apa? Emang lo berani apa, orang lo udah punya---"
Revan menarik tangan Risa dan menempelkan bibirnya pada bibir Risa. Hanya kecupan biasa tapi sukses membuat Risa membulatkan matanya, jantungnya bahkan berdetak sangat kencang. Beberapa detik kemudian Risa dan Revan melepaskan tautan bibir mereka dan saling menjauh. Keduanya diam.
Gue ngapain, kenapa malah cium bibirnya, Batin Revan sambil memegang kepalanya.
Revan cium gue? Cium gue? Astaga, ciuman pertama gue, gak bisa dipercaya, dan jantung gue, kenapa berdetak kencang begini? Batin Risa.
Suasana menjadi canggung karena mereka hanya diam, tidak bersuara sepatah katapun.
"Hm, gue kan udah bilang mau ngomong serius, lo malah bercanda, jadi gue..." Revan berusaha memecahkan keheningan di antara mereka, namun ia berhenti bicara karena mengingat kejadian tadi.
"Bodo amat, lo udah gila apa, ini tempat umum, untung sepi." Risa mendengkus kesal.
"Emang kita ngapain? cuma gitu doang." Revan memelankan suaranya.
Risa menatap tajam ke arah Revan, "Lo bilang gitu doang? Itu ... Itu ciuman pertama gue, ih kesel gue sama lo!” teriak Risa.
"Hah? Pertama?" Revan tertawa keras.
"Terserah lo, deh!” Risa memalingkan muka.
"Hm... Gue mau ngomong serius sama lo."
Risa mengerutkan keningnya, "Apa lagi?"
"Gue ... mau minta maaf soal yang kemarin, gue marah-marah sama lo." Revan berbicara pelan.
What? Revan minta maaf lagi? Bukan seperti dia biasanya, batin Risa
"Lo lagi kerasukan apa, sih? Tumbenan minta maaf, tapi bagus deh lo ngerti kalau lo salah." Risa tersenyum singkat.
"Kerasukan setan tampan," jawab Revan asal.
"Hih, kalau kerasukan setan gila sih iya." Risa tertawa. Suasana di antara keduanya sudah kembali seperti biasanya.
"Oh, berani ngeledek, mau gue cium lagi?" Revan mendekat pada Risa.
"Awas ya kalau berani, gue pukul!" Risa memukul Revan dengan tasnya. Bukan pukulan seperti orang berkelahi, tapi pukulan candaan.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang memperhatikan mereka dari jauh. Gadis itu tersenyum, ia memegang dadanya, terasa sakit. Kemudian ia beranjak pergi.
Risa dan Revan pulang bersama. Revan memaksa Risa untuk naik ke motornya. Risa yang awalnya menolak, kemudian meng-iya-kan ajakan Revan.
"Makasih,” ucap Risa.
"Gak gratis."
"Apa?" Risa melotot pada Revan.
"Bercanda." Revan nyengir.
"Sialan." Risa memukul punggung Revan.
Mereka masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu sudah ada Rani dan Nadia. Mereka sedang menonton televisi.
"Wah, kalian sudah pulang, sini ibu mau bicara sama kalian, ibu ada kejutan loh." Rani berkata dengan semangat.
"Ciye, yang udah gak marahan lagi,” goda Nadia.
"Apaan sih kak, Nad." Risa tersenyum, begitu pula Revan. Risa dan Revan duduk bersama Rani dan Nadia.
"Ibu ada kejutan buat kalian bertiga, taraaaa..." Rani mengeluarkan beberapa lembar kertas.
"Wah ini semacam kupon liburan kah, Bu?" Nadia mengambil kertas itu.
Rani mengangguk, "Jadi supplier ibu kasih kupon ini, karena ibu bisa menjual barang melebihi target, trus ibu dikasih ini, untuk tiga orang."
"Yogyakarta? Wah lama gak ke Yogyakarta," ucap Risa memperhatikan kupon tersebut.
"Ibu ingin kalian yang berangkat, Ibu ada kerjaan lain, makanya ini kupon untuk kalian bertiga, berangkat hari sabtu sore, senin sore nanti pulang. Kalian kan hari senin libur sekolah,” jelas Rani.
"Wah tante, kok Risa jadi ikut juga."
"Gak apa-apa sayang, kalian kan juga harus liburan, anak muda loh, deket aja yang penting bisa merefresh otak. Kalian naik pesawat aja, nanti ibu pesankan tiketnya. Gratis juga kok dari supplier.”
"Pokoknya kita harus berangkat oke, Van, Ris?" ucap Nadia semangat.
Revan dan Risa mengangguk, kemudian mereka beranjak ke kamar masing-masing. Rani dan Nadia saling pandang, kemudian mereka tersenyum.
Risa membanting tasnya sembarang, ia kemudian merebahkan diri di kasur.
Revan kenapa, sih? dulu gue benci banget karena dia nyebelin dan kasar, ngajakin berantem mulu...Sekarang? tiba-tiba berubah? Apa dia merencanakan sesuatu? Dan... dia cium gue? batin Risa.
Risa menggulingkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Ia bingung dengan keadaannya sekarang.
Handphone Risa berbunyi. Risa mengerutkan keningnya melihat nama yang melakukan panggilan di handphone nya, kemudian mengangkatnya.
Risa
Apa?
Gavin
Jutek banget!
Risa
Bodo amat!
Gavin
Dih, marah, ya?
Risa
Lo pikir?
Gavin
Hahaha, lucu banget adek abang.
Risa
Gak ada yang ngelawak!
Gavin
Iya, iya, abang minta maaf deh.
Risa
Gak di maafin!
Gavin
Bodo amat!
Risa
Gue matiin!
Gavin
Belum juga ngomong udah mau dimatiin. Bentar dong… gue beneran minta maaf.. .abang gak bisa pulang, abang ngerjain tugas akhir...bener gak bohong.
Risa
Trus?
Gavin
Ya udah jangan jutek dong, gimana kabarnya dek? Disana aman kan?
Risa
Aman kok, yaudah cepet pulang, gue jutekin seumur hidup kalau lo gak pulang.
Gavin
Iya, jangan galak dong, bentar ya, abang selesaikan dulu tugasnya.. Nanti abang telpon lagi ya.
Risa
Sambungan terputus.
Gavin mengumpat, adiknya memang selalu begini.
Sementara di kamar lain, Revan membaringkan tubuhnya, ia ingin tidur namun matanya enggan tertutup.
Kenapa gue kepikiran Risa terus, kenapa gue jadi begini? Ah gue harus fokus sama Rindi. Sadar Van,
sadar! batin Revan.

Bình Luận Sách (638)

  • avatar
    FransiskaAde

    ditunggu kelanjutan ceritanya kak, jangan lama lama munculin bab baru nya😁

    18/06/2022

      5
  • avatar
    AimanArif

    good

    1d

      0
  • avatar
    BR PANEMUTIARA

    aku sih blm tau benar bisa di tukar apaa enggak tapi ,klo bisa keren sih

    6d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất