logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Keputusan Melegakan

Sepi dalam keramaian, itulah yang Viskha rasakan sekarang. Dia tenggelam dalam lautan manusia berlalu lalang. Pergi tanpa tujuan. Barukali ini dia berada dalam situasi demikian. Sekalipun dan sedikit pun tidak pernah terpikirkan sepanjang hidupnya, akan ada satu masa yang membawanya lari dan tega mempertaruhkan nama baik keluarga. Bahkan sampai mengabaikan rasa hormatnya terhadap orang tua.
Dia terpejam lalu membuka mata, menatap langit legam setibanya di terminal. Melangkah tanpa arah. Dia tahu betul alasan pelarian itu, tetapi tidak tahu tempat yang dituju. Setidaknya untuk sementara waktu sebelum penantian itu berujung temu. Dia juga tak mungkin mempercepat masa bersua, mustahil baginya menghampiri insan nun jauh dari jangkauan dalam kondisi demikian.
Mengabaikan sejenak rasa bersalah yang bercokol dalam dada, dia berupaya memikirkan solusinya. Bila tidak orang tua dan kakaknya kemungkinan akan segera menemukannya. Tidak, jangankan bertemu, bahkan berbicara dengan mereka saja dia merasa tak punya lagi nyali.
Gadis bercelana jeans dipadukan atasan kaos oblong dan jaket parasut itu berjalan, hingga suara kernet meneriakkan kota tujuan bus yang ditumpangi terdengar. Viskha terperangah, secepat kilat otaknya bekerja. Teringat kepada sahabatnya semasa kuliah dulu.
“Ya, Talita!” Viskha berlari menuju bus yang telah melaju. “Mas, tunggu, Mas!” pintanya saat telah dekat kendaraan itu. Mengalihkan tas ke depan, lantas berusaha naik cepat-cepat.
“Ayo cepet-cepet, naek!” Si kernet segera membantu Viskha naik seraya melompat dari pintu. Selanjutnya meneriakkan lagi nama kota tujuannya.
Viskha masuk dengan limbung dalam bus yang kembali melaju tanpa menunggu dia duduk. Suasana bus kelas ekonomi seketika menyambutnya. Berdesakkan, panas, bau keringat dan asap, juga polusi suara yang tak bisa dihindari. Dia tidak terbiasa dengan kondisi seperti itu. Namun, tak ada pilihan. Terminal itulah tempat terdekat yang bisa dijangkau, belum lagi meminimalisir dugaan orang rumah tentang tempat pertama yang dikunjunginya. Selain itu satu-satunya bus yang akan membawa pindah segera dari kota kelahirannya.
Dia terus berusaha melangkah pelan seraya mendekap tas punggung besarnya. Mendesak di antara lautan manusia dan bau menyengat bensin juga berbagai campuran bebauan. Mencari kursi kosong yang bisa diduduki, tetapi tidak juga didapatkan. Dia menatap orang-orang di depannya yang berdiri di lajurtengah dan berpegangan ke kursi di sampingnya.
Terpaksa dia pun melakukan hal serupa seraya memegangi tas di depan. Bus terus melaju di jalanan kota yang masih ramai. Diliriknya arloji cokelat susu, jarum menunjukkan angka sembilan. Beralih menoleh ke jalanan melalui jendela bus. Lampu-lampu berpancar menerangi jalanan yang gelap.
Viskha terpejam lagi setelah menunduk. Membayangkan respons orang tua, kakak, juga seluruh keluarga. Betapa buruknya akibat dari perbuatannya. Namun, sekarang terlambat untuk menyesali tindakan impulsifnya. Ya, dia telah memilih berarti harus siap juga dengan segala risikonya. Di sisi lain lagi, dia merasa lega dengan keputusannya. Tak bisa menjalani sesuatu di luar keinginan hati. Ya, pesta pernikahan hanya sehari, tetapi menjalani masa ke depannya adalah yang tak terhingga. Dia tak mau menjalani rumah tangga tanpa rasa. Tersiksa selamanya karena terpaksa. Itu sama sekali bukan pilihan baik.
Biarlah kemarahan keluarga dan rasa malu ditanggung, tetapi dia tidak bisa mengorbankan masa depannya. Terlebih mengingat respons insan yang hendak dijodohkan dengannya. Pastilah dia juga akan senang mengetahui hal itu. Ketika kali pertama bertemu saja, dia telah bisa melihat penolakan dari gelagat Leonard. Itu cukup menjadi penambah petunjuk atas kebenaran tindakan yang dilakukan.
Dia menghela napas, menenangkan perasaan juga pikiran. Mengenyahkan segala hal yang mengganggu benak. Fokus dengan hal yang akan dilakukan ke depannya. Demi janji yang telah diikrarkan, cinta, dan cita-cita yang dalam waktu dekat akan segera terlaksana.
-¤¤¤-
Di tempat lain, di bawah langit yang sama. Mardhan danHisyam baru tiba di rumah megahnya. Disambut teriakkan dan isak tangis.
“Ibu!” Hisyam menghambur ke dekat ibunya yang bersimpuh dilantai dan bersimbah air mata.
“Ada ribut-ribut apa ini?” tanya Mardhan dengan lantang seraya masuk. Hingga netranya bisa melihat insan yang berdiri pongah dengan wajah diselimuti kebencian.
Lika yang bersimbah air mata berusaha mengendalikan hati. Sesak di dada berusaha dienyahkan seiring tarikan napas yang dihembuskan. Kepalanya terasa berdenyut memikirkan semua yang baru terjadi, ditambah kekacauan yang menyambutnya sejak tadi.
“Katanya keluarga berpendidikan dan menjunjung tinggi tata krama, kenyataannya bertindak di luar batas kesopanan!” teriak seorang pria tambun berambut cepak, Guntoro Kertajaya di samping seorang wanita berpenampilan glamor.
“Apa kata Mami, juga, Pi. Mereka ini bukan keluarga baik-baik. Sudah kubilang jangan ada acara perjodohan segala dengan anak mereka. Lihat, kan, akibatnya! Lihatlah, betapa wajah tanpa dosanya menanyakan ada apa? Seolah kitalah yang menyebabkanprahara!” Nyonya Kertajaya mengibaskan kipas yang dibawa-bawanya ke mana pun.
Hisyam tak bisa melawan. Lebih memilih membawa ibunya kekamar. Entah perkataan apa yang telah dilontarkan dan tindakan yang dilakukan keluarga Kertajaya itu. Dia harus menanyakan kepada istrinya nanti. Omong-omong di mana istrinya? Di keadaan seperti ini bisa-bisanya dia bersembunyi dan membiarkan ibu mertuanya menghadapi sendirian. Hisyam lagi-lagi geleng-geleng, giginya bergemeletuk. Namun, berusaha diabaikan. Itu bisa diurusnya nanti. Sementara masalah yang tersaji depan mata mesti dihadapi saat ini juga.
Mardhan mengatupkan tangan depan dada. “Atas nama putri kami dan diri saya pribadi. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sungguh ini di luar kendali kami. Kami-”
“Kami enggak mau tahu soal itu! Kita sudah sepakat dengan perjodohan itu. Dan anak kalian yang kabur merusak segalanya! Membuat malu dan mencoreng nama baik keluarga kami! Lebih-lebih merugikan kami. Berapa biaya yang telah kami keluarkan untuk semua ini? Apa kalian enggak berpikir? Undangan telah disebar dan beberapa jam lagi malah dibatalkan? Apa kata orang di luar sana? Keluarga besar kami dan para kolega.” Guntoro melayangkan tatapan nyalang seiring napas yang tersengal.
Mardhan bergeming, menunduk, dengan sesak yang serupa menyerang dada. Urat di lehernya telah menegang. Lebih dari sekadar malu akibat perbuatan putrinya, ucapan-ucapan orang di hadapannya merupa hinaan yang tidak bisa dimaafkan. Namun, dia tidak bisa beralibi apa-apa. Viskha memang salah, sangat-sangat salah.
Hisyam kembali ke ruangan itu, lantas turut bicara.
“Tolong, beri kesempatan kepada kami. Beri kami waktu untuk memperbaiki semuanya. Kami janji akan membawa Viskha ke hadapan keluarga Kertajaya. Secepatnya!”
Guntoro meludah ke samping kiri. “Saat itu terjadi semuanya telah terlambat. Apa Anda tidak berpikir betapa cepatnya berita menyebar di era milenial seperti sekarang?” Pria itu memicing. “Bagaimana kalian akan menghapus semua itu, memperbaiki semuanya?” Tawa meremehkan pria itu menguar.
“Media! Jika berita ini menyebar secepat kedipan mata. Kita juga bisa menyelesaikannya melalui media yang sama dengan kecepatan serupa. ”Hisyam berdiri penuh keyakinan. “Saya punya rencana!” Dia berjalan mendekati Guntoro.
-¤¤¤-

Bình Luận Sách (72)

  • avatar
    Mass Bondoll

    50.000

    13d

      0
  • avatar
    FridayantiSiska

    kak ini cerita nya sudah tamat ya

    11/08

      0
  • avatar
    SrAndrian

    biyasasaja

    11/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất