logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Renjana Takisha

Renjana Takisha

Riviya Jasmine


Part 1 Fitnah Guna-guna

Part 1
Aku sadar, statusku sebagai seorang gadis yang telah memiliki anak akan menjadi pertimbangan bagi siapa pun yang ingin menikahiku. Tak lain halnya dengan keluarga Mas Fikhi. Statusku yang menjadi pokok utama alasan mereka untuk menolak kehadiranku di antara keluarga besarnya. Status inilah yang membuat mereka tega menghina, menghujat bahkan memfitnahku.
“Mas mau diruqyah. Karena mereka berpikir mas diguna-guna sama kamu,” jawab Mas Fikhi saat kupaksa bicara jujur.
“Apa?” suaraku tercekat di tenggorokan. Gelas yang tadi kupegang nyaris terjatuh ke lantai jika saja aku tak langsung menguasai diri ini. Bulir bening pun jatuh tanpa bisa kucegah. Bukan hanya terkejut mendengar ucapan Mas Fikhi, tapi ada yang terasa nyeri di dada ini.

Kucoba untuk tenang, tapi semakin sakit yang terasa di kalbu. Mas Fikhi menatap mataku, seolah mencari sebuah kebenaran di sana. Aku tahu, ada keraguan dalam tatapannya. Keraguan akan tuduhan yang dilontarkan oleh kakak perempuan tertuanya. Ucapan yang mewakili dari seluruh keluarga besarnya. Tak dapat dipungkiri, tuduhan yang mereka ucapkan seolah benar adanya, mengingat kegigihan Mas Fikhi untuk menikahiku.
Sudah satu tahun ini kami menjalin hubungan, tapi keluarga besarnya tak merestui. Berbagai cara telah kami lakukan untuk bisa mengambil hati mereka. Namun tak membuahkan hasil. Bahkan itu semakin membuat mereka menuduhku demikian. Terkadang aku lelah menghadapi hal ini, berkali kuputuskan untuk menyerah, tapi keyakinan yang diucapkan Mas Fikhi membuat semangatku kembali.
Sama halnya beberapa waktu lalu, aku menyerah. Tak ingin lagi melanjutkan hubungan ini. Bagiku kesendirian mungkin lebih baik dari pada harus menelan cacian dan hinaan setiap hari. Rasa lelah berjuang untuk hubungan yang tak pasti membuatku harus mengakhirinya. Namun, seminggu yang lalu Mas Fikhi kembali datang dengan membawa kabar bahwa keluarganya telah merestui hubungan ini.
Hati siapa yang tak senang mendengar kabar yang telah lama diimpikan, dengan suka cita kusambut ia kembali. Mencoba kembali merajut asa yang hampir hilang tertutup keputusasaan. Bayangan indah akan hubungan halal menari-nari di pikiranku.
Entah apa yang telah mempengaruhi pikiran kedua orang tuanya. Tiba-tiba saja mereka menyatakan setuju untuk menjadikanku sebagai bagian dari keluarganya. Semua tak pernah dipermasalahkan. Bagiku mendapat restu dari mereka saja sudah lebih dari cukup. Apapun yang akan terjadi nanti, biarkan Sang Pencipta yang mengaturnya.
Rencana lamaran pun mulai diatur. Minggu depan keluarga besar Mas Fikhi akan datang. Segala sesuatu mulai dipersiapkan untuk kedatangan keluarganya kelak. Aku pun menghubungi keluargaku untuk meminta restu. Mereka menyambut gembira kabar yang kuberikan. Betapa tidak, setelah sekian lama mereka membenciku karena dosa di masa lalu, kini mereka telah membuka pintu maafnya. Mereka berharap agar aku dapat memiliki pasangan hidup yang baik.
Namun, kekecewaan kembali datang. Saat siang ini Mas Fikhi membatalkan janji untuk menemaniku berbelanja. Ia yang selalu tepat janji tiba-tiba membatalkannya tanpa alasan yang jelas. Setelah kudesak, akhirnya keluarlah pernyataan yang membuat hati ini hancur. Bahkan harga diriku pun terasa diinjak-injak.
Sehina itukah diri ini di mata mereka hingga tega memfitnahku sekeji itu. Sehina-hinanya diri ini, tak pernah aku berkeinginan untuk berbuat syirik. Sakit hati ini mendengarnya, terlebih yang mengatakan itu adalah suami dari kakaknya. Seseorang yang berpendidikan tinggi bahkan berilmu dalam bidang agama.
“Apa Mas percaya dengan ucapan mereka?” tanyaku dengan suara serak menahan kekalutan yang menyelimuti hati. Kutatap retina coklat yang selalu menenangkan hati yang selalu gundah. Tampak kebimbangan di sinar matanya yang membuatku semakin kecewa. Mungkinkah di hatinya pun meragukan kesucian cintaku? Atau bahkan ia pun berpikiran yang sama dengan keluarganya.
“Dek, jika memang kamu tak melakukan itu, izinkan Mas menemui mereka dan membuktikan bahwa mereka salah,” jawab Mas Fikhi meyakinkanku.
“Tapi aku sakit hati, Mas,” ucapku tak terima dengan tuduhan mereka. Ada rasa nyeri yang terasa di dalam hati ini. Luka yang dulu pernah ada bagaikan disiram dengan air jeruk, yang membuat perihnya terasa lebih mendalam.
“Mas tahu. Mas percaya sama kamu. Jadi, izinkan Mas untuk membuktikannya.” Mata teduh itu menatapku dengan penuh keyakinan. Mengalirkan aura positif ke dalam tubuh ini. Kata-katanya mampu menghipnotisku. Membangkitkan keyakinan yang mulai sirna di hati ini.
Aku menghela nafas panjang. Apa yang dikatakan Mas Fikhi memang benar. Aku harus membuktikan jika semua tuduhan mereka adalah tidak benar. Bila ia tak memenuhi keinginan mereka itu sama saja dengan membenarkan tuduhannya. Membenarkan bahwa aku telah melakukan hal yang dianggap syirik terhadap Mas Fikhi demi kepentingan sendiri.
Dengan berat hati, ku izinkan Mas Fikhi untuk menemui mereka. Kepergiannya seolah turut menarik jiwaku lepas dari raganya. Aku kembali merasakan kosong. Bulir-bulir bening yang sedari tadi kutahan, kini mulai jatuh tak terkendali. Namun, segera kuhapus air mata yang berjatuhan. Aku tak ingin terlarut dalam kesedihan. Kubiarkan saja semuanya mengalir dengan sendirinya. Biarkan mereka puas dengan apa yang diharapkan. Aku yakin semua tuduhan mereka tak terbukti.
Hari mulai larut, kabar dari Mas Fikhi belum juga datang. Kegelisahan semakin melanda diri ini. Pikiran buruk mulai berdatangan. Seolah-olah menari-nari di benak ini. Satu hal yang muncul dalam benak ini, bagaimana jika mereka bukannya meruqyah Mas Fikhi, tetapi malah mempengaruhinya. Cepat kutepis pikiran buruk itu. Apa bedanya diriku dengan mereka jika berpikiran demikian. Segera diri ini memohon ampun kepada Zat Pencipta.
Ingin segera kuhubungi gawainya, tapi sekuat mungkin kutahan. Aku tak ingin malah menjadi bumerang. Biarkan semua berjalan sesuai dengan apa yang telah diatur-Nya. Kucoba untuk mengikhlaskan semua kemungkinan yang terjadi. Aku tak ingin para setan bersorak gembira karena telah berhasil mempengaruhi pikiran ini. Walaupun ada kepedihan yang tak mampu kutuangkan dalam kata. Rasa sakit atas tuduhan dan fitnah yang mereka tujukan padaku. Rasa sakit ini tidak selamanya tak berharga sehingga harus dibenci. Sebab bisa saja rasa sakit ini kelak akan mendatangkan kebaikan untukku.
Semuanya kuserahkan kembali kepada Sang Pemilik Hidup. Menuangkan semua keluh kesah ini dalam sebait untaian doa. Biasanya ketulusan sebuah doa akan hadir tatkala rasa sakit mendera. Aku percaya segala sesuatu itu ada dan akan terjadi sesuai dengan ketentuan dari-Nya. Ini merupakan keyakinan orang-orang Islam dan para pengikut setia Rasulullah. Yakni, keyakinan mereka bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak akan pernah ada dan terjadi tanpa sepengetahuan, izin, dan ketentuan Allah.
Aku berbaring di atas kasur tipis yang telah membersamai selama ini. Kupandangi sosok mungil yang terbaring di hadapan dan telah terlelap sedari tadi. Sosok yang menjadi akar masalah dari hubunganku dan Mas Fakhi. Gadis mungil tanpa dosa yang selalu dipermasalahkan oleh keluarga besarnya. Dialah Rayya, anakku. Anak yang lahir dari rahimku, yang kudapat dari sebuah dosa di masa lalu.

Bình Luận Sách (112)

  • avatar

    sangat bagus

    25d

      0
  • avatar
    HasminaNur

    cerita a bgus bgt,,,terharu bgt n ccok lah

    29d

      0
  • avatar
    YarabiBimbi

    keren

    31/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất