logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Ada Cinta Lain

Azwar benar-benar memaksa membawaku ke rumahnya. Berulang kali aku mencari alasan untuk mengundur-undur kunjungan ini. Sayangnya, Azwar lebih gigih lagi meyakinkan.
Akhirnya di sinilah kami sekarang. Di rumah Azwar, sedang duduk bersama mamak dan adiknya. Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Jadi, di rumah ini mereka hanya tinggal bertiga saja.
"Alia, tinggal di mana?" Pertanyaan pertama dari calon mertua.
Aku menjawab dengan menyebutkan nama daerah tempat tinggalku yang sedikit berjarak dari rumah Azwar ini. Sekitar tiga puluh menit jauhnya.
"Azwar sering sekali menceritakan tentang Alia. Ternyata secantik ini, pantas Azwar sampai tergila-gila begitu," ucap mamak Azwar yang seketika menambah semburat merah di pipiku. Antara malu dan bahagia.
Setelah makan siang di rumahnya, kami kembali ke kampus untuk mengurus berkas pindah Fakultas.
"Baru kali ini Mamak suka sama pilihan Abang," ucap Azwar dalam perjalanan.
"Apa Bang? Memangnya sudah ada pilihan lain sebelum aku, ya?" Kutautkan alis meminta penjelasan atas ucapannya barusan.
"Eh, enggak Dek. Mana ada, 'kan Abang cuma bilang pilihan. Bisa macam-macam ‘kan bukan hanya perempuan." Azwar memberi penjelasan yang sebenarnya sedikit membuatku janggal. Tetapi, ya, sudahlah. Biarkan saja.
***
Aku menangis tersedu-sedu. Sungguh, tidak pernah terpikir Azwar lebih memilih membantu temannya daripada aku. Menunggu hampir dua jam, kemudian dengan mudahnya dia menelepon mengabari kalau dia tidak jadi datang hanya karena menemani Eka belanja.
Padahal selama ini hubungan kami tetap baik-baik saja memasuki tahun kedua. Meski tidak lagi kuliah di tempat yang sama, segala hal tentang kami berdua tidak ada yang berubah. Aku masih mencintai dia sama seperti dulu.
Eka, teman sekelas Azwar. Aku mengenalnya juga. Sejak penampilan Azwar berubah setahun lalu, aku melihat gelagat Eka menjadi berbeda terhadap Azwar. Nampak sekali dia mulai tebar pesona. Sebagai perempuan, aku sangat tahu jika Eka menyukai Azwar. Tadinya aku pikir Azwar tidak akan terpengaruh. Tetapi, sekarang nyatanya ia jatuh juga.
"Halo Alia."
"iya," jawabku datar.
"Lho, kok diam? kamu kenapa?" suara Azwar terdengar biasa saja, tidak merasa bersalah sedikit pun tentang janji yang dia batalkan siang tadi.
"Kamu tega, lebih memilih Eka daripada Aku." Air mata mengalir dengan sendirinya setelah kuucapkan kalimat itu.
"Eka butuh bantuan tadi. Dia kesusahan belanja sendiri." Azwar masih membela Eka.
"Terus aku?"
"Janji sama kamu ‘kan bisa besok-besok lagi, Alia." Tegas Azwar memberi jawaban.
"Belanja sama Eka 'kan juga bisa besok Azwar." Aku menggigit gigi mengeluarkan kata-kata ini. Tidak lagi mau kusebut ia 'Abang'.
"Eka ajaknya tadi, gimana dong?" Masih sepolos itu ia menjawab. Tidak sadarkah ia, itu menyakitiku?
"Ya sudah, kalau begitu kita putus!" teriakku senyaring-nyaringnya di telepon.
"Kalau memang itu mau Alia, oke. Baiklah," balas Azwar lembut dan datar seperti biasa. Tidak ada emosi apa pun dalam nada suaranya. Bahkan ia tidak berusaha mempertahankan aku.
***
"Alia pulang bareng yuk!" Syahrul mengangetkan dan menghentikan langkahku yang hendak menyeberang jalan.
"Kamu duluan saja, aku mau ke pustaka dulu." Aku berbohong.
"Kalau begitu, aku antar ke pustaka. Enggak perlu jalan kaki, Alia, ayo naik!" titahnya memberi kode agar aku naik ke jok belakang motornya.
Aduh, alasan apalagi yang bisa kugunakan untuk menghindarinya? Syahrul teman di Fakultas baru. Sejak beberapa bulan lalu dia memang sangat perhatian padaku. Setelah tahu aku putus dengan Azwar, ia semakin menjadi-jadi mendekatiku. Padahal, aku selalu menolaknya tetapi ia tetap saja seperti pantang menyerah.
"Ayo Alia, kok malah bengong?" Suara Syahrul membuyarkan lamunanku yang sedang mencari alasan berikutnya untuk menghindari dia.
Karena tak juga menemukan alasan tepat, terpaksa aku naik ke motornya. Tampak, Syahrul tersenyum lebar saat aku menuruti ajakannya kali ini.
Sebenarnya Syahrul ini baik, akan tetapi hatiku sudah terlanjur kuserahkan pada Azwar. Meski telah putus, tetap saja aku masih sangat mencintai Azwar. Berulang kali kucoba membuka hati, tetap saja tidak bisa.
***
Hari ini aku kembali datang ke kampus lama, kampus Azwar. Sebenarnya ini hal gila dan pasti memalukan. Niatku kemari adalah untuk mengajak Azwar balikan. Terserahlah nanti, ia akan menganggap aku perempuan seperti apa, karena aku benar-benar tidak sanggup kehilangan dia.
Tak perlu waktu lama menunggu, dari kejauhan aku melihat Azwar keluar dari kantin. Sayangnya, ia tidak sendirian. Bersama Eka. Ah, apa peduliku. Sedang bersama siapa pun dia, aku perlu bicara.
"Bang!" Aku menghampiri mereka.
Tampak Azwar terkejut atas kemunculanku yang tiba-tiba. Eka langsung menunjukkan ekspresi tidak sukanya. Memangnya aku salah apa sama dia? Aneh.
"Alia, ada apa kemari?" Azwar tersenyum menyapa. Masih senyum yang sama seperti dulu, senyum yang juga masih kurindukan.
"Aku ingin bicara, berdua," ucapku sambil melirik Eka agar dia segera pergi dari sini.
"Oke, ayo kita ke sana!" Azwar melangkah terlebih dulu mengajakku duduk di bangku kayu panjang di ujung kampus. Kebetulan hari ini tidak ada satu orang pun di bangku itu. Biasanya selalu ramai yang nongkrong di sana jika bukan di jam padat jadwal kuliah begini.
Aku tersenyum senang. Sebelum melangkah mengikuti Azwar, kuberikan senyum sinis untuk Eka yang wajahnya tidak ada manis-manisnya itu.
"Alia ingin kita balikan, Bang," ucapku setelah kami duduk.
Tidak ada raut terkejut dari wajah Azwar. Dia malah tersenyum lebih lebar dari tadi sambil menatap wajahku.
"Kenapa Abang senyum?" tanyaku manyun sekaligus malu karena dia belum menjawab 'iya' atau 'tidak'.
Sedetik kemudian baru Azwar mengangguk. "Abang memang menunggu moment ini," ucapnya. Terlihat matanya berbinar. Aku pun demikian, bahagia sekali rasanya.
"Jangan pernah bilang putus lagi, ya!" Azwar berseru pelan sambil menatap mataku dalam.
Aku hanya mengangguk saja. Mengangguk sangat kuat. Kulengkungkan senyum terbaik untuk hari ini.
"Eh iya, jadi, Eka, Bang?" tanyaku sesaat setelah mengingat perempuan itu.
"Berapa kali lagi sih harus Abang bilang? Eka itu cuma teman. Cuma teman. Paham?" Azwar mengulang-ulang pernyataannya dengan geram.
"Iya, paham." Aku mengangguk lagi sambil cengengesan.
***
Rutinitas pagi dan hari-hari bersama Azwar kembali seperti biasa. Nilai-nilai akademikku di kampus baru juga membaenggakan. Keluarga sudah mengetahui hubungan kami dan mereka semua menyetujuinya. Aku bahagia tentu saja. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini.
Hingga suatu malam, Lina-sahabatku- menelpon, mengabari berita yang kemudian menjadi tetesan air mata.
"Alia, kenapa tadi kamu tidak ikut ke pantai?" tanyanya di detik pertama aku mengangkat telepon.
"Iya, tadi aku ada acara keluarga. Maaf, ya!" balasku setengah merasa bersalah karena minggu ini aku tidak ikut berkumpul bersama mereka. Lina, Sri dan Ayu. Sahabat-sahabatku.
"Kamu tahu enggak apa yang kami lihat tadi?" tanya Lina lagi.
"Apaan?" aku menjadi antusias dengan apa yang akan disampaikannya.
"Tapi janji, jangan marah dan jangan nangis," ucap Lina mulai terdengar keragu-raguan dalam nada suaranya.
Aku mengangguk, meski Lina tidak dapat melihat. Hatiku mulai tidak tenang. Kenapa harus ada ultimatum ‘jangan menangis’? Kalau begini ‘kan pasti hal yang tidak menyenangkan.
"Tadi kami, aku, Sri dan Ayu melihat Azwar di pantai," ucap Lina pelan, pelan sekali malah.
"Terus?" penasaranku membuncah.
"Dia bersama perempuan Alia."
Duarrr ... Jawaban terakhir Lina seperti suara petasan meledak dalam hatiku.
"Eka?" tanyaku bergetar.
"Bukan, perempuan lain. Kami tidak kenal," beritahu Lina sebelum pamit menutup telepon.
Siapa perempuan itu? Azwar tidak bilang jika minggu ini ia akan ke pantai. Ini harus dituntaskan segera besok pagi.

Bình Luận Sách (782)

  • avatar
    Mohd AmirAhda Suhada bt Mohd amir

    I so like the story

    1d

      0
  • avatar
    TatiHartati

    bagus

    3d

      0
  • avatar
    Naufal

    semoga dapat

    5d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất