logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Cinta Itu  luka

Cinta Itu luka

Fadiaturrahmi


Chương 1 Orientasi Kampus

Siapa di sini yang lulusan Pondok Pesantren dan Madrasah Aliyah?" Suara Dosen matrikulasi mata kuliah Bahasa Arab menggema di ruangan kelas pertamaku sebagai mahasiswa.
Matrikulasi adalah nama program belajar khusus Bahasa Arab dan Bahasa Inggris untuk Mahasiswa Baru, yang berlangsung selama dua bulan sebelum masuk ke semester pertama. Program ini wajib diikuti semua mahasiswa baru tanpa terkecuali, dan nantinya nilai dari perkuliahan di program ini juga akan masuk dalam kartu hasil studi di semester satu.
"Baik, bagi yang lulusan Pondok Pesantren dan Madrasah Aliyah, tolong untuk tetap di ruangan ini!" seru sang Dosen kembali setelah beberapa dari kami mengangkat tangan menjawab pertanyaan beliau di awal tadi.
"Untuk yang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Kejuruan dan yang sejenisnya, mari ikut saya, kita belajar di ruangan yang lain!" ajak Bapak Dosen Bahasa Arab ini lagi.
Aku segera bangkit, mengikuti Dosen tersebut yang telah lebih dahulu keluar dari ruangan. Tentu saja aku tidak sendiri, Ada sekitar lima belas mahasiswa yang sama sepertiku. Kami melangkah ke luar kelas, menuju kelas lainnya yang tidak terlalu jauh juga dari kelas semula.
***
"Maaf, aku tidak membawa buku untuk mencatat. Boleh aku meminta selembar kertas?"
Sebuah suara dari sisi kanan mengagetkanku yang sedang serius memperhatikan penjelasan tentang 'kata ganti' dalam Bahasa Arab.
Kutarik selembar kertas dari binder book dan menyerahkan kepada si empunya suara tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.
"Terima kasih," ucapnya pelan, yang hanya kubalas dengan anggukan.
***
"Maaf, boleh aku meminta kertas lagi? Hari ini aku juga tidak membawa buku catatan."
Suara itu lagi. Ini sudah hari kelima program matrikulasi berjalan, dan dia masih saja meminta kertas sejak hari pertama.
Bukan pelit atau tak ingin berbagi. Tetapi, ini sungguh menyebalkan. Bagaimana bisa ia menghadiri kuliah namun selalu tidak membawa perlengkapan.
"Ini!" Selembar kertas kusodorkan ke hadapannya. Kali ini aku berpaling ke arahnya. Ia cengengesan, seolah tahu jika aku kesal. "Kalau ke sawah itu harus bawa cangkul," ketusku.
"Aku ke sawah hanya untuk menjaga burung Pipit agar tidak menggangu padi," ucapnya sambil terkekeh.
"Enggak lucu!" Mataku mendelik yang justru menambah suara kekehannya terlihat sangat senang.
"Siapa namamu? Sudah lima hari kamu memberikanku kertas, tetapi aku belum tahu namamu." Si Tukang minta kertas kembali bersuara.
"Penting?" Aku semakin sewot karena kuliah sedang berlangsung tetapi dia terus mengganggu mengajak bicara.
"Ya, pentinglah, supaya besok saat aku akan meminta kertas lagi aku tahu harus panggil kamu siapa."
"Alia." Aku memilih menjawab sajalah, supaya dia diam. Eh, ternyata aku salah. Dia semakin menjadi-jadi. Pertanyaannya beruntun dan panjang sampai tingkat kesalku mencapai ubun-ubun.
"Kamu bisa diam, tidak?" Volume suaraku naik setingkat ditambah dengan mata yang melotot.
"Oke-oke." Terlihat ia mengangguk sambil mengulum senyum.
"Aku Azwar."
Tak kugubris lagi si tukang minta kertas (Begitulah aku menyebutnya selama lima hari ini) yang baru saja memperkenalkan namanya.
***
“Sadaqallahul'adzim ...”
“Maha benar Allah dengan segala Firman-nya.”
Sungguh kali ini aku terpana. Dia, yang selama dua bulan ini menggangguku dengan permintaan kertas hampir setiap hari, hingga mengerjakan tugas bersama, sering ke kantin bersama ternyata memiliki suara yang sangat merdu dan juga kefasihan membaca Al-Qur’an yang menakjubkan.
Berulang kali aku berdecak kagum tak menyangka. Tidak salah, dia diminta untuk membacakan ayat suci Al-Qur’an pada acara penutupan matrikulasi ini.
Saat ia turun dari panggung setelah selesai membaca Al-Qur’an, ada satu hal lagi yang baru kusadari, ternyata dia tampan juga. Kulit putihnya bersih serta hidung yang tinggi ditambah tatapan mata yang lembut.
Ah, kenapa aku baru menyadarinya sekarang, ya? Selama dua bulan kami bersama aku ke mana saja? Aku menertawakan diri sendiri dalam hati.
***
Meski tercatat sebagai mahasiswa di jurusan yang sama tenyata saat perkuliahan semester pertama dimulai, aku dan Azwar berbeda kelas. Namun, walau tidak seruangan, ia tetap sering berkunjung ke kelasku. Alasannya bisa macam-macam, mulai dari menanyakan jadwal sampai kadang hanya untuk pinjam pulpen.
"Alia, aku ingin bicara," seru Azwar mencegat jalanku saat akan keluar dari gerbang Kampus.
"Apa?" Aku menghentikan langkah, menunggunya menyusul.
"Tapi tidak di sini Alia." Suara Azwar pelan, dengan sorot mata seakan mengajakku duduk di bawah pohon akasia besar yang tumbuh di bagian belakang kelas-kelas ruang belajar yang berjejer. Di sana -di bawah pohon akasia itu- terdapat sebuah batu besar yang enak dijadikan tempat bersantai.
Aku kemudian mengikuti langkah Azwar. Penasaran dengan apa yang akan disampaikannya. Sudah enam bulan kami bersahabat, lebih tepatnya menjadi teman dekat, baru kali ini Azwar mengajak bicara berdua seserius ini. Itu artinya hal yang akan disampaikannya adalah sesuatu yang penting.
"Alia, sebelumnya aku ingin minta maaf." Kata pertama yang meluncur dari bibir Azwar setelah kami naik ke atas batu besar ini.
Aku heran, setahuku Azwar tidak melakukan kesalahan apa pun padaku. "Memangnya kamu salah apa?" tanyaku menyelidik.
"Apa pun yang akan aku sampaikan, aku harap tidak akan merubah kedekatan kita, Alia." Azwar berhenti. Aku menunggu.
"Aku suka sama kamu. Aku ingin hubungan kita lebih dari sekedar teman. Boleh Alia?" Ada nada pengharapan dalam suaranya yang terdengar bergetar di telingaku.
Aku terhenyak untuk beberapa saat. "Ini maksudnya kamu nembak aku?" Kutatap manik matanya, mencari keseriusan, bahwa ini bukan bercanda. Akan malu nantinya jika aku menjawab serius, ternyata dia hanya bercanda untuk mengerjaiku.
Azwar mengangguk mantap. "Kamu mau ‘kan?"
Aku bingung. Harus jawab apa? pesona wajahnya memang luar biasa, tetapi aku belum punya rasa yang lebih kepadanya selain perasaan seorang teman.
Azwar laki-laki baik. Selama menjadi temannya, aku selalu melihat kelembutan dalam tutur katanya, sopan dan santun dalam sikapnya. Senang membantu dan sangat setia pada teman-temannya. Tidak ada cela dalam dirinya, tetapi tetap saja rasa tidak bisa dipaksa bukan?

Bình Luận Sách (782)

  • avatar
    Mohd AmirAhda Suhada bt Mohd amir

    I so like the story

    1d

      0
  • avatar
    TatiHartati

    bagus

    3d

      0
  • avatar
    Naufal

    semoga dapat

    5d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất