logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Mengantar ke Rumah

Eva telah membukakan pintu mobil untuk Anya yang terperangah, menuruti suruhan Eva. Dengan memikirkan cara agar Eva tak mengetahui rumahnya, dia pun duduk kaku di jok depan sebelah sopir. Eva pun masuk dan duduk di belakang kemudi. Anya sampai lupa dengan pikirannya melihat betapa Eva dengan mudahnya mengoperasikan benda-benda di dalam mobil. Padahal biasanya dia duduk di sebelah sopir taksi, tapi kali ini dia kagum karena seorang wanita yang mengendarai mobil bagus.
Keren!
Aroma kopi pun menyeruak di dalam mobil.
"Pake sabuk pengamannya, Anya!" ujar Eva mengingatkan, membuat Anya mengangguk-angguk, kaget.
Ceklek.
Sabuk pengaman terpasang. Kini Anya duduk menikmati alunan lagu di dalam mobil beserta dinginnya air conditioner di dalammnya dengan sangat nyaman.
"Udah lama bisa nyetir mobil, Va?" tanya Anya.
Wanita yang ditanya telah memutar kemudi sembari mengamati kaca spion untuk mundur tanpa arahan juru parkir. Dia sangat mandiri.
"Ya ... baru dua tahun ini," sahutnya seraya memutar lagi kemudi dan melajukan kendaraannya keluar dari area parkir. Jika saja Anya yang ditanya, pasti akan menabrak mobil lainnya. Tak ditanya saja sudah jelas dia akan menabraki banyak mobil, karena belum bisa nyetir kan?
"Wuih, dua tahun tapi kamu mahir banget," puji Anya.
Kalau Dita yang dia tanya, mungkin jawabannya akan merendahkan. Namun, Eva terasa berbeda. Dia selalu menanggapi Anya dengan cukup baik walau terkadang suka ikut menertawakan tingkah Anya seperti saat tadi di room.
"Ya ... belajar Nya. Dari mana kita bisa kalo nggak belajar? Bilang aja sama suami kamu, suruh ajarin. Kayak member arisan yang lain itu lho. Kebanyakan mereka diajari sama suami mereka. Nah, kalo aku? Harus kursus buat bisa nyetir gini," papar Eva kala mereka sudah mulai berada di jalan.
Anya mendekik. Sepeda motor saja butut, rumah juga masih ngontrak, itu aja bayarnya kembang-kempis. Mana bisa punya mobil? Dia menarik badannya menghadap ke depan. Sudah tak ingin lagi membahas hal itu walau rasa kagum pada teman-temannya masih menggebu. Hanya ada bayangan di benak Anya bahwa dia bisa memiliki sebuah mobil lalu keluarga besarnya di pinggiran kota akan menatapnya kagum.
"Kamu punya mobil, kan?"
Pertanyaan Eva sontak membuyarkan angan Anya. Dia tergagap, bagaimana akan menjawab pertanyaan itu. Sedangkan dia tak mau terlihat rendah di hadapan teman-temannya.
"D-dulu ada, tapi sekarang baru di ... apa namanya ya?" Anya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Digadaikan?"
Anya mengangguk. "Ya itulah, nggak tau aku ... urusan suamiku," sahut Anya, tak mengerti juga yang dia katakan.
"Oh, biasa kalo rumah tangga itu banyak masalah uang. Ayah ibuku juga gitu. Jadi, aku sendiri melihat masalah kedua orang tuaku jadi takut untuk berumah tangga," beber Eva, melirik ke spion.
Anya menengok melihat ekspresi datar temannya itu. Dia memang tak banyak mengetahui satu per satu teman sosialitanya karena mereka hanya seringkali butuh diperhatikan untuk pameran harta benda yang mereka punya. Namun, ternyata temannya yang ini memiliki sebuah masalah yang disembunyikan.
"Kenapa takut?" tanya Anya.
Eva nampak tersenyum sinis. Dia menutup mulut dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kemudi.
"Takut berkomitmen aja. Kedua orang tuaku selalu ribut karena saling menuduh berselingkuh. Mereka kemudian bercerai dan ninggalin aku sendiri, dititipkan pada nenek waktu itu. Waktu aku masih remaja hingga nenekku meninggal, mereka tak perduli. Bahkan mereka nampak sudah menggandeng orang lain dengan anak-anak baru mereka," papar Eva panjang lebar.
Anya mendesah. Ternyata, kisah Eva sangat miris. Hidupnya tak semulus keuangannya. Pasti Eva bekerja di perusahaan bonafide, jadi dia bisa membeli semua kebutuhannya termasuk mobil yang mereka tumpangi itu.
"Kamu tinggal di mana sekarang, Va?" tanya Anya.
Usia mereka hanya terpaut dua tahun. Itu saja lebih tua Eva dari pada Anya.
"Di apartemen."
Anya meneguk salivanya. Apartemen. Ya, nama tempat itu baginya sangatlah mewah. Pasti tak sedikit uang untuk menyewa satu dari ribuan ruangan di tempat yang namanya apartemen.
"Oh," sahut Anya. "Aku ikut prihatin atas apa yang kamu alami, Va. Kamu patut berbangga diri karena dengan perlakuan kedua orang tuamu, menjadi cambuk buatmu bekerja. Lihat apa yang kamu dapat sekarang, kan?" imbuh Anya.
Eva hanya menyunggingkan sedikit senyum miris dan sinis. Dia tak menjawab pertanyaan Anya.
"Ini ke arah mana rumahmu, Anya?" tanya Eva saat mereka berhenti di lampu merah. Ada persimpangan di depan. Seratus meter lagi. Jadi Eva akan bersiap untuk mengatur belokan.
"Oh, nanti belok kanan, Va. Abis itu, ada pertigaan, baru belok kiri. Kamu anter aku sampai depan gang aja," pinta Anya.
"Lho, kenapa? Aku nggak boleh main?" tanya Eva mengerutkan dahi.
"E-eh, ya ... boleh, tapi—"
Anya nampak gugup. Dia belum siap jika ada salah satu temannya datang ke rumah. Rumah yang tak sebagus rumah member lainnya. Bahkan bisa dibilang sangat jauh kondisinya. Apalagi sekarang dia sibuk berurusan dengan teman-temannya, sudah pasti baju-baju kering belum sempat dia lipat. Cucian piring belum dia bereskan. Duh, memalukan pokoknya.
Eva pasti bermimik aneh saat tiba di depan rumahnya saja, lalu menatap rumah itu dari atas ke bawah, ke samping kiri lalu kanan. Jika sudah masuk, dia akan mengamati rumah itu dengan cara yang aneh pula.
Anya sudah membayangkan ekspresi Eva saat tiba di rumahnya jika itu terjadi.
"Tapi apa, Anya? Aku mau main, boleh kan? Suamimu kan belum pulang, apalagi kamu juga belum punya anak. Nggak ada tanggungan, kan? Aku nggak lama kok, nanti jam lima aku udah pulang."
"K-kenapa kamu nggak pulang ke apartemen aja?" tanya Anya, masih gugup.
"Ya ... pengen aja main. Boleh kan, Nya? Kok kamu kayak nggak ngebolehin aku ke rumahmu? Ada apa sih sebenernya?" desak Eva.
"Eh, boleh kok, boleh."
Eva mengangkat sudut bibirnya. Lalu mulai menginjak gas perlahan karena lampu lalu lintas telah bergulir menjadi hijau. Kemudian mulutnya menyanyi lagu yang diputar, bilang bahwa itu adalah lagu favoritnya. Lagu itu pun dia nyanyikan tadi di tempat karaokean.
Sedangkan Anya sekarang diam seribu bahasa. Tangannya dingin, bukan karena AC tapi karena dia gugup. Bagaimana menghadapi ekspresi temannya nanti? Lalu apakah dia akan jadi cemoohan anggota arisan dengan bentuk rumahnya yang sungguh di luar perkiraan teman-temannya itu?
Anya menggigit bibir. Dia memikirkan bagaimana cara agar Eva tak jadi berkunjung ke rumahnya. Jarak ke rumahnya semakin dekat. Pikirannya kacau. Namun, biasanya saat kepepet seperti itu, dia akan mendapatkan ide. Nyatanya, pikirannya sekarang buntu. Sial sekali.

Bình Luận Sách (19)

  • avatar
    V17skw2024Vivo

    baguss

    26d

      0
  • avatar
    MaulanaFikri

    bagus sekali cerita nya

    13/08

      0
  • avatar
    HayatiNur

    ok baik

    02/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất