logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

7. Bad News

Melihat ibunya berjalan terburu-buru dari dapur, berdiri di hadapannya dengan mimik wajah terkejut dan tak bisa berkata apa-apa, bak seseorang yang terlalu terkejut melihat hantu sampai tidak sanggup berteriak, Dani merasa seperti menaiki rollercoaster yang sedang bergerak berputar-putar. Adrenalin dan ketakutannya naik turun, tanpa ada ujung.
Ibunya, entah kenapa, selalu menjadi orang yang paling Dani takuti di dunia ini. Apapun yang Dani lakukan, dia berharap tidak pernah membuat ibunya kecewa, tidak pernah membuat wanita itu marah.
Tapi sekarang, Dani merasa wanita itu akan meletup-letup kapan saja seperti minyak yang mendidih.
Dani melihat bagaimana cara ibunya mengepalkan tangan, menggigit bibir bawahnya yang terpoles gincu merah dengan apik, lantas memalingkan kepala seakan tidak tahan melihat apapun yang tengah terjadi. Seribu persen Dani yakin bahwa beliau marah. Marah besar. Karena hanya kemarahan yang begitu besar yang bisa membungkam Yolanda.
"Kita harus bicara, “ kata Damian dengan suara setegas biasanya.
Untuk terakhir kalinya Dani mendengar ayahnya mengatakan hal tersebut pada Taylor sebelum Gia menyeretnya ke kamar. Tersaruk-saruk Dani mengikuti kakaknya. Tidak mudah berjalan sambil ditarik.
Sesampainya mereka di kamar Dani, pintu ditutup dengan bunyi keras. Gia menghempaskan tangannya begitu saja bak seseorang yang baru sadar telah membawa seonggok sampah kemana-mana.
"Siapa dia?" cecar Gia. Alis perempuan bertaut sempurna.
"Taylor McLean,” jawab Dani sambil mengusap pergelangan tangannya yang memerah.
"Siapa!" Gia menaikan nada bicaranya.
"Pacarku!" Dani menjawab sama nyalaknya.
Gia menghela napas. "Kau pikir pernikahan ini lelucon?" Dia mengusap dahi yang tertutupi poni tipis miliknya.
Dani merasakan amarah merangkak di tenggorokannya.
"Kalian pikir pernikahanku lelucon? pilih siapa saja yang Dad suka karena Dani tidak akan pernah menolak, karena dia bodoh dan naif dan tidak bisa memutuskan apa-apa, itu yang kalian pikirkan? Hah!" Napas Dani memburu oleh amarah.
Gia sekali lagi mengerutkan alisnya. "Astaga Dani, itu kah yang kau pikirkan selama ini?" alih-alih diselimuti amarah seperti beberapa detik barusan, perempuan itu justru tampak menyesal dan bersimpatik, yang justru membuat Dani semakin jengkel.
"Tidak," sangkal Dani, "itu yang kalian pikirkan selama ini!"
Mata Gia yang membeliak adalah satu-satunya pertanda bahwa perempuan itu terkejut oleh penuturan Dani, tapi dia tidak tahu apa yang lebih membuatnya terkejut, pernyataan Dani atau kemarahan cewek itu.
Butuh beberapa detik sampai Gia sanggup meraup kembali oksigen dan kembali berucap. “Oh. dan coba tebak, aku juga tahu apa yang selama ini kau pikirkan." Perempuan itu menarik napas dalam. "Kau pikir kami tidak mengerti tentang dirimu, kau pikir semua yang kau lakukan hanya untuk membuat kami senang dan kau tidak pernah melakukan apapun yang membuat dirimu sendiri senang, kau pikir semua orang mengatur hidupmu, kau pikir kami tidak tahu apa yang baik untukmu, kau pikir kami selalu memperlakukanmu seperti anak kecil, kau pikir tidak ada satupun orang di dunia ini yang mengerti perasaanmu, kau pikir dunia ini tidak adil padamu, kau pikir hanya dirimu lah orang yang paling—paling menyedihkan.”
Terberkati ah latihan vokal Gia semasa kuliah. Empat puluh persen tubuhnya pasti hanya diisi oleh paru-paru.
Dani jadi bingung harus terkejut karena apa. Namun urat-urat telah tercetak di pelipisnya sekarang. Duel kesabaran telah dimulai.
Dani sudah siap memberikan perlawanan, membantah semua pernyataan yang diberikan kakaknya. Toh, siapa sih Gia? dia bukan Dani, dia tidak tahu apa yang Dani pikirkan—walaupun kalau boleh jujur, 99,8% persen yang dia katakan adalah benar. Tapi, Dani tidak mau mengaku. Tidak mau membiarkan kakaknya menang.
Namun, Gia nyatanya belum selesai bicara. "Dani, kau dua puluh tiga tahun, itu kan yang ingin kau katakan pada kami? Tapi nyatanya, kau tidak pernah mengatakan itu pada dirimu sendiri. Kau selalu bertingkah seperti bocah enam belas tahun yang labil dan kau tidak bisa melihat itu—karena apa? Karena kau selalu memikirkan hal-hal tidak penting seperti ini. Tapi kami tahu dirimu, Dani. Kami bisa melihatnya karena kami menyayangimu, karena kami peduli padamu. Satunya-satunya yang tidak peduli denganmu adalah dirimu sendiri."
"Omong kosong!"
Bagaimana Dani bisa tidak peduli dengan dirinya sendiri? Ini hidupnya.
"Omong kosong? Lalu kau sebut apa ini semua? Bahkan kau tidak memikirkan apa yang akan dipikirkan orang-orang tentangmu karena kebodohanmu ini."
"Persetan dengan semua orang! Persetan denganmu!"
Dani ingat, kakaknya pernah mengatakan bahwa dia terdengar seperti chubaka saat marah. Jika kakaknya ingin mengatakan hal itu sekarang, Dani tidak peduli karena dia benar-benar marah. Suaranya mungkin bisa terdengar seperti monyet howler sekarang.
Mungkin menghindari kakaknya adalah satu-satunya cara untuk menghindari pertikaian yang tidak pernah diharapkan keduanya ini, jadi Dani memilih untuk pergi.
"Aku belum selesai Daniela," kakaknya mencoba menahannya. "Kau benar, aku tidak peduli, aku memang tidak peduli. Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan saat ini, aku hanya ingin kau tahu bahwa dunia ini bukan hanya tentangmu. Theo—dia juga punya perasaan. Dia juga punya keluarga."
Tahukah kalian rasanya diomeli saat merasa tidak bersalah, lalu tiba-tiba mendapat nasehat mendadak tentang masa depan? Dani merasa sedang berada di posisi itu sekarang.
***
Setidaknya, Dani pikirkan betul-betul nasehat Gia. Theo juga punya perasaan, begitupun juga Dani. Tapi kemana kah perasaan pria itu ketika Damian memintanya untuk menikahi Dani? Tidak kah seharusnya Theo punya kehidupan sempurnanya sendiri? Kalaupun tidak, dia tidak perlu menghancurkan milik Dani. Apa sebabnya dia menerima perjodohan tak mendasar ini?
"Perasaan katanya," gerutu Dani pada udara kosong. Tubuhnya berputar-putar di kursi kerja super nyaman milik ayahnya dalam sekali hentakan.
Dari dulu ruang kerja ayahnya selalu menjadi tempat favorit untuk Dani. Seluruh detail di ruangan itu rasanya pantas untuk menarik perhatian. Rasanya seperti memasuki dunia sihir yang magis dan sulit untuk dipahami.
Saat kecil, Dani ingat dia suka menghabiskan waktu luangnya hanya untuk mengamati pajangan dinding, alat-alat tulis, dan ukiran di pinggir meja yang ada di sana.
Dani bisa terkurung berjam-jam di ruangan ini bersama ayahnya tanpa merasa bosan karena sebelum hal itu terjadi Dani sudah tertidur di karpet berbulu yang hangat, wangi dan lembut, setelah menghitung jumlah buku yang dimiliki ayahnya di setiap rak yang ada di sana.
Namun sekarang, sudah sekian tahun berlalu, Dani tidak punya waktu untuk semua hal itu, bahkan hanya untuk pergi ke ruangan ayahnya pun dia tidak pernah sempat.
Dani pun juga tidak berharap jika akhirnya dia akan ke sini untuk memikirkan Theodore Patton. Tidak pernah sekalipun terbayang.
Memikirkan mungkin bukan kata yang cocok, tapi Dani tidak bisa menemukan sebutan lain untuk kegiatan yang sedang dia lakukan sekarang.
Yang terpenting adalah, membuat semua orang berpikir bahwa ini bukan sepenuhnya salah Dani.
Dan tiba-tiba terbetik di dalam kepala Dani pemikiran mengerikan itu. Sebuah ingatan yang mungkin menjawab semua pertanyaan yang dia miliki tentang perjodohan ini. Sebuah ingatan yang membuatnya gemetar karena memikirkannya.  
"Dani, apa kau di sini?" Kepala Gia melongok secukupnya dari pintu yang dibuka tanpa peringatan.
Dani tergugah dari khayalannya.
"Tidak." Dani memegang tepian meja agar kursinya berhenti berputar.
Gia memutar bola mata. "Haha lucu sekali." Perempuan itu bersandar di ambang pintu. "Mau dengar kabar buruk?"
"Tidak, mungkin lain waktu," jawab Dani.
Mengabaikan sang adik, Gia berujar, "pernikahanmu ditunda sampai bulan depan."
Saat itu lah Dani menggebrak meja. "Hanya sampai bulan depan!"
Gia menarik senyum miring. “Lebih baik, kan? Aku sudah mengupayakan yang terbaik. Terimakasihnya kapan-kapan saja.”
Dani menatap Gia. Satu hal yang mendesaki kepalanya menghalangi Dani untuk ikut tersenyum bersama Gia. Dani tahu, dia harunya mendorong keinginan itu jauh-jauh. Tapi dia selalu membiarkan sisi negatif dirinya mengambil alih saat dia sedang merasa luar biasa tertekan.
Sebelum Gia menutup pintu itu, Dani menghentikannya dengan berkata:
“Kau tahu kalau Mom dan Dad tidak akan bertingkah parno dan perjodohan bodoh ini tidak akan pernah terjadi jika bukan karena dirimu kan, G?”
Gia berhenti. Sepenuhnya mematung. Ekspresi di wajahnya membeku sesaat sebelum dia menunjukkan sebuah ekspresi campuran antara kesedihan dan kekecewaan yang teramat sangat mendalam, ekspresi yang selamanya akan terus menghantui Dani.
“Teganya kau.”
***

Bình Luận Sách (13)

  • avatar
    InaGinawati

    sangat cocok

    15/08

      0
  • avatar
    Agus Surono

    wabagus

    04/07

      0
  • avatar
    Azzam Al Zafran

    🤩🤩

    19/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất