logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

6. New Boyfriend

Musim panas tidak pernah segila ini. Dani berani bertaruh ini adalah musim panas terburuk seumur hidupnya. Pertama, jelas karena kedatangan Theodore Patton yang tidak diundang ke dalam hidupnya untuk sekali lagi. Kedua, rencana pernikahan yang datang terlalu tiba-tiba. Kemudian, di hari yang begitu cerah ini, Dani harus membiarkan dirinya terpanggang di bawah teriknya matahari di pantai siang bolong tanpa apapun kecuali bikini dan kemeja pantai putih setipis tisu yang bahkan tidak bisa memberikan perlindungan apapun, demi sebuah pemotretan majalah edisi musim panas tahun ini.
Oke, bagian pemotretan sebenarnya tidak buruk-buruk amat sebab Dani mendapatkan uang dari melakukan itu. Tapi menikahi Theo? Dani masih belum bisa menemukan kegunaannya.
Beruntung pemotretannya dapat berakhir sebelum Dani benar-benar berubah menjadi daging manusia panggang. Beruntung juga Dani belum mendapatkan satupun pesan penuh kekhawatiran dari ayahnya, karena jika Damian teliti, seperti biasanya, pria itu akan menyadari bahwa Dani belum pulang 15 menit setelah dia mengatakan bahwa pemotretannya telah selesai. Itu artinya, Sarah, selaku menager Dani, telah memberitahukan kepada Damian bahwa Dani pergi ke apartemen Emma untuk melihat gaun terbaru yang cewek itu buat. Dan itu berarti Emma telah memberitahu Damian bahwa Dani sedang berada di apartemennya untuk melihat gaunnya dan sedang menikmati manisan leci buatan ibu Emma yang akan dikirimkan seminggu sekali sambil menikmati serial Games of Thrones musim kelima. Itu jika Emma mau menuruti Dani mengatakan sesuai dengan apa yang Dani minta.
Sedangkan Dani pada kenyataannya berada di kafe, menunggu untuk bertemu dengan teman Shane yang telah cowok itu ceritakan tempo hari.
Dan ketika mata kelabu nya menangkap seorang cowok setinggi 6.2 kaki memasuki kafe, berkulit kecoklatan bak peselancar tulen, dengan setelan yang terlihat seperti baru saja keluar dari sebuah pameran busana Hugo Boss, Dani seketika tahu apa yang hendak cowok itu lakukan di sini.
"Taylor McLaen!" Dani bangkit dan menyerukan namanya.
Taylor McLean tampak lebih mengerikan gantengnya dilihat dengan mata kepala sendiri daripada lewat postingan instagram yang cowok itu unggah setiap minggu. Kulitnya sewarna perunggu, dan Dani yakin itu adalah hasil genetik, tidak ada hubungannya dengan seberapa seringnya dia terpapar matahari. Garis rahangnya yang tajam Dani rasa bisa digunakan untuk memotong-motong steak tenderloin nya yang baru dia nikmati separo. Alisnya tebal dan berbentuk sempurna, Dani yakin cewek manapun akan iri. Rambutnya yang agak panjang hitam berkilauan. Sudah pasti ras campuran.
Cowok itu sontak menoleh. Mata berwarna gelapnya membulat bahkan sampai dia mencapai hadapan Dani, seakan dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Dan jujur saja, bohong kalau Dani tidak tersanjung. Bisa membuat cowok ganteng ini terperangah benar-benar sebuah pencapaian.
"Kau Taylor McLaen?" tanya Dani yang segera dia sesali, karena setelah dia bertanya cowok itu jadi tidak bisa melakukan apapun selain membuka dan menutup mulutnya tanpa suara.
"K-k-kau ... D-Daniela D’Angelo?" Taylor bertanya dengan tergagap-gagap akhirnya. "S-sungguh Daniella D’Angelo yang itu?"
Dani mengangguk, kemudian cowok itu mengeluarkan suara seperti terkesiap sebelum mulutnya dibungkam oleh kedua tangannya sendiri.
Astaga. Shane pasti lupa bahwa Dani benci maniak. Atau mungkin Shane lupa bahwa seorang teman yang ingin dia kenalkan pada Dani ini adalah seorang maniak.
Tidak jadi ganteng deh, kata Dani dalam hati.
"Boleh aku minta tanda tangan?"
Taylor mengeluarkan pulpen dan kertas yang entah datang dari mana. Dani tidak mau percaya bahwa cowok itu selalu mengantongi secarik kertas dan pensil setiap saat. Tidak ada seorang pun yang tinggal di abad ini melakukan itu.
"Tentu," jawab Dani. "Setelah kau membantuku."
***
"Tunggu sebentar … Apa tadi kau bilang?" Taylor bertanya panik, sontak gerakan Dani mengangkat secangkir espresso terhenti. "Kau memintaku untuk menjadi pacar jadi-jadian mu?"
Dani mengangkat bahu. "Bukankah memang itu pekerjaanmu? Kau dibayar untuk menemani orang kencan bukan?"
"Iya, tapi—tapi tidak untuk dikenalkan pada orangtuamu."
"Apa bedanya! Kita berkencan seperti biasa—tapi, tentu saja, pura-pura—lalu kau ku ajak berkenalan dengan orang tua. Mudah, kan?"
Mata Taylor masih senantiasa membeliak. "Bagaimana jika ayahmu memintaku untuk menikahi mu?" Taylor terlihat lebih gelagapan kali ini dan Dani bisa melihat telinganya yang memerah.
"Itu tidak akan terjadi. Ayahku akan pikir-pikir dua kali."
"Tapi kau bilang dia tidak berpikir dua kali ketika menjodohkan mu dengan pria yang tidak kau kenal."
"Hei! Itu beda. Ayahku naksir sekali dengan orang itu."
"Jadi dia tidak akan menyukaiku, begitu?"
"Kemungkinan besar ... tidak." karena nama belakangmu bukan Patton. Dani menambahkan dalam hati.
Toh pada dasarnya, Ayahnya sukar menyukai atau mempercayai seseorang. Jadi ketakutan Taylor sepenuhnya tidak beralasan.
"Lalu, bagaimana ini akan berhasil? Kau tahu Jika ayahmu akan menolak ku, bagaimana caranya pernikahanmu bisa dibatalkan?"
Dani muak. Selain maniak, Taylor juga banyak omong. Namun Dani tidak perlu tahu bagaimana Shane, temannya yang pendiam, terpelajar, dan cerdas bisa berteman dengan manusia seperti Taylor, raksasa tampan berkulit kecoklatan berotak dangkal.
"Diam!" bentak Dani. "Caranya adalah, kau diam, tutup mulu. Aku yang mengerti ayahku, jadi kau diam!"
Mata Taylor membeliak lebih lebar dari sebelumnya. Cowok itu mengerjab, menyeruput amricano-nya dengan hati-hati tanpa melepaskan pandangannya pada Dani, seolah dia takut Dani bisa sekonyong-konyong meledak bila tidak diawasi.
"Jadi?" Dani bertanya sambil tersenyum, senyum yang akan membuat Gia mencemoohnya sebagai penjilat jika perempuan itu di sini. “Ayolah, kumohon. Pernikahanku lima hari lagi. Jika kau menolak tawaran ini, aku tidak tahu harus kemana lagi mencari orang sepertimu. Tidak banyak pria yang mau dibayar untuk hal semacam ini, kau tahu, Tidak setampan dirimu.”
Taylor sepertinya tidak terlalu peduli disebut pria bayaran oleh Dani. Pria itu lebih fokus dengan fakta bahwa Dani menyebutnya tampan. Tipikal pria tampan berotak dangkal.
"Kau tidak akan membayar ku hanya dengan tanda tangan, bukan?"
***
Ternyata tidak peduli liburan keluarga, akhir pekan, atau hanya sekedar hari biasa, Damian tetap tidak lupa menyertakan Theodore Patton ke dalam semua daftar aktivitasnya.
Seperti sore ini, Dani ingat ini hari Kamis, dan seperti hari kamis lainnya, Dani bangun di pagi hari, mengikuti beberapa kelas sebelum pergi untuk pemotretan, kemudian pulang ke rumah dan tada! Tebak siapa yang menemani ayahnya menonton siaran ulang pertandingan basket di ruang rekreasi sambil menikmati roti isi Itali?
Dani berharap itu Lola. Oh tapi tidak, sejak kapan lola menjadi seorang manusia dan spesifiknya lagi seorang pria, dengan ciri-ciri seperti Theodore Patton?
"Oh, Dani, kau sudah pulang." Suara ayahnya sontak menghentikan gerakan Dani yang hendak menaiki anak tangga, berniat menyelinap diam-diam ke kamar tanpa harus berhadapan dengan Theo. Tentu itu hanya angan belaka. "Kemari, nak," pinta Damian.
Tentu Dani tidak bisa melakukan apapun selain menurut, termasuk ketika ayahnya menepuk-nepuk tempat di antara dia dan Theo, meminta Dani untuk duduk di sana, kendati ayahnya tahu bahwa Dani tidak pernah punya ketertarikan pada olahraga bola tangan semacam basket, karena Dani tidak pernah punya pilihan.
"Bagaimana harimu?" Ayahnya bertanya.
"Baik," Jawab Dani singkat.
Sekeras mungkin Dani berusaha untuk tidak mengalihkan pandangannya dari layar kaca karena dia bisa merasakan tatapan Theo yang memperhatikan setiap gerak-geriknya. Bahkan Dani berani bersumpah, saking intensnya tatapan Theo, pria itu pasti sadar jika saat ini bulu kuduk Dani meremang. Dia merinding.
Oh, ini tidak baik.
Kenapa sih Theo tidak kena bintitan? Dan kenapa sih harus memandangi Dani terus-terusan?
"Roti isi?" Tanya Theo.
Dani menoleh, hampir secara spontan, ketika tangan itu menyodorkan roti isi ke hadapannya. Kemudian matanya menatap roti isi dan Theo bergantian sebelum menggeleng, lantas perhatiannya kembali berpaling pada apapun yang orang-orang di dalam tv itu lakukan terhadap sebuah bola, hanya untuk menghindarkan dirinya dari bertatap muka dengan Theo lebih lama.
Tentu Dani tidak pernah mengatakan tidak untuk makanan, apalagi roti isi Itali. Dia hanya menolak Theo. Sesuatu yang Dani harap bisa dia lakukan setiap saat.
Sayangnya, Dani hanya bisa menolak sebuah roti isi lezat yang pria itu tawarkan.
"Hei tuan putri, kapan kau pulang?" Gia datang dari dapur dengan roti isi Itali, dan Dani tidak dapat melepaskan pandangannya. "Roti isi?" Gia menawari.
Dani tidak bisa bilang tidak, bukan? Tidak seperti roti isi biasanya, roti isi Itali tidak berisi mustard, mayonnaise, bacon, acar mentimun atau yang lainnya. Hanya roti yang lezat dan daging. Pun ini Gia yang menawarkan, bukan makhluk tak jelas kehadirannya bernama Theodore Patton.
Lagi pula Dani menikmati tatapan penuh tanda tanya yang Theo tujukan padanya. Itu memberinya semacam perasaan bangga dan puas.
Astaga, Dani harus berterimakasih kepada Gia dan roti isi karena berhasil membantu Dani membuat Theodore Patton merasa dongkol.
"Oh, Sarah baru saja mengirimkan foto hasil pemotretan mu kemarin," kata Gia. Wanita itu mengambil tempat di samping Theo sebelum mengeluarkan ponsel merah mudanya. "Kau mau melihatnya, Theo?"
Theo menganggukkan kepala. "Tentu, jika tidak apa-apa."
"Tentu saja tidak apa-apa. Lagipula fotonya juga akan terbit beberapa minggu lagi. Tidak ada yang perlu disembunyikan.” Gia membuat gesture yang seolah mengatakan santai saja. Lalu jarinya bergerliya di atas layar ponselnya yang lebar. “Ini dia, foto edisi musim panas 'terpanas' dari model terpanas tahun ini, Daniella D’Angel—“
"Hentikan!" kata Dani sebelum dia berhasil tersedak mendengar Gia berbicara lebih lanjut lagi, dan sebelum wanita itu berhasil menunjukan foto pemotretannya pada Theo. "Jangan lakukan itu!"
Dani tidak mungkin membiarkan Theo melihatnya. Walaupun Dani bisa membiarkan seluruh dunia melihat tubuhnya tanpa apapun kecuali bikini dan kemeja transparan, namun tidak untuk Theo.
Tidak akan Dani biarkan pria itu melihat sejengkal pun tubuhnya jika Dani masih mau berjalan-jalan di muka bumi ini dengan mukanya.
"Jangan jadi jahat. Theo ingin melihatnya," kata Gia.
Segesit mungkin wanita itu menjauhkan ponselnya dari jangkauan tangan Dani yang terulur panjang, namun jarak mereka yang dipisahkan oleh keberadaan Theo benar-benar tidak menguntungkan bagi Dani.
"Dad, hentikan Gia!"
Dani benci jadi perengek apalagi jika alasannya adalah Theodore Patton—sebenarnya bukan sepenuhnya salah Theo tapi ya ... Dani lebih suka menyalahkan pria itu memang—tapi dia tidak punya pilihan lain selain merengek pada ayahnya sekarang, berharap ayahnya akan menegur Gia.
Tapi yang Dani dengar justru suara ayahnya yang memanggil namanya, "Dani..."
Menoleh, Dani mendapati wajah terkejut ayahnya. Masih keheranan, Dani butuh beberapa saat sampai dia menyadari semuanya. Semuanya; wajah terkejut ayahnya, suara amar-samar Gia yang menahan tawa, dan wajah semerah tomat masak Theo yang Dani temukan ketika dia mendongak.
Seakan bokongnya disengat lebah, Dani berjingkat dari posisinya semula yang hampir tengkurap di pangkuan Theo, bagai bayi yang hendak diganti popoknya.
Gia tertawa puas. Theo lanjut memakan roti isinya lagi dengan gugup demi menyembunyikan senyuman geli dan sebagian wajah memerahnya, mencoba bertingkah seolah Dani tidak baru saja mempermalukan dirinya sendiri di depan wajah Theo. Sopan benar.
Sedangkan Dani berdiri sambil berkacak pinggang, membagikan tatapan nyalak pada siapapun, termasuk ayahnya yang kelihatan sekali ingin mengusir Dani dari hadapan Tv yang dia halangi secepatnya, jelas karena wajah cemberut Dani tidak lebih penting daripada pertandingan yang sedang berlangsung. Namun sebelum ayahnya dapat melakukan itu, denting bel rumah terdengar.
Dani memperhatikan salah seorang asisten rumah tangga mereka berjalan terburu-buru keluar dari dapur menuju pintu, kemudian kembali datang ke hadapan mereka bersama dengan orang asing, kecuali untuk Dani.
Sebelum asisten rumah tangga itu sempat mengatakan apapun, Dani sudah menyela dengan berseru penuh antusias, "Taylor!"
"Hai …." Cowok itu melambaikan tangan dengan kikuk. Senyumnya tampak sekali dipaksakan dan ketika dia melihat Damian berdiri, dia hampir saja berjingkrak mundur.
Taylor sudah mengantisipasi hal terburuk sebab dia tahu siapa itu ayah Dani dan kiprahnya di dunia bisnis. Tapi Damian tidak melakukan apapun selain menatapnya dengan tajam, seolah dengan tatapannya pria itu mau mengiris-iris Taylor menjadi semacam daging kebab.
Taylor suka kebab, tapi tidak yakin akan menyukai kebab daging Taylor McLean.
"Selamat sore tuan D’Angelo," sapa nya dengan suara tertahan.
Mengabaikan sapaan itu, Damian menatap putri bungsunya, yang masih saja cengengesan. "Siapa dia, Dan?"
Dani menoleh, menatap semua wajah di sana satu persatu sebelum menjawab pertanyaan ayahnya dengan enteng dan sumringah. "Pacarku."
Hening seketika, seolah satu kata yang diucapkan Dani membekukan semua orang yang mendengarnya. Bahkan mengedipkan mata pun Damian tak sanggup.
Hal pertama yang Damian lakukan setelah mantra beku itu berakhir adalah menghembuskan napas yang entah sejak kapan dia tahan. Perlahan namun pasti, urat-urat di sekitar pelipisnya menonjol, dan rahangnya mengeras. Seluruh otot di sekujur tubuhnya menegang. Pria itu seakan siap dan sanggup meremukkan apapun, terutama—Dani yakin—cowok cakep bernama Taylor McLean di hadapannya.
"Yolanda, kemari dan lihatlah kelakukan putrimu!"
Waduh.
Kiamat bagi Dani ditandai dengan ayahnya yang menolak memanggil ibunya sayang.
***

Bình Luận Sách (13)

  • avatar
    InaGinawati

    sangat cocok

    15/08

      0
  • avatar
    Agus Surono

    wabagus

    04/07

      0
  • avatar
    Azzam Al Zafran

    🤩🤩

    19/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất