logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

6

Bab 6 - Kuncup Bunga Bungur
Reyan bersandar pada batang pohon bunga bungur yang letaknya tak jauh dari halaman gelanggang. Memikirkan ucapan Razan membuat warasnya terganggu. Razan ternyata tak pernah melupakan kenangan belasan tahun lalu itu dalam hidupnya. Reyan melangkah, menuju mobil tetapi pikirannya masih tertinggal di gelanggang. Cara Razan menatapnya, mengutarakan kemarahan, dan perhatiannya pada Shiha sungguh membuat Reyan muak.
Sementara Reyan pergi dari gelanggang, Razan sendiri mengantarkan Shiha pulang ke kediaman wanita itu. Kemudian pergi ke kampus, ada mahasiswanya yang minta dibimbing menyiapkan lokakarya untuk minggu depan bersama beberapa motivator terkenal ibu kota. Mau tidak mau, Razan urungkan niatnya untuk menemui Kaisa juga ibunya di tempat les tari.
Di bawah lampu merah, mobil Reyan tertahan masih bersama kenangannya yang tiba-tiba menjadi begitu lekat dengan pikirannya. Reyan mendaratkan dahinya pada pemukaan stir sambil mengatur napasnya dengan perlahan-lahan.
Kamis di dua belas tahun lalu. Hari ketika Reyan baru saja mendapatkan mendali atas kejuaraan panahan tingkat kota. Bahagia memang mengisi ruang hatinya, tetapi saat melihat Shiha memasuki kelas dengan mata sembab, ada rasa kesal yang menyeruak ke dalam rongga hidung Reyan juga tenggorokannya. Reyan hendaknya bangkit dari bangku. Akan tetapi, Razan selalu lebih dulu mendekati Shiha. Persahabatan mereka tak secanggung pesahabatannya dengan Shiha.
“Yan, dicari Natasha. Kayaknya dia butuh ngobrol sama kamu,” ucap salah satu teman kelasnya. Reyan pun bergegas, melenggang dari kelas sembari mengamati Razan dan Shiha yang berbicara tampaknya serius.
Reyan menyusuri koridor menuju kantin. Tampak Natasha berdiri menunggunya sambil memegangi setumpuk buku. Anak kelas sepuluh itu begitu setia menunggu Reyan, sosok kakak tingkat yang dirinya sukai, bahkan sudah resmi jadi kekasih Reyan sejak dua minggu lalu.
Reyan berdiri sambil berkacak pinggang. Wajah tegas Reyan serta mata cokelat jingganya yang pekat itu menajam. “Ada apa? Sebentar lagi masuk kelas. Aku sudah bilang kalau ada apa-apa, tunggu pulang sekolah saja. Kamu tahu aku akan segera lulus, ‘kan? Aku nggak bisa leha-leha.” Reyan tampak tak peduli.
“Uh, Kak Reyan, aku rindu!” adu Natasha memasang wajah manja nan genit.
Reyan mendesis. “Aku sibuk, kamu harus tahu itu. Lagi pula nanti Minggu kita akan main, ‘kan? Tahan saja rindunya sampai hari itu tiba, agar kita bisa jauh lebih ….” Reyan tersenyum nakal.
Di dalam kelas, Razan duduk tak bersuara. Seberapa keras usahanya untuk membuat Shiha bicara tentang apa yang membuat gadis itu menitikan air mata, Razan tak mendapatkan jawabannya. Shiha hanya mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan tak ada yang perlu Razan khawatirkan. Akan tetapi, jelas Razan tak bisa langsung percaya. Shiha tidak baik-baik saja adanya.
“Kalau Reyan yang bujuk apa kau akan bicara, Shiha?” tanya Razan menatap sendu. Lirih suaranya yang berat agak serak buat Shiha terperangah.
“Reyan?” tanyanya aneh, senyum kikuk pun terbit di wajah Shiha. “Aku tidak apa-apa, Zan. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Lagi pula apakah aku terlihat tidak baik-baik saja?” Shiha mendesak Razan dengan senyum cerianya yang tampak tidak tulus.
“Aku hanya berpikir kalau kau sedang bersedih, Shiha. Aku khawatir,” ucap Razan masih lirih.
Shiha tertawa, menepuk-nepuk lengan bahu Razan yang kokoh. Sosok laki-laki paling diincar di sekolah itu terlihat semakin khawatir. Kilat padam di kedua bola mata cokelat mokanya semakin lemah setiap kali Shiha tersenyum. Namun, Razan tak mau membuat Shiha tersinggung untuk mengetahui titik cemasnya.
“Kalaupun iya, aku sedih itu karena kita akan segera lulus, Zan. Aku hanya takut tidak bisa membuat paman Teja bangga. Kau tahu, Zan, aku hidup di atas hidupnya.”
Sementara Shiha dan Razan bercengkrama mengenai dunia putih abu, Reyan bergerilya menyusuri koridor belakang sekolah. Tampak sekumpulan siswa tengah sibuk merokok diam-diam di depan toilet usang yang sudah tidak terpakai karena rusak parah pembuangannya. Galang, siswa paling mencolok itu membuat Reyan ingin lebih lama memandangi dari kejauhan. Ketua klub musik dan seni itu tampak paling bersinar. Meski tidak ikut merokok bersama para kawanan itu, tetap saja di mata Reyan, Galang sama buruknya. Entah, wajah itu tampak tidak setenang adanya kini. Terbersit dalam hati, apa ini nama cemburu? Reyan meneguk ludahnya. Ia tahu dengan samar-samar jikalau Shiha pernah berkencan dengannya, meski tidak pernah ada bukti yang anak-anak dapatkan.
“Yan, mau merokok?” lontar seorang siswa yang berjongkok di dekat Galang.
Reyan membalik tubuhnya dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Tatapan mata cokelat jingga Reyan memicing pada mereka yang bangkit dari berjongkok. Reyan mendesis, “Seorang altet seperti Reyan Winendra cukup pintar untuk tidak mengotori paru-parunya dengan asap rokok.”
Galang mengikis jarak dari Reyan, kedua siswa itu terlihat begitu tampan nan memukai saat sama-sama saling desak lewat pancaran bola mata masing-masing. Terutama bola mata cokelat jingga Reyan, amat memusatkan perhatian Galang.
“Aku setuju dengan pemikiran itu, Yan!”
***
Reyan memukul kepalanya saat kenangan itu mengusik lagi sang sepi. Telinganya sakit, gendangnya pun berdenging ngeri. Reyan menghentakkan kepalanya pada dinding kamar mandi. Guyuran air sore ini tak sanggup mendinginkan kepalanya yang mendidih. Sampai saat ini Reyan belum bisa melupakan perasaan cemburunya pada Galang juga Razan. Namun, kehadiran Salsha sedikitnya membuat Reyan berdamai dengan kenyataan. Kebenaran tentang sahabat tak selalu jadi cinta. Buktinya, Razan mengencani Zikya, memiliki buah hati dari jalinan pacarannya tersebut. Sementara Reyan sendiri, tak pernah berpikir seserius ini dalam menjalani hubungannya pacarannya dengan Salsha. Si junior yang genitnya minta ampun, sosok junior yang tak lelah menyemangati Reyan di sisi lapangan.
Reyan tak habis pikir, tak pernah habis sangkaan, dan selalu dibuat tersenyum soal cinta. Permainannya begitu licik nan lihai. Meski sama-sama mencintai Shiha, baik dirinya atau Razan tak satupun mendekat sebab satu hal, yaitu ketakutan. Takut jika Shiha menolak dan persahabatan itu hancur tak bersisa.
“Sayang aku pulang!” teriak Salsha mengejutkan Reyan yang melamun di bawah guyuran air dengan sisa denyutan nyeri di kepala.
“Aku … aku sedang membersihkan diri.” Reyan menyahut dengan terpaksa.
“Mau makan malam di apart atau di luar, Sayang?” Salsha mendekatkan dirinya pada pintu kamar mandi. Wanita itu mengetuk-ngetuk ujung kukunya pada pintu.
Reyan meraih handuk, melilitkan benda putih lembut itu ke pinggang, menutupi paha hingga lututnya. Bentuk betisnya yang berbuah masak dihiasi bulu-bulu halus itu membuat Salsha tersenyum. Apalagi dada juga perut Reyan yang menggoda, makinlah Salsha mendesis.
“Kamu berniat menggodaku saat ini?” tanya Salsha menatap remeh.
Reyan mendaratkan tangannya di pipi wanita itu kemudian dicubitnya gemas. Reyan menggeleng pelan sambil mengerling genit. “Enggak, jangan baper!” balas Reyan tidak mau kalah.
“Ada busa di daun telingamu!” cibir Salsha menjentikkan jarinya di depan wajah Reyan seraya memanyunkan bibir sok seksi.
Reyan segera memegangi daun telinganya. Senyum lebar terbit hiasi wajah pria itu. Gejolak tiba-tiba saja mendesak Reyan melangkah dari ambang pintu kamar mandi. Pria itu mengembuskan napasnya perlahan.
“Hari ini kita habiskan malam di apart saja. Aku rindu masakanmu, Sayang,” ujar Reyan bersiul genit. Roman wajahnya yang seksi buat Salsha mengangguk riang.
“Siap! Laksanakan!”

Bình Luận Sách (20)

  • avatar
    MulyaniNanda

    cantik cerita nya

    02/08

      0
  • avatar
    AnggoroSatrio

    yaa mau masih

    19/07

      0
  • avatar
    NrllfbryyNndy

    bagus dan seru

    16/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất