logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Malam Ketiga

Aku bergidik ngeri, untung saja sudah di ujung gang. Segera aku menyeberang jalan menuju warung Bang Tio.
“Bang, kopi satu,” ucapku terengah-engah.
“Kamu kenapa, Git?” tanya Bang Tio yang langsung membuatkan segelas kopi.
“Enggak apa-apa, Bang,” kataku.
Ingin sekali aku menceritakan semua kejadian tadi, tetapi aku urungkan takutnya Bang Tio mengira aku mengada-ngada.
Malam ini sepertinya aku akan numpang di warung ini lagi. Semoga Bang Tio tak keberatan. Sambil ngopi aku dan Bang Tio ngobrol panjang lebar, saling tanya asal daerah kami dan pengalaman masing-masing. Ternyata Bang Tio orang Brebes, ia sudah bertahun-tahun merantau di sini dan tidak pulang.
Aku meminta izin Bang Tio untuk numpang begadang lagi di warungnya, untungnya ia tak keberatan malah sepertinya terlihat senang karena ada yang menemani.
Sampai kapan aku akan seperti ini? Aku telah salah menempati kosan yang ternyata berhantu. Tak kusangka akan mengalami hal semacam ini. Selama bertahun-tahun merantau dan berpindah-pindah kosan, baru kali ini mengalami gangguan dari makhluk tak kasat mata.
Mau tidak mau, enak tidak enak, aku harus cerita ke Toni. Ia yang sudah mendapatkan kosan itu untukku. Memang, sih, lokasinya sangat dekat dengan tempatku bekerja, tetapi kalau setiap malam seperti ini aku bisa mati ketakutan.
***
“Git, bangun udah Subuh.” Bang Tio mengguncang tubuhku yang tidur sambil duduk.
“Ah, iya, Bang,” ucapku, mengucek-ngucek mata.
Sudah Subuh lagi, aku pamit pulang untuk bersiap pergi kerja. Berat aku melangkah kembali ke kosan berhantu itu. Bisa-bisanya Toni memilih kosan berhantu untukku. Akan tetapi, mau tak mau aku harus ke sana untuk siap-siap kerja.
Aku baru menyadari ternyata kosan ini terlihat sangat kusam dari luar. Suasananya pun sangat dingin, seperti tak pernah ada yang menyewanya. Mungkin memang sudah lama kosong jadi terlihat seperti ini dan malah dihuni makhluk astral.
Mataku menangkap sebuah pintu di sebelah kosanku. Ternyata ada dua unit kosan, aku benar-benar baru menyadarinya. Saking ketakutan aku tak sempat memperhatikan sekeliling.
Kosan yang kutempati memang benar-benar sepi, kiri dan kanan tembok belakang rumah orang lain. Di depan pun sebuah kebun kecil yang ditanami beberapa pohon dan seperti tak terawat.
***
Bel tanda pulang sudah berbunyi, biasanya aku senang dan menanti bunyi bel tersebut. Aku segera bersiap pulang dan sudah membayangkan membaringkan tubuhku di kasur sambil menonton televisi atau berselancar di dunia maya. Namun, tidak kali ini, aku benar-benar berharap waktu berjalan sangat lambat, agar tetap berada di tempat kerja. Kali ini aku enggan pulang. Bukan lagi kasur dan bersantai setelah seharian bekerja yang terbayang, tetapi gangguan-gangguan dari makhluk tak kasat mata yang kini menari-nari dalam benakku.
Membayangkannya saja aku sudah bergidik, apalagi nanti harus mengalaminya. Aku menghela napas kasar. Sudah kubayangkan saat nanti aku tiba di kosan.
Dengan langkah berat aku tetap pulang. Malam nanti mungkin akan begadang lagi di warung Bang Tio. Oh, iya, aku minta Toni menginap saja malam ini. Masa sih, ia enggak bisa terus. Sekalian aku mau ceritain semua yang sudah menimpaku. Semua gara-gara Toni juga.
Hatiku mencelos saat kudapati bengkel Toni tutup. Tak biasanya ia sudah tutup jam segini.
Toni ke mana, ya? batinku.
Mungkin Toni sedang ada urusan. Biar nanti aku telepon saja. Akhirnya, aku harus sendirian lagi di kosan. Aku menguatkan hati dan memberanikan diri untuk malam ini harus tidur di sana. Masa iya aku harus begadang di warung Bang Tio setiap malam bahkan belum semalam pun aku menginap di kosan itu.
Jantungku berdetak kencang saat memsuki kosan. Seperti biasa salam kuucapkan sebelum masuk. Berharap bisa mengusir hantu-hantu yang jahat dan jail.
Entah mengapa aroma lembap selalu tercium saat masuk ke kamar kos ini. Aku segera menyemprot pewangi ruangan yang dibeli saat pulang kerja tadi. Lalu meletakkannya di atas televisi dan mengatur waktunya agar menyemprot sendiri.
Kalau begini kan wangi, setidaknya pewangi ruangan ini bisa menyamarkan aroma lembap di dalam kamar ini.
Senja kembali menghampiri, seperti biasa aku melaksanakan salat Magrib. Harus rajin-rajin beribadah agar tak ada yang mengganggu lagi.
Hatiku cukup merasa tenang malam ini karena tak ada hal aneh terjadi. Aku menyalakan televisi hendak menonton. Selama hampir tiga jam aku menonton, gangguan itu benar-benar tak ada. Tak hentinya aku bersyukur kepada Allah. Semoga mulai saat ini makhluk itu tidak akan mengganggu lagi.
Aku salat Isya terlebih dahulu sebelum tidur. Malam ini aku berniat cepat-cepat tidur dan berharap bangun besok pagi. Lelah sekali setelah dua malam diteror makhluk astral, ditambah seharian bekerja. Saat pulang bukannya istirahat dengan santai dan tenang malah makin lelah karena tegang dan ketakutan.
Dua malam kemarin mungkin makhluk penghuni di sini cuma mau kenalan saja kali karena aku orang baru. Semoga aku bisa menempati kosan ini dengan tenang mulai saat ini dan seterusnya.
Sebelum tidur aku berdoa dan membaca tiga surah perlindungan dan ayat kursi untuk membentengi diri. Televisi sengaja tak kumatikan, biarlah menyala sampai pagi agar tak terlalu sepi. Akhirnya, bisa tidur dengan tenang.
Tiba-tiba ada panggilan alam yang membuatku terbangun. Gegas aku ke kamar mandi. Beberapa menit di kamar mandi tiba-tiba saja terdengar seperti ada yang memanggil namaku. Segera aku menyudahi hajatku.
Saat kubuka pintu ternyata hari masih gelap dan sangat sepi. Lalu aku melihat jam di ponsel, ternyata masih pukul satu. Kukira sudah subuh. Bulu kudukku mulai meremang, mengingat tadi ada yang memanggil.
“Agit.” Bisikan halus memanggil namaku terdengar jelas di telinga.
Tubuhku bergetar hebat. Tanganku menjadi dingin dan kebas. Aku kira tak akan mengalami gangguan lagi. Ternyata malah semakin menjadi-jadi. Televisi yang masih menyala tiba-tiba mati dengan sendirinya.
“Astagfirullah,” ucapku yang masih mematung.
Entah mengapa kakiku seperti terpaku di tempatku berdiri. Sebenarnya, aku ingin segera lari, tetapi kaki ini benar-benar mati rasa. Tanganku bergetar hebat sampai-sampai ponsel pun terjatuh.
Dengan terbata aku melafalkan ayat kursi karena benar-benar ketakutan. Akhirnya, kaki ini mulai bisa digerakkan. Dengan cepat aku mengambil ponsel dan dompet. Lalu, mengunci pintu dan berlari ke warung Bang Tio lagi. Sebenarnya aku tak enak tiap malam ke sana, tetapi tak tahu harus ke mana lagi.
Terengah-engah saat tiba di warung seberang Gang Sempit tersebut. Raut wajah pemilik warung seperti keheranan melihatku.
“Kamu kenapa, Git?” tanyanya menghampiriku dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Enggak apa-apa, Bang. Bikinin kopi item satu ya,” jawabku masih dengan napas tersengal.
“Ayo, duduk dulu. Minum ini,” ucapnya sambil mengambilkan dan menyodorkan sebotol air mineral kepadaku.
Lantas aku meneguk air yang diberikan pemilik warung itu. Detak jantungku belum berdetak normal, tetapi sedikit lebih lega dan tenang di sini.
“Bang, malam ini aku mau numpang lagi, ya,” kataku, sebenarnya aku tak enak hati, tetapi mau gimana lagi.
“Aku tak keberatan kamu mau di sini setiap malam pun, malah aku senang ada yang nemenin, tapi sebenarnya kamu kenapa tiap malam pasti di sini. Oh iya kamu tinggal di mana?” cecarnya.
Aku bingung menjawab pertanyaan pria berambut sebahu itu. Aku hanya bergeming sambil meminum lagi air tadi. Kalau aku cerita takutnya ia tak percaya.
“Kamu tinggal di kosan Gang Sempit, ya?” tanyanya lagi.
“I—iya, B—bang,” jawabku gugup.
“Sudah kuduga,” ucapnya.

Bình Luận Sách (245)

  • avatar
    KarembongCebong

    Cerita nya serem tapi judulnya menarik👍👍

    13/04/2022

      0
  • avatar
    riskarufia'h

    baru memulai

    19d

      0
  • avatar
    WennyWennymarjeni

    lumayan

    21d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất