logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chapter 6 Berpindah Tubuh

Antara sadar dan tidak, Megan merasa seluruh tubuhnya tenggelam di dalam air. Nafasnya tersengal-sengal karena paru-parunya terisi penuh oleh cairan.
Dengan kedua tangannya, Megan menggapai-gapai. Berusaha menarik tubuhnya ke permukaan air untuk mencari oksigen. Namun tenaganya hampir tak bersisa. Semakin memaksakan diri, kesadarannya justru makin melemah.
"Tuhan, apa aku harus meninggal dengan cara tragis seperti ini? Kumohon, selamatkanlah aku. Aku berjanji akan memperbaiki kesalahanku,"
batin Megan dengan sisa kesadarannya.
Nyeri yang luar biasa menjalar di rongga dada Megan, membuatnya kesulitan untuk bernafas. Pusat jantungnya bagai dihantam oleh palu gada namun kepalanya seringan kapas. Mungkinkah ini rasanya jika manusia akan menyongsong kematiannya. Entahlah, dia sendiri tidak tahu karena baru pertama kali mengalaminya. Yang jelas nalurinya mengatakan inilah babak akhir dari buku kehidupannya.
Rentetan peristiwa berputar-putar tiada henti di kepala Megan. Kenangan masa kecil bersama ibunya, belaian lembut sang ayah, hingga wajah Liam dan Felix yang muncul secara bergantian. Potongan adegan itu membentuk film hitam putih yang kian memudar. Hingga akhirnya segala sesuatu lenyap seiring dengan hilangnya kesadaran gadis itu.
"Megan..., bangunlah."
Sayup-sayup terdengar suara yang begitu merdu dan dalam. Belum pernah Megan mendengar suara yang lebih menenangkan dari suara ini. Tegas, berwibawa, namun membawa kedamaian pada jiwanya. Getarannya mampu menenangkan segala kegelisahan di sanubari Megan.
"Megan...." Suara itu memanggilnya sekali lagi.
Dengan patuh, Megan membuka kelopak matanya. Yang pertama kali dilihatnya adalah seberkas cahaya putih yang menyilaukan. Terangnya cahaya itu sangat menusuk, seolah hendak membutakan kornea matanya. Secara refleks, Megan mengangkat punggung tangannya untuk melindungi diri.
"Dimana ini dan siapa kamu?" tanya Megan kebingungan. Apa yang diucapkannya lebih terdengar seperti rintihan daripada pertanyaan.
"Jangan takut, Megan. Turunkan tanganmu," jawab suara itu. Megan baru menyadari jika suara itu berasal dari sinar terang yang ada di hadapannya.
Dengan patuh, Megan menurunkan tangannya. Ia menatap ke arah cahaya yang kemudian berubah bentuk menjadi sesosok tubuh mirip manusia. Tingginya sekitar dua meter, namun wajahnya tidak kasat mata. Gaya bicaranya mengingatkan Megan pada kisah mitologi dewa dewi Yunani. Gelombang suaranya merupakan campuran dari deru ombak dan guntur yang saling bersahutan.
Entah benar atau salah, Megan melihat sepasang sayap di sisi kiri dan kanan sosok itu. Ah, pasti dia sudah gila. Benarkah saat ini dia sedang bertemu dengan malaikat? Ataukah ia memang dijemput oleh malaikat pencabut nyawa dan akan dibawa ke alam baka?
"Apakah saya sudah mati?" tanya Megan memberanikan diri.
"Kamu berada di persimpangan antara hidup dan mati. Coba lihat ke bawah," jawab suara itu.
Megan melakukan seperti yang diperintahkan sang malaikat. Tiba-tiba saja di bawahnya terpampang sebuah layar lebar mirip yang ada di gedung bioskop. Melalui layar itu ia bisa menyaksikan film tentang dirinya sendiri.
Secara jelas, Megan melihat bagaimana ia terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien. Beberapa peralatan medis terpasang di tubuhnya. Terdapat selang oksigen di hidungnya dan setiap detak jantungnya dipantau oleh monitor.
Di samping ranjang tempatnya berbaring, Tuan Andrew memegang tangannya. Linangan air mata tampak di wajah pria paruh baya tersebut. Belum pernah Megan melihat Daddynya menangis sesedih itu. Sementara di sudut kamar, berdiri seorang pria dengan ekspresi yang tak kalah muram. Megan memicingkan mata untuk mengetahui siapa pria itu. Tidak salah lagi. Itu adalah Liam, pria yang pernah menyelamatkan hidupnya.
"A...aku sedang koma di rumah sakit," gumam Megan pada dirinya sendiri.
"Benar, Megan. Kamu belum meninggal karena Yang Kuasa ingin memberimu satu kesempatan untuk menebus kesalahanmu."
Mendengar perkataan sang malaikat, Megan bertambah bingung.
"Saya rela meninggalkan dunia sekarang juga jika waktu saya memang sudah habis."
"Ingat baik-baik apa yang kamu doakan sebelum melompat dari balkon," timpal malaikat itu.
Megan merenung sebentar. Meskipun hanya berupa roh, namun ingatannya masih sangat baik.
"Sa...ya meminta agar diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan saya," jawab Megan terbata.
"Permohonanmu telah dikabulkan. Di waktu yang bersamaan, ada gadis lain yang mengucapkan permohonannya dengan tulus. Dan doa gadis itu juga dikabulkan," jelas sang malaikat.
"Megan, selama ini kamu dipenuhi keangkuhan. Anugerah yang diberikan padamu membuat hatimu dingin dan sombong. Kamu telah menyakiti banyak orang, karenanya hukuman ini dijatuhkan kepadamu. Tapi kamu akan diampuni bila berhasil melakukan sebuah tugas."
"Tugas apa yang Anda maksud? Saya tidak mengerti," tanya Megan.
"Menolong seorang gadis dari penderitaannya. Kamu akan masuk ke dalam tubuh gadis itu untuk mengubah takdirnya sekaligus membantunya mendapat kebahagiaan."
Malaikat itu melanjutkan perkataannya.
"Kamu hanya diberi waktu seratus hari untuk menjalankan tugasmu. Jika.berhasil, kamu akan dikembalikan ke tubuhmu dalam keadaan hidup. Sebaliknya bila gagal, kamu harus pergi bersamaku dan tubuhmu di dunia fana akan meninggal."
Perkataan malaikat itu bagaikan sambaran petir di telinga Megan. Entah kenapa mendadak ia diberikan suatu misi yang mustahil untuk dilakukan.
"Apa tidak ada cara lain agar saya bisa menebus kesalahan saya?" tanya Megan mencoba mengajukan penawaran.
"Tidak ada. Katakan apakah kamu bersedia menerima tugas tersebut?"
Dilema besar mendera Megan. Ia tidak yakin apakah mampu menuntaskan misi untuk membahagiakan gadis lain yang tidak dikenalnya. Namun di sisi lain, misi ini adalah satu-satunya jalan keluar baginya jika ingin kembali ke dunia.
"Putuskan sekarang, Megan!" desak sang malaikat.
"Saya bersedia. Tapi sebelumnya boleh saya bertanya dulu? Siapa nama gadis itu, dimana dia tinggal, apa saja masalahnya dan bagaimana saya bisa membuatnya bahagia?" ucap Megan memberondong sang malaikat dengan sederet pertanyaan.
Sekarang ia mirip detektif yang berusaha menginterogasi seorang tersangka. Bagaimanapun pengemban tugas mulia harus mengenal siapa pribadi yang akan ditolongnya.
"Nama gadis itu Maribelle. Untuk pertanyaanmu yang lain kamu akan mengetahuinya sendiri bila saatnya telah tiba. Sekarang pejamkan matamu," titah sang malaikat.
Tanpa berani melancarkan protes, Megan memejamkan mata. Ia tidak mau terlalu memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sepersekian detik, Megan merasa jiwanya melayang menembus batasan ruang dan waktu. Rasanya bagai tenggelam dalam mimpi yang tidak bertepi.
"Uhukkk, uhukkk."
Megan terbangun karena tenggorokannya kering kerontang. Ia menggeliat perlahan, meregangkan punggung dan bahunya yang pegal. Dahaga memaksanya turun dari tempat tidur untuk mengambil segelas air minum.
Ketika kesadarannya telah terkumpul, Megan terkejut bukan kepalang. Megan mengusap-usap matanya beberapa kali untuk memastikan ia tidak berhalusinasi.
Ini jelas bukan kamarnya maupun kamar rumah sakit. Ruangan tempatnya berada sekarang sangat suram. Desainnya terlihat kuno dan ketinggalan zaman. Lebih mirip latar yang dipakai untuk film Al Capone atau The Great Gatsby.
"Wait, dimana aku sekarang? Jangan-jangan aku sudah...."
Tidak ingin berspekulasi, Megan berjalan ke arah cermin berbentuk oval di tengah kamar.
Degup jantungnya nyaris berhenti saat ia menatap pantulan dirinya di cermin.
Yang dia lihat bukanlah dirinya melainkan seorang gadis bergaun hitam. Rambutnya yang panjang tampak kusut, tergerai berantakan di bahunya. Kulitnya putih sepucat salju di musim dingin. Dan kelopak matanya bengkak seperti orang yang selesai menangis semalaman. Bisa dikatakan gadis ini cocok memerankan tokoh hantu dari masa lalu.
Dengan mulut menganga, Megan meraba tubuhnya. Tidak bukan tubuhnya melainkan tubuh orang lain. Tulang-tulangnya terasa nyata begitu pula dengan kulitnya. Selanjutnya ia sengaja menarik rambut di kepalanya dengan keras.
"Ouch, sakit. Jadi ini bukan mimpi," keluh Megan.
Dengan gemetar, Megan duduk di kursi agar lebih mendekat ke cermin. Serta merta ia pun menjerit ketakutan ketika menyadari sesuatu yang ganjil pada wajah gadis ini.
"Tidak! I...ini bekas luka parut. Aku...menjadi gadis buruk rupa," seru Megan histeris.

Bình Luận Sách (54)

  • avatar
    m******n@gmail.com

    this so amazing semangat ya buat nulisnya👍👍👍 ditunggu kelanjutannya

    03/05/2022

      0
  • avatar
    Trivnsymlli

    yes

    24d

      0
  • avatar
    Viina Siagian

    bagus ceritanya

    23/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất