logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chapter 3 Rencana Balas Dendam

Gillian menepuk bahu Megan yang sedang melamun.
"Ada apa denganmu? Jangan-jangan kamu menyesal karena menolak Felix," goda Gillian.
"Bukan, Gill. Akhir-akhir ini, aku sering memimpikan hal yang sama setiap malam. Dan itu sangat menggangguku," jawab Megan berterus terang.
"It is just a dream, Megan. Mimpi adalah bunga tidur, untuk apa dipikirkan."
"I know. Tapi mimpi itu terasa nyata bagiku."
Gillian mencodongkan tubuhnya.
"Memangnya kamu memimpikan apa? Bercinta dengan seorang pria tampan?" tanya Gillian penasaran.
"Otakku tidak sekotor itu. Kalau aku menceritakan mimpiku, kamu pasti akan menertawakan aku," jawab Megan. Gadis itu berdiri dari kursinya dengan wajah lesu.
"Aku janji tidak akan tertawa. Ceritakan saja," desak Gillian merengek.
"Lupakan saja, itu tidak penting. Aku mau pulang, Gill."
"What? Bukankah kita akan perawatan di salon hari ini?" tanya Gillian kecewa.
"Moodku sedang buruk. Lagipula Emma sudah pulang. Hari Sabtu saja kita pergi ke salon bertiga," jawab Megan.
"Okey, Babe. Aku ke perpustakaan dulu ya."
Setelah berpisah dari Gillian, Megan menuju ke area parkir kampus. Namun ia terkejut ketika mendapati ban mobilnya kempes.
"Shit! Siapa yang sudah berbuat iseng pada mobilku?" keluh Megan.
Dalam kondisi begini, Megan membutuhkan pertolongan darurat. Ia mengambil ponsel dari tasnya lalu menelpon Carla.
"Carla, ban mobilku kempes. Suruh Jack segera datang dan menjemputku di kampus sekarang."
Jack adalah supir pribadi keluarga Daverson.
"Nona, Jack baru saja izin pulang. Anaknya sakit demam," jawab Carla.
"Lalu siapa yang bisa menjemputku dan membawa mobilku ke bengkel?" tanya Megan.
Carla tidak menjawab karena ia sendiri bingung bagaimana harus menolong nona mudanya.
"Percuma saja aku bicara denganmu."
Megan menutup telponnya dengan kesal. Tanpa pikir panjang ia mencoba menghubungi ayahnya, namun nomor ponselnya berada di luar jangkauan. Jalan keluar satu-satunya yang tersisa adalah menelpon asisten ayahnya, Liam Carlos.
"Halo, selamat siang, Nona," sapa Liam dengan sopan.
"Dimana Daddyku? Apa dia bersamamu?" tanya Megan enggan berbasa basi.
"Tuan Andrew sedang ada rapat penting dengan Mr. Chang. Beliau tidak bisa diganggu."
"Tapi masalahku ini sangat mendesak," ucap Megan bersikeras.
"Katakan saja apa keperluan Nona kepada saya. Saya akan coba membantu sebisa mungkin."
"Aku tidak mau mengatakan masalah pribadiku pada orang asing. Cepat berikan telponnya kepada Daddyku," bentak Megan.
"Maaf, Nona, tidak bisa untuk saat ini."
Megan berdesis kesal lalu mematikan ponselnya. Ingin rasanya ia melempar wajah Liam dengan sepatu seandainya pria itu ada di hadapannya.
Megan mengamati mobil sport mewah miliknya. Ia tidak mau meninggalkan mobil sport kesayangannya di kampus. Menitipkan pada Gillian juga mustahil, karena temannya itu tidak mengerti apapun soal mobil.
Tidak ada jalan keluar lain. Terpaksa ia harus meminta tolong kepada sang asisten yang menyebalkan.
"Apa Nona sudah berubah pikiran?" tanya Liam datar.
"Suruh dua orang supir kantor datang ke kampusku. Yang satu untuk menjemputku pulang dan satu lagi untuk membawa mobilku ke bengkel. Aku tunggu di kampus," perintah Megan.
Jarak antara kampus dan kantor ayahnya tidak terlalu jauh. Karena itu, Megan yakin jika bantuan akan tiba dengan cepat.
Tanpa menunggu jawaban dari Liam, Megan langsung mematikan panggilannya.
Daripada bosan menunggu, ia berjalan kaki ke kafe yang ada di seberang kampus. Megan memesan ice cream cokelat untuk membuat suasana hatinya menjadi lebih baik.
Kurang lebih tiga puluh menit, ia menikmati kesendiriannya di kafe. Pikirannya masih saja dipenuhi bayangan akan rupa gadis yang ada di dalam mimpinya.
Setelah membayar di kasir, Megan keluar dari kafe untuk kembali ke kampus. Tapi di depan gerbang kampus sebuah tangan menyambar lengannya.
"Mau kemana, Megan? Buru-buru sekali."
"Felix, kenapa kamu ada disini? Lepaskan aku!" teriak Megan.
"Sssstttt, tenang, Baby. Mungkin tadi kamu menolakku di depan banyak orang karena malu. Tapi jika kita berdua saja kamu, aku yakin kamu akan berubah pikiran."
"Jangan berbuat macam-macam, Felix!" hardik Megan. Di dalam hati ia merasa was-was karena sorot mata Felix begitu menakutkan.
Pemuda itu menarik tangannya dan membawanya ke pinggir jalan.
"Ikut ke mobilku!"
"Lepas!" seru Megan meronta-ronta.
Felix terus menggiring Megan hingga sampai ke mobil jeepnya.
"Aduh!" pekik Megan. Punggungnya terasa nyeri karena menabrak pintu mobil.
Felix mendekatkan wajahnya sambil mengunci gerakan Megan dengan kedua lengannya.
"Menurutlah, kucing manis, maka aku tidak akan menyakitimu."
Nafas Megan tercekat di dada. Ia benar-benar takut jika Felix akan melakukan sesuatu yang buruk. Sudah pasti pemuda itu menaruh dendam kepadanya atas penolakannya tadi pagi.
Felix semakin mendekatkan bibirnya hingga Megan gemetaran. Gadis itu memejamkan mata untuk menghindari tatapan liar Felix.
"Lepaskan dia!" Terdengar suara berat seorang pria.
Perlahan Megan membuka mata untuk melihat siapa pria yang datang untuk menolongnya.
"Liam?" batin Megan membelalakkan mata.
Pria tampan itu sedang mencengkeram kerah jaket Felix. Kilatan amarah terpancar jelas dari netranya.
"Jangan menjadi pengecut dengan menindas wanita!" hardik Liam penuh penekanan.
"Siapa kamu? Beraninya mencampuri urusanku!"
Felix mencoba melawan, tapi kekuatannya jauh di bawah Liam.
"Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Sekarang cepat pergi sebelum aku kehilangan kesabaran," tandas Liam mendorong tubuh Felix hingga terpental.
"Ingat, ini belum selesai!" ucap Felix mengacungkan jari telunjuknya ke arah Liam dan Megan.
Dengan langkah terseok, Felix berjalan menuju ke mobilnya. Ia menyalakan mesin lalu melesat pergi dengan kecepatan tinggi.
Wajah Megan pucat pasi. Belum pernah ia mengalami kejadian menyeramkan seperti ini dalam hidupnya.
"Tenanglah, Nona. Pemuda berandalan itu sudah pergi," ucap Liam dengan suara lembut. Ia prihatin melihat gadis cantik itu nampak rapuh. Berbeda dengan Megan Daverson yang biasanya angkuh dan tidak mengenal rasa takut.
"Terima kasih," ucap Megan lirih.
Seluruh sendi Megan terasa lemas. Lututnya goyah, tidak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Hampir saja Megan limbung, jika saja Liam tidak menangkapnya tepat waktu.
"Nona tidak apa-apa?" tanya Liam cemas sambil memeluk Megan yang masih gemetaran.
Dekapan pria itu terasa hangat dan nyaman. Seolah-olah ia sudah mengenalnya sejak lama dan tidak ingin berpisah darinya.
Tanpa sadar, Megan melingkarkan tangannya di pinggang Liam. Kemudian ia menangis seperti anak kecil yang bersandar di pelukan orang tuanya.
Tindakan Megan membuat Liam terkesiap. Namun mendadak timbul perasaan tak biasa di hatinya. Entah mengapa ada dorongan kuat untuk melindungi gadis ini dari segala bentuk penderitaan.
Liam ingin membelai rambut Megan, tapi ia berusaha keras menahan diri.
"Menangislah, Nona, jangan ada yang ditahan. Terkadang menangis bisa membuat perasaan lebih lega. Setelah Nona tenang, saya akan mengantarkan Nona pulang."
Megan mengangguk tanpa mengucapkan apa-apa. Sungguh saat ini dia bergantung sepenuhnya pada Liam. Semenit pun ia enggan berpisah dari sosok pelindungnya ini.
****
Felix melempar jaketnya dengan kesal ke atas tempat tidur. Tinggal selangkah lagi ia berhasil melecehkan Megan. Tapi rencananya gagal gara-gara kedatangan seorang lelaki tak dikenal.
Felix menatap dirinya sendiri di cermin. Bukan Felix Smith namanya bila menyerah begitu saja. Ia harus menyusun strategi yang lebih matang guna membalaskan dendam kepada gadis yang berani merendahkan harga dirinya.
Felix berjalan mondar-mandir di dalam kamar sambil memutar otak. Bila cara kasar tidak membuahkan hasil, maka ia akan beralih menggunakan cara yang lebih licik. Dan ia harus bekerja sama dengan orang terdekat Megan untuk melancarkan rencananya. Tapi siapa?
Bayangan Emma Jones mendadak terlintas di benak Felix. Beberapa kali ia memergoki gadis itu mencuri pandang padanya. Mungkin ia bisa memanfaatkan Emma untuk menjebak Megan agar masuk dalam perangkapnya.
Seringai tercetak di bibir Felix. Ia meraih ponselnya lalu menghubungi nomor Emma. Beruntung ia pernah menyimpan nomor ponsel sahabat Megan itu.
"Halo, Emma, ini aku Felix," sapa Felix melembutkan suaranya.
"Felix? Kenapa menghubungiku?" tanya Emma terkejut.
"Emma, aku butuh teman bicara. Aku sedang terpuruk karena cintaku ditolak oleh Megan. Kamu lihat sendiri bagaimana aku dipermalukan di hadapan orang-orang. Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku," keluh Felix pura-pura putus asa.
"Jangan, Felix. Kamu tidak boleh berbuat nekat."
"Kalau begitu temui aku, Emma. Aku membutuhkanmu," bujuk Felix.
"Baiklah, dimana dan kapan kita bertemu?"
"Jam tujuh malam ini, di kafe Seventeen. Aku menunggumu, Baby."
"Iya, aku pasti datang," jawab Emma berjanji.

Bình Luận Sách (54)

  • avatar
    m******n@gmail.com

    this so amazing semangat ya buat nulisnya👍👍👍 ditunggu kelanjutannya

    03/05/2022

      0
  • avatar
    Trivnsymlli

    yes

    24d

      0
  • avatar
    Viina Siagian

    bagus ceritanya

    23/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất