logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bagian 4

"Kek manalah caranya?" Bang Anton meremas kepalanya.
'Bukan kek mana, kek mana. Mamak sudah bilang kalau Abang tumpuan harapan. Abang anak sulung harus bijak mengambil putusan, apa? Mana kebijaksanaan itu?' Aku mengomel dalam hati. Takut ditumbuk betulan kalau kubilang keras-keras.
Kini sudah hari ke-5 kami di kampung. Subuh tadi, Halimah--istriku--menelepon. Stok persediaan dapur sudah menipis katanya, entah masih cukup untuk dua hari ke depan. Padanya, kubilang hanya seminggu di rumah Mamak.
Melihat kondisi Mamak begini, manalah tega hati ini untuk pergi meninggalkan beliau sendiri.
Mamak sedang di halaman belakang. Mengumpulkan reranting pohon mati, katanya untuk masak. Padahal di rumah ada kompor gas. Kami duduk terpisah-pisah, paling dekat denganku Bang Hendar.
"Kenapa kau?" Bang Hendar duduk di sisi kiriku. Mataku masih awas mengawasi Mamak di kebun belakang rumah.
"Nggak ada, Bang."
"Tapi mata kau bilang ada!"
"Halimah, kehabisan persediaan. Rencananya besok aku mau balek ke Riau. Tengok Mamak begini, manalah sanggup aku pergi." Aku menengadah menantang langit, bukan apa-apa, takut tak terbendung air mata.
"Kau ada uang?"
Aku menggeleng, dibilang nggak ada, masih ada uang merah dalam dompetku satu helai.
"Kirimi Halimah uang, ini, ambillah!" Bang Hendar memberikan empat lembar uang pecahan seratus ribu padaku. "Setidaknya cukup untuk dia dan Samudera beberapa hari ke depan. Maaf, Abang nggak mampu bantu banyak."
"Nanti Abang balek ke Aceh kek mana?"
"Gampanglah, itu juragan Anton masih ada untuk kita peras dompetnya," kelakar Bang Hendar menepuk pundakku. "Coklah cari tempat yang bisa kirim uang, cepat sikit. Kasihan anak bini kau nggak jajan dia."
Segera aku bangkit, semalam kalau nggak salah lihat ada agen pengiriman uang dekat rumah Marta. Seperti kata Bang Hendar ... setidaknya, untuk beberapa hari ke depan cukuplah bagi Halimah.
***
"Mamak suruh kau sapu halaman, malah pergi ke mana-mana. Mau jadi apa kau besar nanti? Baru ini yang Mamak bebankan, nggak bisa kau bertanggung jawab!" Mamak menghadangku di depan gerbang.
Ketiga abangku hanya berdiri diam di depan beranda rumah. Aku bingung mau menjawab apa. Pasti dalam pikiran Mamak aku ini si Galih sembilan tahun habis pergi main ke rumah teman.
Padahal aku Galih 37 tahun, sudah mulai beruban.
Terdengar azan dari surau, waktu salat Dzuhur sudah masuk.
"Nggak usah ikut Bapak ke masjid, salat Magrib di rumah." Mamak masih mendelik padaku.
"Mak, ini masih Dzuhur. Mungkin Mamak salah melihat jam."
"Mana pula salah, jangan tipu-tipu Mamak ya, Galih. Kecil pun pandai berdusta, kek mana nanti kalau sudah besar?" omelnya, kemudian berlalu begitu saja.
Aku memijat kening, pusing. Semakin hari, semakin runyam urusan ini.
Selesai salat Dzuhur, sementara Mamak memaksa salat Magrib sendiri di kamar. Ya, Mamak hanya salat tiga rakaat. Kemudian Mamak mengaji dan tertidur hingga selesai Ashar.
Wak Wati sudah masak gulai ayam dan tahu goreng balado untuk kami makan malam. Beliau dan suaminya turut serta pula. Mamak pun begitu lahap makan bersama kami. Menengok Mamak tersenyum lebar sambil menyuap nasi, agak terobati sedikit cemas di hati.
Selesai membereskan semuanya. Mamak pergi ke dapur. Mengupas mentimun dan mengirisnya halus. Kemudian terdengar kompor dinyalakan, karena khawatir kuintip Mamak dari pintu.
"Hendak bikin apa, Mak?"
"Bikin tumis mentimun, ada telur satu, Nak. Buat kita makan siang. Bapak kelen belum pulang, belum ada Mamak uang untuk belanja dapur. Nggak apa-apa ya, Nakku ... siang ini kita makan seadanya aja. Do'akan Bapak lapang rezekinya, biar nanti bisa beli ikan atau ayam. Kasihanlah rasanya tengok kelen dah lama kali nggak makan enak."
Ketiga abangku turut serta mendekat. Wak Wati sudah berlinang air mata di pojok ruangan keluarga. Tentu Wak Wati yang puas dirajam perasaan selama merawat Mamak.
"Duduklah di depan, sebentar lagi Mamak bawakan ke sana."
"Wak nggak kuat kalau sudah kek gini, hancur sehancur-hancurnya. Wak pulang duluan ya, Nton. Kalau ada apa-apa nanti kelen panggillah ke sebelah." Wak Wati beserta suaminya pamit.
Seperti biasa, kami disuruh duduk berjejer. Dalam pikiran Mamak kami adalah anak-anak yang beranjak remaja. Pada kenyataannya kami sudah bapak-bapak. Bang Anton saja sudah mendekati 42 tahun.
Tak lama, Mamak datang membawa nasi dengan nampan panjang. Ada nasi dan tumisan mentimun ditambah telur. Ada pula sejuput cabai yang digiling dengan bawang dan garam.
Telaten tangan Mamak membuat suapan untuk kami. Satu persatu disuapi Mamak.
"Enak, Ndar?" tanya Mamak. Bang Hendar mengangguk lemah.
"Kalau bagi Danang, taik kucing pun enak, betul kan?" seloroh Mamak ketika menyuapi Bang Danang. Bercucuran air mata si sumo itu.
"Ntah apalah pakai nangis pula, Mamak kan bercanda ajanya." Mamak menyeka air mata Bang Danang. Terlihat begitu sayangnya Mamak pada anak-anak.
Kemudian Bang Anton, hanya diam dan menurut disuapi Mamak.
Kini giliranku, dada terasa sesak, seolah tak sanggup membuka mulut menerima suapan Mamak.
"Pahit-pahit dulu kita, Nak. Semoga Allah nanti mengangkat derajat kalian." Mamak menyeka sedikit air di sudut matanya.
"Mamak nggak makan sekalian?" Bang Anton bertanya.
"Mamak sudah, sudah dua kali Mamak makan. Buktinya ini tinggal kerak-kerak nasi. Tak palalah kelen cemaskan Mamak. Tadi pun ada yang antar makanan enak, Kelen asyik bermain ya Mamak habiskan sendiri."
Dulu, aku tahu sekali bahwa kalimat itu bohong semua.
Seketika itu, teringat masa lalu. Mamak selalu bilang sudah makan, padahal belum. Kalau bikin lauk, Mamak makan paling terakhir. Syukur-syukur kebagian kepala ikannya saja. Dagingnya dibagi rata untuk anak-anak.
Seringkali Mamak puasa tanpa sahur. Agar anak-anak tidak kurang makan siangnya. Namun, ketika ditanya "Mamak sudah makan?" Jawaban Mamak selalu saja dusta, "Mamak loh sudah tiga kali makan, kelen ini apalah tanya-tanya Mamak terus."
Tiap malam Mamak akan bercerita tentang hal-hal penuh hikmah. Memberi asupan nasihat untuk anak-anaknya ini. Masih melekat kuat dalam kepalaku ini, petuah-petuah Mamak sebelum kami tertidur.
Dulu, rumah ini rumah panggung sudah mulai miring. Itu pun warisan dari opung. Sampai Bang Anton tamat SMA masih rumah yang sama. Lalu, Bang Anton merantau ke Kota Medan. Bekerja sebagai kuli panggul di grosiran milik orang Cina.
Tahun-tahun berikutnya ketika Bang Hendar dapat beasiswa ke Palembang, mulailah bangkit ekonomi keluarga ini. Bapak punya kebun kopi sedikit, tapi berbuah lebat tiap musim. Perlahan-lahan Mamak usahakan renovasi rumah. Mengganti lantai yang keropos, menukar atap yang bocor, melapisi dinding dengan triplek.
Bang Hendar yang encer otaknya, dapat beasiswa dan rutin mengirimi Mamak uang. Selanjutnya, Mamak gunakan uang itu untuk menguliahkan Bang Danang.
"Kau Hendar, ikhlaskan uang beasiswa yang terpakai untuk kuliah Danang. Biar berkah dan jadi orang pula Adek kau nanti. Ibaratnya Mamak sedang menyulam daun petai, maafkan Mamak ya, Nakku." Suatu hari Mamak berkata demikian.
Nahas bagiku, ketika aku tamat dan harus kuliah, kebun kopi bapak terkena proyek pelebaran jalan. Ganti rugi yang didapat juga tak banyak. Sementara Bang Anton sudah bertolak ke Aceh ikut juragannya yang baru.
Agak marah rasanya ketika kuingat kala itu. Mengapa harus giliran aku semuanya mendadak tidak ada apapun?
"Belajar apa di sekolah tadi, nggak cabut-cabut lagi 'kan? Janganlah jogal kali ya, Nak. Kau kan anak bungsu kebanggaan, baik-baiklah perangai kau itu.
Mamak tak suka tengok kau manjat-manjat rambutan, tembak-tembak mangga orang pakai ketapel, nggak semenggah kali perbuatan kau itu."
"Iya, Mak," jawabku takzim.
"Esok, kalau sudah besar, sudah dewasa, sudah mapan hidup kalian, perbaiki rumah kita ini ya, Nak. Ini bukti bahwa kita ada beranak-pinak di sini. Meskipun nggak ada kelen saudara perempuan, biarlah tetap ada kenangan yang tertinggal di tanah tempat darah tertumpah."
Sakit hatiku mendengar kalimat Mamak. Betul rumah ini sudah direnovasi. Bang Anton dan Bang Danang menggelontorkan uang sekian ratus juta untuk memugar rumah Mamak ini. Itu dulu, barangkali sepuluh tahun lalu. Ketika itu Mamak masih sehat, segar bugar.
Kalau aku pikir-pikir, memang Bang Danang dan Bang Anton yang paling berkorban dari segi keuangan. Isi rumah, kiriman untuk Mamak tiap bulan, nggak pernah alfa sekalipun. Hanya aku dan Bang Hendar yang jarang kirim-kirim uang untuk Mamak. Bang Hendar mungkin masih, aku yang paling jarang.
Bukan tak mau, aku miskin.
"Eh dengarkan Mamak. Ada satu cerita, Mamak-mamak dekat danau Toba nun jauh di sana, ini cerita orang lama ya. Dia punya anak lelaki satu, kemudian ketika dewasa dia merantau jauh." Mamak mulai bercerita.
"Si Mamaknya tiap hari menunggu di depan rumah, harap-harap cemas anaknya akan pulang berkunjung. Tiap lebaran, dimasakkan masakan kesukaan anaknya itu, rendang. Sampai rendang itu berbulu, yang anak tak juga datang.
Bertahun-tahun lamanya menahan kerinduan. Sampai matanya buta karena menangis tiap hari. Hingga ajal menjemput, yang anak tak juga pulang."
Terbit air mataku mendengar cerita Mamak. Sadar atau tidak, Mamak sedang menceritakan dirinya sendiri.
"Mamak takut itu terjadi juga sama Mamak nanti kalau kalian sudah besar dan pergi merantau."
Lirih terdengar isak tangis Mamak. Bang Danang juga sudah tersedu-sedu. Kadang aku heran, mereka mudah terenyuh tapi giliran disuruh rawat Mamak ada saja alasannya.
Selesai bercerita itu, Mamak menuju jendela. Menyibakkan kain penutup, melempar pandangan sangat jauh.
"Kemana anak-anakku, tak nampak kah lagi jalan menuju Sidikalang? Tak ingatkah lagi mereka dengan Mamak rentanya?" bisik Mamak pada angin.
Kemudian Mamak pergi tidur, tinggal kami dalam diam dan kebingungan.
Aku memilih keluar, duduk di bangku percis di bawah pohon kersen. Bangku ini berderit ketika kududuki. Tak lama, ponselku berdering. Halimah yang memanggil.
Dari seberang, terkabarkan kalau Samudera puteraku yang berusia 9 tahun mendadak demam dan kejang. Untung Halimah tidak panik, dibantu tetangga dia larikan Sam ke klinik. Masih syukur hanya demam biasa.
Detik itu juga kuputuskan, minggu depan akan kujemput mereka dan tinggal di sini. Halimah yatim piatu dari kecil, kakaknya pun sudah berkeluarga. Dalam pikiranku, tak ada hambatan berat untuk memboyong mereka ke sini. Paling mengurus surat pindah sekolah Sam yang agak lama.
"Kok tegang muka kau?" Bang Anton menyusulku, ikut duduk sambil mematik rokoknya.
"Samudera sakit, di klinik sekarang." Kuusap wajah yang pias.
"Sepertinya Abang besok harus pulang ke Aceh, Lih. Maafkan Abang tak bisa lama. Istri Abang nggak bisa bawa anak-anak ke rumah sakit tempat dia bekerja. Sedangkan, pengasuh yang biasa kerja di rumah sedang pulang ke Jawa.
Pedih hati Abang harus meninggalkan Mamak begini. Tapi kau tenanglah, Lih. Kalau butuh apa-apa untuk kebutuhan Mamak, kabari Abang cepat. Abang kirim biayanya segera."
'Mamak tak butuh uang kau, Bang. Mamak butuh kau ada dekatnya!' Hanya dalam hati kujawab kata-katanya barusan.
"Iyalah, masih ada Bang Hendar sama si Sumo." Aku menjawab sekenanya.
"Danang pun besok berangkat, ada sidang berat katanya. Hendar pula, masa cutinya sudah habis."
"Kelen berangkat semua? Sekaligus?"
"Bukan maksud meninggalkan kau, Lih. Untuk saat ini, kami tumpukan sama kau! Sementara." Bang Danang menyela, kemudian duduk di bangku satu lagi.
"Jangan salah paham pula, kami entah rasa hati ingin selamanya di sini kalau bisa. Aku terikat kerja, sebagai pegawai negeri sipil, nggak bisa seenak kepala libur lama-lama, Lih." Bang Hendar tetap paling kalem.
"Entahlah, Bang. Aku kok merasa kalian sedang perosokkan aku ramai-ramai ke dalam kubangan. Ini anakku sakit, sedang dirawat, apa boleh buat lagi?"
Aku kecewa untuk kesekian kalinya pada mereka. 'Ini Mamak kau juga, bukan makku seorang!' Rasa hati ingin kuteriakkan itu pada mereka.
Pagi hari tiba, mereka sudah berkemas. Aku hanya duduk menatap tas-tas yang siap dipanggul dengan pikiran nelangsa. Mamak yang duduk di atas sofa, hanya menangis tak berhenti.
Mereka mulai pamit, ketika itu Mamak seperti sehat sedia kala.
"Belum sampai seminggu, kelen sudah pergi lagi. Kelen nggak sudikah merawat Mamak yang sudah bau tanah?" tanya Mamak sambil terisak.
Ada yang merintih dalam dadaku, sakit seperti diremas-remas. Mamak berkata lembut, tapi menyayat sungguh dalam.
"Ada Galih di sini, Mak." Aku mendekati Mamak.
"Kasihan kau, Nakku. Sendirian merawat Mamak. Maaf kalau Mamak merepotkan, jadi beban bagi kelen kakak beradik."
Hingga orang-orang itu hilang dari pandangan, Mamak masih duduk dekat jendela. Melihat jauh sejauh-jauhnya, sedih begitu kentara di mata Mamak.
"Lih, kalau Mamak sudah sampai waktunya, tak perlu kau kasih tau abang-abang kau. Tak palalah mereka repot-repot pulang. Kebumikan saja Mamak segera ya, Nak."
Tuhan, ampuni aku ini yang berdosa.
"Mak, lusa Galih juga balik ke Riau agak dua hari. Selepas itu Galih bawa Halimah dan Samudera ke sini. Biar bisa menjaga Mamak. Boleh?"
"Iya, Nak ... Mamak pun rindu dengan cucu Mamak."
Masih dengan mata sendu, Mamak keluar. Kuperhatikan dari jendela, Mamak pergi ke samping rumah. Tak lama muncul lagi membawa ranting pohon jambu biji.
"Ntah kemanalah mereka nggak pulang-pulang, hampir Magrib masih juga melalak." Mamak berdiri di depan pagar, berkacak pinggang sambil mengomel.
"Wati ... Wati ... ada kau tengok anak-anakku, ntah kemana mereka pergi melalak. Jam segini belum juga pulang, heran aku!" Mamak terus bicara.
Saat bersamaan, Marta lewat. Masih dapat kudengar obrolan mereka.
"Adoi, ibu Menteri Kesehatan lagi kunjungan rupanya."
Marta terlihat bingung sejenak, "Oi Mamak Galih, sedang apa rupanya?"
"Lagi cari anak-anak, ntah kemana mereka. Belum mandi loh. Ibuk kok sendiri, kemana ajudan?"
"Itu, itu ... Lagi pingin jalan-jalan ajanya, Mak." Marta gelagapan.
Aku susul Mamak, menuntunnya pulang. Sambil terus mengomel mencari anak-anak yang tak pulang.
Iya, Mak ... anak Mamak yang tiga lagi entah masih ingat jalan pulang ntah tidak.

Bình Luận Sách (182)

  • avatar
    Amarilis

    cerita yang sangat menggugah hati dan juga bagus. Semangat thor

    22/04/2022

      0
  • avatar
    LaiaDewimanis

    sangat terharu dgn ceritanya mama... maafkan aku dgn sikap aku selama ini 😌🙏

    23d

      0
  • avatar
    salamzulfa

    bagus sekali

    28d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất