logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bagian 3

"Nggak sanggup aku rasanya tengok Mamak begini," lirih Bang Danang dengan suara bergetar.
'Aku pun nggak, selama ini kelen beralasan macam-macam kalau disuruh pulang sama Wak Wati. Aku terus kelen desak pulang dengan dalih akulah yang paling dekat dengan kampung.' Dalam hati aku menjawab.
Mengikuti langkah gontai Mamak, kami masuk ke rumah. Aku memilih duduk di dekat beranda, bermenung menopang dagu. Dalam kepalaku banyak 'andai' berkejaran.
Andai kuboyong anak istriku ke sini. Andai finansialku sudah sebaik abang-abangku, minimal stabillah. Andai kami berempat seiya-sekata seperti harapan Mamak. Andai ... andai ... andai.
"Abang usahakanlah pulang sekali dua bulan minimal, Bang. Nggak kasihan kau tengok Mamak kita?" Aku memberanikan diri bicara pada Bang Anton.
Sebagai sulung, kami memang banyak bertumpu padanya. Dia yang paling tua, tentu diharapkan lebih bijak memutuskan perkara.
"Ngomong mudah, Lih. Kakak kau kan bidan, ASN pula. Kek mana pindah-pindah seenaknya. Belum lagi anak-anak yang sekolah, kau pikir gampang urus surat pindah?"
Dalam pikiranku, justru karena istri Bang Anton bidan makanya lebih baik. Dia punya keterampilan mumpuni untuk merawat Mamak. Aku yang awam berpendapat demikian.
"Kau gimana?" Bang Hendar bicara pada Bang Danang.
Di waktu bersamaan, Mamak muncul dari dapur. Terdengar gema orang mengaji dari surau tidak jauh dari rumah.
"Asyik begomak, macam betina! Cepatlah ambil wudhu, nggak Subuhan kelen?"
"Subuh? Ini mau masuk Magrib, Mak?" Bang Danang menjawab dengan suara rendah.
"Ada terus jawaban kau kalau disuruh sembahyang. Eh, dengar Mamak baik-baik, nggak ada penolong kelen nanti selain salat lima waktu ini. Mau sebanyak apa pun sedekah, mau beratus kali pun naik haji, tapi kelen nggak salat, sia-sia ibadah itu semua!" Mamak menegaskan.
"Iyakan aja, we!" Aku mendelik ke arah Bang Danang.
Dari tempat kami duduk, terlihat kalau Mamak mengaji di kamar. Lamat-lamat terdengar lantunan ayat suci. Syukurlah, Mamak tidak lupa cara membaca huruf dalam Al-Qur'an.
"Kek mana, Nang. Bisa kau balek minimal sekali tiga bukanlah tengok Mamak." Bang Hendar mengulang pertanyaannya.
"Bah, bukan maksud aku nggak mau. Kau tahulah Surabaya itu jauh, bisa kau taksir berapa biaya untuk aku pulang dengan Siska. Terus satu lagi, Siska kerja di bank Senin sampai Jumat, kadang hari libur tanggal merah pun tetap kerja." Bang Danang memaparkan alasannya.
"Kalau Abang?" Kutujukan pada Bang Hendar.
"Dek, Abang ini apalah. Cuma guru, PNS golongan rendah. Lain dengan Bang Anton yang pengusaha. Danang pun begitu, dia pengacara. Sekali dapat klien, ratusan juta cair. Sementara Abang kau ini apa, Dek? Gaji sebulan Abang nggak sampai tiga juta. Kek mana mau pulang sering-sering."
Bang Hendar menghela napas, menatap aneh padaku. "Belum lagi anak-anak dan istri Abang."
"Jadi nggak ada antara kelen bertiga yang mau jagai Mamak. Biar aku! Aku yang pekerjaannya nggak jelas, untuk makan aja susah, siap jaga Mamak." Sungguh aku terpancing dengan sikap abang-abangku ini.
"Kau, Bang!" Aku tunjuk wajah Bang Anton, "Kurasa kau yang paling mapan. Grosir milik kau di mana-mana, istri Abang juga pegawai. Abang Hendar pun, sudah ada gaji tetap dengan istri Abang. Apalagi kau Bang Danang, melihat kehidupan kau di sosial media ....
Aku, aku si Galih yang paling miskin kata Wak Wati. Aku yang selalu mengalah sama kelen semua.
Kau dengar apa dibilang Mamak kemarin sewaktu kita disuruh tidur? Jaga hubungan darah yang pekat, apa? Mana? Penting urusan dunia di banding ngurus surga?"
Tak dapat kutahan gelegar emosi yang menggejolak. Aku berdiri dan menyendiri ke pinggir pasar. Sakit hati rasanya melihat mereka bertiga.
Mamak itu nggak butuh uang. Mamak cuma butuh anak-anaknya ada dekat dia. Melihat anak-anak akur dan saling bahu membahu, saling merangkul. Entah, uang memang merubah sifat seseorang.
"Galih?" Seseorang menegur dari kejauhan. Perempuan berjas putih, senja begini? Mendadak meremang kudukku.
Kian dekat, kian dekat, ah rupanya.
"Astaga, Marta. Kukira siapa. Dari mana senja begini?" Rupanya Marta, teman sekolahku dulu.
Kalau kutengok dari penampilan, sepertinya Marta seorang bidan.
"Dari pajak, Lih. Kapan pulang?"
"Kemarin, abangku ada semua, mampir dulu." Kutawarkan padanya.
"Jangan dulu, Lih. Udah senja. Oh ya, bisa kau dengan Abang kau nanti ke rumah. Tentang Mamak kau ...."
"Mamak kami?"
"Iya, aku turut memantau Mamak kau setiap hari. Tugas aku sebagai bidan desa di sini, Lih. Tak banyak yang dapat kubantu, kita tinggal di kota kecil begini. Banyak hal yang membatasi kita." Marta berkata serius.
Angin agak segar dapat kurasakan. Selain Wak Wati, ada Marta yang akan memberikan informasi mengenai demensia Mamak. Setidaknya, dari sudut pandang medis boleh jadi untuk referensi tindakan kami berikutnya.
Selepas kepergian Marta, aku beranjak memberitahu tiga orang tak berotak tadi, aku masih marah pada mereka. Ntah apa-apa dalam kepalanya.
Baru saja kulangkahkan kaki memasuki rumah, disambut pemandangan memilukan. Mamak duduk di atas kursi, sementara abangku semuanya duduk di lantai berjejer.
"Duduk kau, melalak sampai tengah malam, mau jadi apa?" seru Mamak melihat aku datang.
Akhirnya aku duduk dekat Bang Hendar. Kuurungkan niat untuk mengajak mereka ke rumah Marta.
"Dengar Mamak baik-baik ya, Nakku. Terutama kau Anton, kau anak sulung tumpuan harapan Mamak dan Bapak. Kau tampuk utama seandainya Mamak dan Bapak nanti tak ada. Bila terjadi benang kusut dalam keluarga ini, tugas kau sebagai kakak untuk mengurainya.
Bila kami tua nanti, terus kalian hidup jauh merantau. Pulanglah sesekali, tengok rumah kita.
Mamak nggak pernah ajari kelen untuk jadi orang lupa diri. Ingat dan patrikan dalam hati asal muasal diri kelen itu dari mana.
Sejauh-jauhnya terbang burung bangau, pulangnya tetap ke kubangan jua. Itulah perumpamaan, seandainya nanti kelen dibawa takdir untuk merantau. Jangan lupakan tanah kelahiran sekalipun tak ada mamak dan bapak lagi di sini. Minimal datanglah mengusap batu nisan kami sembari membaca alfatihah. Itu saja."
Mamak menatap ke arahku, "Sini kau, Nak."
Mamak mengusap kepalaku, dalam pikiran Mamak, aku adalah Galih berusia sembilan tahun. Mamak menelisik tiap jengkal kepalaku mencari kutu.
"Kau Galih, jangan main tempat kawan yang ada kutu. Hajab kali tiap hari mesti Mamak potekkan kerbau-kerbau kecil itu dari kepala kau!"
"Kita ini tak ada artinya hidup kalau hubungan darah yang pekat harus rusak hanya karena urusan dunia. Kalian beradik kakak jagalah hubungan itu. Bila Mamak dan Bapak tidak lagi ada, jangan sampai putus pula silaturahim antara kalian.
Entah bagaimana kehidupan kelen di masa depan. Bersyukur banyak-banyak jika dilimpahkan rezeki oleh Tuhan. Kelak, bila salah satu di antara kelen kesusahan, maka yang sedang lapang hidupnya, bantulah. Ulurkan tangan. Siapalah lagi yang akan membantu kalau bukan saudara sendiri?"
Aku tertohok begitu dalam mendengarkan kalimat Mamak. Yang paling terpuruk adalah aku, Galih si miskin. Sayang, tak satupun uluran tangan itu datang. Tak palalah itu kuungkit, mungkin maksud Abang-abangku nggak kasih bantuan dengan tujuan agar aku belajar mandiri. Belajar melepaskan jerat sendiri.
"Nakku, semisal nanti Mamak tua, terus Mamak sakit-sakitan, siapa yang sudi merawat Mamak?"
Kami saling bertatapan, lidah rasanya kelu.
"Bagi orang tua yang sudah dekat ke penghujung waktu mereka, bukan lagi uang yang diharapkan. Tidak perlu dibawa ke rumah sakit mewah. Tidak perlu dicarikan obat mahal.
Cukup temani, obati rasa rindunya. Itulah penawar yang mujarab."
Ya Allah, Ya Allah. Betapa selama ini mamak tersiksa sendiri. Tiap kali teringat anak-anak, tapi tak satu pun datang. Astaghfirullah.
Mamak berdiri, kemudian salat lagi. Sekali sujud langsung salam. Lantas, tidur begitu saja dengan mukena di atas sajadah. Menjadi-jadi luka hati yang terasa.
"Aku ketemu Marta tadi, dia bidan di sini. Teman sekolahku dulu." Agak berbisik kukatakan.
"Eh kelen dengar yang dibilang Mamak, Mamak itu maunya kita di sini, paham?" Bang Hendar memberi kesimpulan.
"Itu kau tahu, Bang ... Aku kalau mau pindah, gampang. Istriku cuma ibu rumah tangga. Rumah masih mengontrak. Bengkel pun masih mengontrak. Alat-alat bengkel bisa kujual. Anakku bisa pindah sekolah.
Tak payah kalau untuk pindah. Tinggal nanti pusing untuk hidup di sini bagaimana. Mau buka usaha apa.
Masalahnya, anak Mamak bukan aku ajanya. Ada Anton, ada Hendar, ada Danang. Kok cuma aku yang harus rawat Mamak?"
"Jadi kau keberatan merawat Mamak kita?" sentak Bang Danang.
"Ngapa pula Abang nge-gass. Kurang ngalah apa aku selama ini, we. Jangan mentang-mentang aku bungsu, aku paling tidak punya, kelen diskriminasi aku!"
"Ngomong apa kau?" Bang Anton menampar pipiku.
"Tugas merawat Mamak itu bukan tugas aku sendiri, paham nggak?" Aku nyaris berteriak.
Bang Danang menarik kerah bajuku. Hampir ditumbuknya. Beruntung dilerai Bang Hendar.
"Apalah ini, we. Kau Galih, bukan kami nggak mau merawat Mamak. Patutnya kau paham, Abang kau terikat pekerjaan semua." Kupikir Bang Hendar menengahi, rupanya ....
"Jadi kelen pikir cuma kelen yang punya kehidupan, aku nggak? Kek gitu?"
Sapu yang sering di bawa Mamak, mendarat ke pahaku. Pecutan itu kami terima masing-masing. Entah sejak kapan Mamak berada di dekat kami.
"Agak sehari nggak bisa kelen akur? Nggak malu dilihat orang, hari-hari berkelahi, bergulat, macam nggak diajar tatakrama.
Kau pula, Danang! Mentang-mentang badan kau paling sumo. Enak kau tarik-tarik kerah baju Galih. Otak kau kopong!"
Meringis-ringis kami minta ampun.
"Ikut Mamak sini, Galih."
Kuikuti Mamak ke kamar. Duduk di lantai, memegang lutut Mamak yang menjuntai dari dipan.
"Nakku, sibungsu kebanggan Mamak. Mamak tahu kehidupan kau sulit. Kau susah untuk menyambung hidup di rantau, tapi kau pula yang paling berusaha untuk pulang." Mamak berurai air mata.
Tunggu, apa ingatan Mamak sudah normal.
"Abang-abang kau itu sudah enak hidupnya, pantas dia lupa pulang. Lagian untuk apa dia kemari tengok orang tua bangka nggak berguna seperti Mamak.
Tiap senja, Mamak duduk di depan. Terdengar motor lewat, was-was juga hati Mamak berharap itu salah satu dari kelen yang pulang.
Mamak itu nggak perlu kelen bawakan uang, nggak perlu bawakan oleh-oleh. Kita kumpul di rumah ini, itu ajanya, Nak."
Ya Allah, Mamak sehat. Allahuakbar. Mamak sudah paham bahwa kami sudah tua-tua semua. Sebak mendesak menjadi air mata.
"Bang, Mamak sudah ingat kita." Aku berseru, sontak ketiganya masuk ke kamar Mamak.
"Mamak nggak mau merepotkan kelen, Nak. Kalau memang tak mampu merawat Mamak tak masalah, tapi jangan saling lempar bola. Mamak dulu tak pilih-pilih membesarkan kelen." Suara Mamak semakin hilang ke ujung, tenggelam oleh isak tangis. "Seperti peribahasa, satu induk mampu membesarkan sepuluh anak, namun sepuluh anak belum tentu mampu merawat satu induknya."
Benarkah ingatan Mamak sudah pulih. Mukjizat kah yang terjadi? Kami saling melirik, membawa duga masing-masing.
"Anton, jangan lupa kunci pintu ya. Bapak mungkin terlambat pulang, ada rapat di surau. Kau Danang, kencing dulu baru tidur. Sudah patut jadi bapak orang, masih aja kencing di kasur.
Mamak mau tidur dulu. Jangan lupa baca doa sebelum tidur. Kelen yang nggak baca doa, siap-siap dijemput begu."
Mamak rebah, dan terlelap. Lagi-lagi aku terhenyak, pikiran Mamak bolak-balik tidak menentu. Aku pikir, Mamak sudah pulih, ternyata salah.
"Aku mau ke Marta." Kulirik jam dinding, masih pukul delapan, masih pantas untuk bertamu.
Aku dan Bang Anton pergi ke rumah Marta. Si tengah Hendar dan Danang menunggui Mamak di rumah.
Rupanya Marta sudah menunggu kedatanganku. Dia langsung semringah melihat kami datang. Bagus rumah Marta, seperti rumah orang perkotaan.
"Bang Anton makin tua makin gagah," godanya berseloroh.
"Ah kau bisa saja, Marta. Mana suami kau?"
"Lagi dinas dia, Bang."
"Oh kerja apa?"
"Tentara dia, Bang."
"Oh, baguslah."
Kaku sekali basa-basi orang ini. Rasanya ingin kutampol muka abangku. Lemah kali ketemu perempuan.
"Jadi mengenai Wak Marsiyah, Mamak Abang dan Galih, beliau bukan pikun. Demensia itu bukan pikun. Pikun identik dengan lupa, kalau demensia itu kebalik-balik. Senja dikatakan Subuh, baju dikatakan celana. Jendela disangkanya pintu. Kek gitu."
Aku menyimak takzim penjelasan dari Marta.
"Apa penyebab Demensia itu, Marta?" Aku mulai mengulik informasi.
"Banyak hal. Kurang istirahat, kurang asupan gizi, tekanan batin dan perasaan, himpitan pikiran, dan banyak lagi. Maaf ini untuk kukatakan, Wak Marsiyah terkena demensia salah satu penyebabnya adalah kerinduan pada anak-anak. Himpitan pikiran yang berlarut-larut.
Awalnya, gejala demensia itu aku kenali ketika sama-sama belanja di kedai. Uwak bersikeras yang dia beli adalah gula, padahal yang beliau pegang adalah minyak.
Kejadian-kejadian berikutnya, salah rakaat dan waktu salat. Mengenai ini, Wak Wati yang melapor. Makin lama, makin sering tertukar."
"Allah, kek mana lagi ngobatin orang demensia ini, Marta?" Bang Anton yang bertanya kali ini.
"Tidak ada obatnya secara medis, hanya berupa terapi. Satu tingkat di atas demensia adalah alzheimer. Di mana, penderita alzheimer sama sekali tidak ingat apa pun, bahkan dirinya sendiri.
Orang demensia tidak terlihat seperti orang sedang sakit, loh. Mereka tetap bisa beraktivitas seperti orang sehat."
"Lalu kek mana baiknya, Marta?" Abangku makin bingung.
"Wak Marsiyah terjebak dalam ingatannya ketika Abang adik beradik masih remaja. Obatnya hanyalah temani beliau. Pulang ke sini, Bang. Ajak keluarga Abang ke sini. Apa yang dimau Uwak, ikuti.
Jangan egois lagi, Mamak Abang butuh kelen anak-anaknya. Demi nama bapa, pulanglah ke kampung kita ini. Bagaimanapun caranya."
Marta bersumpah sesuai keyakinannya. Kalau bukan karena malu, aku rasanya mau menangis saja. Rupanya obat Mamak itu ya kami, anak-anak beliau.
"Pikirkan baik-baik sebelum terlambat. Menyesal kemudian tiada berguna Bang, Lih. Jangan egois, tolonglah Mamak Abang itu."
Luruh tangis si Marta, aku pun.
"Kek manalah caranya?" Bang Anton meremas kepalanya.
'Bukan kek mana, kek mana. Mamak sudah bilang kalau Abang tumpuan harapan. Abang anak sulung harus bijak mengambil putusan, apa? Mana kebijaksanaan itu?' Aku mengomel dalam hati. Takut ditumbuk betulan kalau kubilang keras-keras.
Kesimpulan sementara, memang tak ada obat buat Mamak kami. Dahlah.
* Tengok : lihat
Begomak : bergosip
Kek mana : Bagaimana, gimana.
Pasar : Jalan
Pajak : Pasar
Kopong : kosong

Bình Luận Sách (182)

  • avatar
    Amarilis

    cerita yang sangat menggugah hati dan juga bagus. Semangat thor

    22/04/2022

      0
  • avatar
    LaiaDewimanis

    sangat terharu dgn ceritanya mama... maafkan aku dgn sikap aku selama ini 😌🙏

    23d

      0
  • avatar
    salamzulfa

    bagus sekali

    28d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất