logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bagian 2

"Mamak nggak perlu baju bagus, nggak perlu bolak-balik umroh. Cukup kelen kumpul di rumah ini, kumpul dekat Mamak. Buat Mamak repot lagi macam biasanya, itu ajanya. Bahagia Mamak bisa tengok muka kelen, bisa cubit kelen, bisa marah sama kelen. Bahagia Mamak cuma sebatas kita selalu bersama. Kalau nanti Mamak sudah nggak ada, kelen jaga hubungan adik-beradik. Jangan sampai putus pertalian darah yang pekat. Saling menjaga, saling mengingatkan, saling menguatkan."
Beraungan, seperti anak kecil kena pecut berempat beradik. Sesal menjejal-jejal dalam hatiku.
Mengapa lebaran kemarin aku tak pulang. Mengapa liburan semester kemarin tak kubawa anak dan istriku balik kampung. Barangkali sama isi kepala abang-abangku ini semua, melihat dari cara mereka menangis di lutut Mamak.
Tiba-tiba Mamak berdiri
"Sudah Mamak bilang, jangan kelen kelahi terus. Jangan gulat ajanya kerjaan kelen. Mengaku nggak siapa yang mulai?!" sentak Mamak.
Saking kagetnya, Bang Hendar sampai terjengkang. Mamak pun pergi ambil sapu lidi.
"Mau kupukul kalian pakai rotan ini?" ancam Mamak mengayunkan sapu pada kami.
Ya Allah, sapu disangka rotan sama Mamak. Semakin teriris-iris hatiku ini. Parah betul penyakit yang diderita Mamak.
Masih di waktu yang sama, Mamak berbalik badan meninggalkan kami. Seperti orang linglung menuju dapur terus ke kamar mandi. Tidak lama, balik lagi ke kamar.
Mamak mengenakan mukena terus melaksanakan salat, padahal masih pukul sebelas. Selesai sujud satu kali, beliau langsung salam.
Ya Allah, Ya Allah, separah ini demensia yang menggerogoti Mamak kami. Orang yang tak paham pasti mengira Mamak kami sudah gila.
Lirih terdengar isakan, tangan tertengadah di balik mukena lusuh, padahal ada mukena baru dibawakan Bang Anton. Beliau angkat hingga sejajar dengan dada.
Lamat-lamat terdengar, "Ya Allah Ya Tuhanku Yang Maha Kaya, aku rindu kali dengan anak-anakku. Hendaklah melunak hati mereka untuk pulang sebentar. Ntah di mana mereka sekarang, Ya Allah."
Kemudian Mamak tertidur begitu saja di atas sajadah.
Gemuruh rasa bersalah berdentam dalam dadaku. Artinya Mamak antara kenal dan tidak dengan kami ini. Allahuakbar, bagaimana caranya agar Mamak bisa pulih lagi.
"Demensia tak ada obatnya, Dek. Cuma bisa diterapi agar tak semakin parah." Terngiang dalam kepalaku ucapan dokter, ketika kemarin sebelum kami bawa Mamak pulang.
"Bang, kita ke Wak Wati sebaiknya." Tercetus ide dalam kepalaku.
"Buat apa pula?" jawab Bang Danang sekenanya.
"Buat tanya-tanyalah, otak kau kopong! Dah tahu Wak Wati yang rawat Mamak, masih nanya pula." Bang Anton menjawab sengit.
"Kau pun ngapa ngegass, Bang?" Bang Hendar tak mau kalah.
Aku hanya geleng-geleng melihat kelakuan mereka. Pantas Mamak bilang begitu ketika menyuruh kami tidur, "jaga hubungan kakak beradik." Melihat ini, agak ragu rasanya akan terwujud.
"Ribut terus! Sampai terbelah-belah dunia ini, kelahi ajalah isi otak kelen."
Astaghfirullah, sejak kapan Mamak berdiri di pintu kamar? Kami terperanjat bersamaan. Balas tatap-tatapan heran empat bersaudara.
"Mak, kami ke Wak Wati bentar," ucap Bang Anton.
"Ya, jangan kau curi lagi mangga Wak kau itu. Tahu malulah sedikit. Dengar kau?"
"Iya, Mak."
Bergiliran kami berdiri, menciumi tangan Mamak. Kulihat Mamak yang duduk di sofa dengan wajah yang tenang. Bukan, wajah yang datar. Pandangan Mamak kosong sekali.
Wak Wati satu-satunya saudara Mamak. Ada satu lagi, kakak dari Mamak, Wak Ida. Dua tahun yang lalu Wak Ida meninggal dunia di Pangkal Pinang tempat anak beliau. Dikebumikan di sana, kami tak sempat bertemu untuk terakhir kalinya.
***
"Kek mana awalnya Mamak kami bisa begini, Wak?" Bang Anton sebagai sulung, mewakili untuk bertanya.
"Kalian jantan empat kakak beradik memang nggak guna. Hidup sudah mapan, nggak ingat kelen sama orang tua!"
Omelan itu terasa kali menampar bolak-balik. Bukan kami tak ingat orang tua. Kondisi kehidupan rantau yang membuat jarak semakin terasa jauh. Terutama bagiku.
Mungkin kalau bagi abang-abangku, perkara tiket pesawat bukan hal sulit. Aku, meskipun jarak Riau-Sidikalang itu tak begitu jauh, bahkan bisa dibilang akulah yang paling dekat rantaunya. Kenyataan yang terjadi, aku yang paling sulit untuk mudik.
Kendaraan sendiri tak punya. Jika pulang kampung ya naik kendaraan umum atau merental mobil orang. Sementara usaha bengkel, ibaratnya rezeki harimau kata orang. Itu pun masih merintis. Lain dengan abang-abangku yang terbilang sudah merdeka secara finansial.
"Coba diingat lagi ya, Nton. Berapa tahun kelen nggak pulang? Berapa kali lebaran kelen nggak mudik. Sampai Bapak kalian berpulang, cuma Galih yang datang. Kau Hendar, Danang, Anton, di mana nurani sebagai anak?"
"Bukan kek gitu, Wak. Nggak seperti dalam pikiran Wak Wati itulah. Nggak ada pun kami hendak mendurhakai orang tua. Masalahnya jarak jauh butuh biaya nggak sedikit," bantah Bang Danang.
"Kau pikir Galih banyak uang? Naik bus dia ke sini loh, we. Bawa badan semata dengan anak istri. Demi tengok wajah Bapak kelen untuk terakhir kalinya!" Wak Wati meradang.
Ya, bukan aku menjelek-jelekkan perangai abang-abangku ini. Aku pun paham mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mereka punya dunia dan kehidupan yang menyita waktu. Namun, ketika Bapak meninggal, kekecewaanku semakin berlarut-larut pada mereka.
"Dahlah, Wak ... yang sudah berlalu itu tak palalah dibahas lagi. Sekarang yang terpenting adalah kek mana Mamak kami ini ke depannya." Aku yang dari tadi banyak diam, mencoba menengahi.
Kurasa, tak perlu berdebat dan berbual hal-hal yang sudah berlalu. Bukankah Mamak ingin kami tetap rukun, tanpa saling sikut-sikutan satu sama lain. Mamak butuh dukungan penuh untuk sembuh, meski itu sulit untuk diwujudkan.
"Awalnya Mamak kelen itu salah-salah rakaat salat. Semasa itu Bapak kelen masih hidup, suatu senja beliau ke sini. Bilang ke kami kalau Mamak kelen salat Magrib dua rakaat dan ngotot itu salat Subuh.
Semakin hari, semakin sering tertukar rakaat dan waktu salat. Lalu, bapak kelen meninggal. Kondisi kesehatan Mamak kelen kian menurun. Sering aku sampaikan lewat telepon sama kau kan, Anton ... apa jawab kau? Aku sibuk, Wak. Belum dapat cuti, Wak. Beribu alasan.
Kau pun Hendar, Danang, sama. Tiap kali kusuruh pulang, beragam macam alasan. Cuma Galih yang pulang, terakhir ketika bapak kelen meninggal. Dia paling miskin antara kelen, tapi dia yang paling punya perasaan.
Tanda-tanda pikun Mamak kelen itu makin nyata setengah tahun ke belakang ini. Tiap sore teriak-teriak manggil nama Anton, Hendar, Danang, Galih. Kadang-kadang sambil bawa ranting pohon jalan-jalan keliling.
Teriak nyari anak-anak keliling kampung, dikiranya kelen masih main paret. Orang sekampung mengira Mamak kau itu pesong, dikatanya gila, Nton. Orang di sini nggak paham itu demensia, apa itu kekacauan ingatan." Wak Wati menyeka sudut matanya.
"Aku nggak punya anak, tapi bisa paham perasaan Mamak kelen. Kalau senja tiba, dia duduk depan rumah. Seperti menunggu kelen akan muncul dari ujung jalan.
Tiap aku tanya, 'kenapa duduk dekat sini, Kak?' dia akan jawab, 'Manalah anak-anakku ya, Wati. Tak satupun dari empat anakku hendak tengok kami ke mari.' Terbayang betapa beratnya rasa rindu sama anak-anak.
Sementara kelen bisa tidur nyenyak di rantau bersama keluarga kelen, ada bapak dan mamak di kampung yang membawa tangis dalam pembaringan tidurnya."
Dua hari kami di rumah, benar seperti yang dikatakan Wak Wati. Mamak itu seperti terkurung pada kenangan masa lalunya. Terjebak pada memori ketika kami masih kecil-kecil.
Sesal kemudian tak berguna kata orang, terjadilah itu padaku. Andai dari awal menikah kuajak Halimah--istriku--tinggal di sini, barangkali Mamak tidak akan sakit separah ini. Apa yang lebih menyakitkan daripada rindu yang tak tertebus? Kurasa tak ada.
"Mamak kelen!"
Sontak kami menoleh ke arah rumah. Mamak berjalan tergopoh-gopoh membawa ranting pohon jambu biji. Sekilas tak ada kelihatan seperti orang sakit, di usia yang sudah 63 tahun, Mamak masih segar secara fisik.
"Siap-siap kena repet." Bang Danang mendesis.
"Mana mereka, Wati?" seru Mamak dari halaman. Rumah panggung Wak Wati cukup tinggi tangganya.
"Pulang oii, Nakku." Mamak berkacak pinggang di pintu. "Matahari hampir tenggelam, kelen asyik melalak juga. Mau kelen ini diculik begu, ha? Tak ada kesadaran diri pergi mengaji ke surau?" omel Mamak. "Mengaji ke surau, Nak. Siapa lagi yang tolong Mamak sama Bapak nanti kalau bukan Kelen!"
Nyaris serempak kami berdiri, menuruni tangga dengan linangan air mata.
"Mesti Mamak halau pakai pecut baru kelen pulang. Nggak sekalian kelen tidur di luar, nggak usah pulang. Asyik bekubang di paret, sampai nggak ingat waktu."
"Kau dulu paling sering kena begini kan, Ndar?" goda Bang Anton berbisik.
"Eh bukanlah, Galih itu langganan tiap Magrib kena jemput sama Mamak." Bang Hendar balik berbisik.
"Jangan nuduh-nuduh, We. Bukannya Bang Danang yang pulang basah kuyup habis mandi-mandi di sungai. Sampai di rumah kena hukum sama Bapak."
"Jangan mengarang cerita pulak!" bantah Bang Danang.
Mataku mengembun. Kenangan itu berloncatan dalam benakku. Masa-masa di mana ujian terberat yang kurasakan hanyalah bagaimana caranya agar lolos dari omelan Mamak.
"Mandi cepat ya, Nakku. Habis itu pergi ke surau, mengaji. Mamak sudah masak barusan. Balek dari surau kita makan, Bapak sudah ke masjid duluan. Kelen susullah.
Jangan lupa gosok kaki-kaki itu semua pakai gundar kain! Jangan pulak berantam di kamar mandi ya! Kau Danang, jangan kau jahili lagi adik kau Galih. Cepat mandinya, bentar lagi orang azan."
Mamak naik duluan ke rumah, kami masih tercenung di halaman. Wajarlah orang-orang beranggapan Mamak sudah tak waras. Ingatan Mamak terbolak-balik tidak menentu.
Ashar pun belum masuk, tapi Mamak bilang salat Magrib. Ya Allah, bagaimana memulihkan kondisi Mamak?
"Nggak sanggup aku rasanya tengok Mamak begini," lirih Bang Danang dengan suara bergetar.
'Aku pun nggak, selama ini kelen beralasan macam-macam kalau disuruh pulang sama Wak Wati. Aku terus kelen desak pulang dengan dalih akulah yang paling dekat dengan kampung.' Dalam hati aku menjawab.
Tbc
* Melalak : bermain keluar rumah
Begu : hantu

Bình Luận Sách (182)

  • avatar
    Amarilis

    cerita yang sangat menggugah hati dan juga bagus. Semangat thor

    22/04/2022

      0
  • avatar
    LaiaDewimanis

    sangat terharu dgn ceritanya mama... maafkan aku dgn sikap aku selama ini 😌🙏

    24d

      0
  • avatar
    salamzulfa

    bagus sekali

    29d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất