logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

MAAFKAN KAMI, MAK

MAAFKAN KAMI, MAK

Pistachio


Bagian 1

"Galih, Danang, Hendar, Anton, cepatlah! Kok lamban kali?!"
Terngiang suara Mamak memerintah kami untuk duduk berderetan. Seruan itu merupakan komando untuk kami turuti. Mamak yang selalu teriak-teriak kalau kami empat kakak beradik sudah gulat tanpa wasit.
Kini Mamak terbaring lemah di atas ranjang, Demensia merenggut kegarangan Mamak. Seluruh ingatan Mamak hilang tak berbekas.
Awalnya Mamak sering salah menghubungi nomor telepon kami. Mamak menekan nomor Hendar, padahal yang mau dihubungi adalah Galih. Acap betul tertukar, dan itu hampir tiap kali menelpon.
Lalu, Bapak kami dipanggil oleh sang pemilik alam semesta. Sekaligus menjadi pencetus pikun berat yang menyerang Mamak saat ini. Penyakit lupa yang berlarut-larut dan semakin akut
Aku, Galih. Anak Mamak paling bungsu. Di atas ada Abangku Danang. Di atas Bang Danang ada Bang Hendar, sedangkan Bang Anton adalah anak sulung Mamak.
Nasib membawa kami jauh dari tanah kelahiran. Aku merantau ke Riau, Bang Danang merantau ke Surabaya. Bang Anton dan Bang Hendar merantau ke Aceh.
Tinggallah sendiri Mamak kami di Sidikalang. Bukan kami menelantarkan Mamak. Hendak kami bawa, tapi beliau selalu menolak. "Tak palalah rasanya meninggalkan nisan bapak kalian, betapa sedihnya ruh jika Mamak tak di sini." Begitu penolakan beliau tiap kali kami jemput.
Hari itu, Mamak pingsan ditemukan Wak Wati. Adik beliau yang tinggal bersebelahan rumah, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Kabar buruk itu sontak menyerikan dada kami yang jauh di rantau.
Kami putuskan untuk pulang semua, empat beradik. Anak dan istri masing-masing, sementara tinggallah dulu di rantau. Bukan karena apa-apa, kata Bang Anton baiknya kita dulu melihat kondisi Mamak.
Barangkali jika kami berkumpul, bisa membantu mengembalikan memori ingatan Mamak.
🍁
"Mak." Bang Anton meraba tangan keriput Mamak yang terpasang infus. Mamak masih bingung dan tidak mengenali kami. Alisnya mengernyit berkali-kali.
Kutengok Bang Danang sudah tersedu. Ah abangku itu ... padahal dia paling sumo badannya, tapi paling mudah bercucuran air mata. "Kau cengeng macam betina! Percuma badan kau sebesar kerbau!" Mamak selalu mengomeli Bang Danang dengan kata-kata itu, dulu.
Lain dengan Bang Hendar, dia tegas, keras, berwibawa. Tapi sekalinya menangis, macam anak kecil kena rampas mainan, meraung sejadi-jadinya. Bang Hendar kalau menangis, macam motor blong rem, susah stop-nya. "Jangan sampai kucabut bola mata kau nanti, Hendar. Berhenti kau meratap!" bentak Mamak kalau Bang Hendar berulah.
"Kita pulang ke rumah, nggak enak kali bau ruangan ini, di mana aku ini, we?" ucap Mamak memohon.
Setelah kami berbincang cukup lama dengan dokter, akhirnya Mamak diizinkan pulang.
Demensia itu pikun. Kelompok gejala pemikiran dan sosial yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
Demensia bukan penyakit spesifik, tetapi merupakan sekelompok kondisi yang ditandai dengan penurunan setidaknya dua fungsi otak, seperti hilangnya memori dan kemampuan menilai.
Sampailah kami di rumah sederhana yang telah direnovasi menjadi lebih baik, tempat dulu darah tertumpah. Istana tempat kami dulu melukis mimpi dan harapan. Saksi atas juang dan usaha Mamak dan Bapak membesarkan empat anak lelaki yang jogal (nakal).
***
Pagi ini rupanya Mamak telah selesai masak nasi goreng bawang. Dulu, ini makanan favorit kami berempat. Ditambah dengan irisan mentimun.
"Galih, Danang, Hendar, Anton, cepatlah! Kok lamban kali?!" seru Mamak, persis seperti dulu.
Buru-buru kami empat lelaki beradik kakak duduk rapi berderet. Lalu Mamak menyuapi kami nasi goreng satu persatu. Bolamata terasa hangat, entah tahun berapa terakhir kami merasakan disuapi Mamak begini.
"Buruan kau telan, dihabiskan Danang nanti tahu rasa kau. Dikunyah baik-baik!" bentak Mamak padaku.
"Jangan kau gigit pulak tanganku!Ntah apa-apa pun ah kau ini," rintih Mamak saat menyuapi Bang Anton.
"Kunyah dulu, baru kau telan. Mau mati kecekek kau?!" bentak Mamak saat menyuapi Bang Hendar.
"Kau mau makan apa mau nangis? Biasanya kau paling rakus, udah syukur kita bisa makan ini! Jangan sekali-kali pilih-pilih makanan, dengar kalian semua, we!" hardik Mamak, tepat saat mau menyuapi Bang Danang.
Bergiliran, sampai nasi goreng satu nampan itu ludes kami makan. Mata terasa makin panas menahan tangis.
Separah ini ternyata kepikunan yang diderita Mamak. Sampai kami dikira masih usia sembilan, sebelas, tiga belas dan empat belas.
Nasi sudah habis. Mamak beranjak ke dapur. Kami berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Menyeka mata yang berair.
"Belajar apa tadi, Galih?" tanya Mamak, duduk dekat sofa ruangan keluarga.
Kupandang wajah Abangku satu-satu. Meminta pendapat dan jawaban.
"Dia belajar perkalian tadi, Mak," Sambar Bang Hendar.
"Empat dikali empat berapa dia?" ulas Mamak.
"Dua belas, Mak," jawabku cepat.
"Kepala kau dua belas! Kok malas kali menghafal perkalian itu, dari zaman ketumbar masih ini saja yang diulang-ulang. Perkalian terus yang merah pelajaran kau!"
Mamak memukul kepalaku dengan raket nyamuk. Sakit, iya. Lebih sakit lagi sebongkah daging di balik rongga dadaku.
"Maju kau sini," perintah Mamak pada Bang Hendar. "Belajar apa tadi?"
"Biologi, Mak. Proses penyerbukan, menjadi buah, dan seterusnya, itu Mak." Tergagap Bang Hendar menjawab.
"Apa namanya?" tukas Mamak.
"Simbiosis, Mak." Jawaban sekenanya dilancarkan Bang Hendar.
"Simbiosis longor kepala kau! Fotosintesis namanya. Kok nggak masok pelajaran satupun ke otak kelen. Mamak sama Bapak mati-matian cari uang, biar otak kelen berisi. Biar jadi orang kelen nanti. Besok, Mamak tanya lagi. Kalau nggak juga betul jawaban kelen, siap-siap kurendam kelen berempat di kolam Wak Wati. Ada kelen dengar?!"
"Iya, Mak." Kami serempak mengiyakan.
"Tidurlah kelen lagi, yang terlambat bangun Subuh, Mamak hukum cuci piring!"
Baiklah, tinggal tidur. Tidur harus susun paku di atas tikar dari pandan. Padahal rumah ini cukup luas. Ada beberapa kamar yang kosong. Sayang, yang Mamak ingat hanya rumah panggung lama.
"Kelen baca alfatihah, baca doa tidur. Yang terasa mau kencing dulu, pergi kencing. Hajab kali kurasa kalau harus mencuci selimut tiap pagi," cecar Mamak.
Padahal kami tidur susun paku tepat di depan TV ruang keluarga.
"Kelen buru-buru tidurlah!" bisik Bang Anton.
Buru-buru kami pejamkan mata. Terdengar langkah Mamak menjauh, lalu mendekat dan menyelimuti kami berempat. Terasa tangan Mamak membelai pucuk ubun-ubun, pasti Abang-abangku juga sama.
"Jangan cepat dewasa ya, Nakku. Tetaplah menjadi anak kecil seperti ini. Mamak takut ditinggalkan sendiri. Tidak apa-apa Mamak senam jantung tiap hari nengok kalian kelahi adik beradik. Tidak apa-apa Mamak sampai kewalahan cuci baju kalian, karena hari-hari kalian asik berkubang lumpur main di paret. Mamak nggak apa-apa makan sambal belacan ajanya, Nak. Asalkan kelen masih bisa kenyang dengan makanan bergizi."
Panas kali mataku ini rasanya. Di belakang, Bang Danang sudah sedu-sedan dalam selimut.
"Ampunkan kami, Mak." Bang Anton, paling dulu menghambur ke lutut Mamak.
Dilanjutkan aku, lalu Bang Hendar, terakhir Bang Danang.
"Nanti kalau kelen sudah besar-besar, Mamak nggak butuh uang banyak. Mamak nggak butuh rumah besar. Mamak cuma butuh kalian tengok sesekali. Kalian datang temui Mamak kalau Mamak rindu. Itu ajanya, nggak berat kan permintaan Mamak. Mamak takut seandainya dipanggil Tuhan, tapi kelen nggak satupun dekat Mamak." pinta Mamak tulus.
"Mamak nggak perlu baju bagus, nggak perlu bolak-balik umroh. Cukup kelen kumpul di rumah ini, kumpul dekat Mamak. Buat Mamak repot lagi macam biasanya, itu ajanya. Bahagia Mamak bisa tengok muka kelen, bisa cubit kelen, bisa marah sama kelen. Bahagia Mamak cuma sebatas kita selalu bersama. Kalau nanti Mamak sudah nggak ada, kelen jaga hubungan adik-beradik. Jangan sampai putus pertalian darah yang pekat. Saling menjaga, saling mengingatkan, saling menguatkan."
Beraungan, seperti anak kecil kena pecut berempat beradik.
Nyatanya, tidak ada yang bisa membeli waktu. Bahkan, tidak berlaku mata uang manapun untuk menebus masa yang telah berlalu.
-----------------------------
Semoga kita tidak menghukum orang tua kita dengan ujian menahan rindu. Aamiin.

Bình Luận Sách (182)

  • avatar
    Amarilis

    cerita yang sangat menggugah hati dan juga bagus. Semangat thor

    22/04/2022

      0
  • avatar
    LaiaDewimanis

    sangat terharu dgn ceritanya mama... maafkan aku dgn sikap aku selama ini 😌🙏

    24d

      0
  • avatar
    salamzulfa

    bagus sekali

    29d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất