logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Yasmin pun Pergi

'Tunggu, Yasmin!' Kata-kata itu ingin sekali kuteriakkan tapi begitu berat untuk terucap.
Aku justru diam tertegun menatap Yasmin menuntun Nuna melewati ruang tamu untuk menuju pintu rumah. Tas pakaian sudah teronggok di depan pintu, kepergiannya memang sudah dipikirkannya dengan matang.
"Nuna, bilang assalamu'alaikum sama ayah, sayang. Oh iya, belum salim sama ayah, ya." Yasmin menuntun Nuna untuk kembali menghampiriku.
Putri kecilku itu mengucap salam dengan logat cadelnya, tangannya berusaha menggapai tanganku dengan berjinjit sambil berceloteh.
"Calim, Yah. Calim!"
Aku tak rela rasanya membiarkan Nuna berpamitan, dengan berat hati kujulurkan juga tanganku padanya.
"Nuna jangan rewel di jalan, ya. Jangan nangis juga di mobil." Aku membungkuk, lalu jongkok memeluk erat Nuna.
"Cium ayah, cium." Nuna mendongak, berusaha melonggarkan dekapanku untuk bisa menyium pipiku.
Ya Allah, kebahagiaan apa lagi sebenarnya yang kucari? Aku sudah memiliki karunia seorang putri yang pintar dan sangat menggemaskan. Yasmin telah mendidik Nuna dengan sangat baik.
Kubalas ciuman Nuna dengan mengecup pipinya berulang kali.
"Bu Yasmiin, Buuu! Assalamu'alaikum."
Teriakan supir travel memanggil nama Yasmin sambil mengetukkan gembok kunci ke pintu pagar membuat Yasmin segera merengkuh Nuna dariku.
"Maaf, Mas. Kami harus cepat keluar rumah. Kasihan penumpang lain yang sudah menunggu, ijinkan aku ke rumah ibu"
Aku kesal, sedih, merasa kalut tapi juga tak mungkin memohon Yasmin untuk tak jadi pergi. Hanya bisa mengangguk lemah yang bisa kulakukan.
Serta merta kukecup kening Yasmin begitu saja, tanpa pikir panjang. Hatiku tergerak tanpa kusadari melakukan itu, seakan enggan melepasnya pergi. Aku tersadar, lalu cepat mengambil tas pakaian membawanya menuju travel. Sekilas kulihat mata Yasmin berkaca, tapi kenapa dia tetap pergi?
"Titip istri dan anak saya, ya, pak supir," lirih aku berpesan saat pintu bagasi ditutup oleh pengemudi travel itu.
"Tentu saja, Pak. Bapak gak ikut pergi juga?" Pak supir mengangguk dan bertanya padaku sambil berjalan memutari depan travel menuju pintu kemudi.
"Masih ada pekerjaan," jawabku pelan.
Aku mengetuk kaca jendela travel, ingin melihat Nuna ... dan Yasmin sekali lagi. Kaca terbuka, deru laju mobil mengiringi lambaian tangan Nuna dengan senyum lucunya semakin menjauh dari rumah. Meninggalkanku yang masih tercenung memegang pagar rumah.
"Assalamu'alaikum, pagi, Pak." Pak Marno tiba-tiba saja sudah ada di depanku dengan sepeda motornya.
Aku mesti bersiap berangkat kerja, supirku itu sudah datang untuk mengantarku artinya waktu tinggal setengah jam lagi untuk tiba di kantor tepat waktu.
"Wa'alaikumussalam, masuk, Pak. Aku ganti baju dulu sebentar," kataku sambil meminta Pak Marno memarkir motornya dulu.
Masuk ke rumah masih dibayangi kepergian istri dan anakku, berjalan gontai hilang semangat serasa tinggal separuh saja jiwaku.
"Bapak makan dulu, tadi ibu sudah berpesan agar saya memastikan Pak Yudha tak lupa sarapan sebelum berangkat." Bik Rum berkata sambil berdiri menungguku di samping meja makan.
"Nanti, Bik, Aku belum ingin sarapan. Makanannya masukan kulkas saja, sorenya tolong dipanaskan lagi sebelum Bik Rum pulang," kataku sepintas lalu sebelum masuk ke kamar, aku tak lagi berselera mengisi perut meskipun lapar.
Pakaian kerja, tas kantor, kaus kaki hingga sapu tangan tak ada yang luput semua sudah disiapkan Yasmin di meja samping tempat tidur. Bukannya merasa senang karena lebih bisa cepat bersiap kerja, kenyataan itu justru membuatku semakin kesal sekaligus pilu.
Terburu kupanggil Bik Rum sebelum berangkat, memastikan Yasmin sudah memberinya kunci cadangan rumah. Bisa jadi aku tak akan pulang awal dari kantor. Betapa nelangsanya menghabiskan malam di rumah sendirian, lebih baik kutunggu waktu berlalu dengan menyelesaikan pekerjaan di kantor hingga lelah, lalu tinggal tidur saja begitu tiba di rumah.
"Jika sudah beres semua pekerjaan, Bik Rum pulang saja. Ibu sudah kasih kunci rumah 'kan?"
"Sudah, Pak. Terima kasih. Ibu pergi untuk berapa lama? Saya diberi uang untuk belanja memasak kok banyak sekali. Kata ibu tanya bapak ingin dimasakkan apa saja."
Bik Rum mengambil amplop berisi uang dari saku roknya, menunjukkan banyak lembaran uang di dalamnya. Tak ada waktu lagi untuk membahas urusan dapur, bikin tambah ruwet hatiku saja.
"Simpan saja dulu, Bik. Aku harus cepat berangkat. Untuk besok masak saja dulu yang masih ada di kulkas."
Dalam perjalanan ke kantor, kusempatkan melihat notifikasi pesan WA, berharap Yasmin mengirim pesan untukku. Tak ada!
Uang untuk belanja dapur apakah memang segitu banyaknya? Hingga Yasmin memberi Bik Rum sejumlah itu. Yasmin ingin makananku terjaga dengan menu yang enak bergizi? Atau karena dia berencana lama tinggal di rumah ibunya?
Saat ini sudah hampir akhir bulan, dan Yasmin masih mempunyai uang simpanan lumayan jumlahnya dari sisa uang bulanan yang kuberi untuknya? Harusnya dengan uang itu dia bisa saja belanja pakaian yang bagus berikut pernak pernik pelengkap busana wanita.
Pikiranku selalu saja kembali mengingat saat Yasmin memasuki ruang aula kantor dengan pakaian kebesarannya kemarin. Iya, itulah sumber keretakan ikatan hati kami saat ini.
Haruskah aku mengirim pesan pada Yasmin duluan? Menanyakan uang yang diberinya pada Bik Rum? Ah, nanti dipikirnya aku tak ikhlas memberinya uang belanja. Aku memang tak pernah menanyakan untuk apa saja uang dariku serta cukup ataukah tidak. Selagi Yasmin diam saja itu artinya nafkah belanja dariku tak kurang.
"Pak Marno, nanti aku pulang bawa mobil sendiri saja. Stand by di kantor sampai jam kerja berakhir barangkali ada dinas keluar. Aku lembur sampai malam, jadi pulang saja dulu minta antar supir piket untuk ambil motor di rumah nanti."
"Kata ibu, saya disuruh menunggu bapak jika lembur. Takut bapak ngantuk waktu mengemudi selepas sudah lelah bekerja."
"Kapan ibu ngomong begitu?" tanyaku heran.
"Kemarin waktu saya antar pulang dari acara di kantor, Bu Yasmin sudah pamit mau jenguk ibunya, saya 'kan bisa absen lembur lebih dari jam kerja, lumayan buat tambah kebutuhan dapur."
Hmmm, jadi begitu pulang dari acara kemarin bahkan Yasmin sudah berniat pergi dari rumah! Dia benar-benar sakit hati saat kusuruh pulang karena cara berpakaiannya itu. Bukannya aku yang seharusnya sakit hati karena dia tak menuruti permintaanku untuk berpakaian modis?
"Ibu perhatian dan khawatir banget sama bapak, so sweet kalau kata saya." Pak Marno tersenyum simpul dengan agak sungkan.
"Apa iya, Pak? Gitu saja masa so sweet," kataku masih merasa kesal.
"Jarang-jarang lo, Pak, Ada wanita yang bisa tetap sederhana meski suaminya sudah naik jabatan. Pengalaman saya jadi supir manajer sebelum-sebelumnya sih pada mengeluh karena harus rebutan mobil kantor ini sama istrinya."
"Rebutan bagaimana?" tanyaku tak paham.
"Istrinya pada nggak betah di rumah. Pergi-pergi melulu pakai mobil kantor untuk belanja, aerobik, nyalon, kumpul-kumpul, macam-macam lah, Pak. Saya sampai puyeng ngantarnya."
"Pak Marno yang antar istri manajer ke mana-mana?"
"Iyyaa, Paaak! Itu bukan tugas saya harusnya. Saat suaminya butuh untuk dinas 'kan jadi berantem rebutan mobil sama istrinya. Akhirnya istrinya nuntut dibelikan mobil sama ada supir sendiri, padahal baru juga naik jabatan saya yakin itu belum mampu beli cash hahaha."
Aku manggut-manggut mendengar cerita Pak Marno. Memang benar Yasmin tak berubah sedikitpun sejak aku mendapat promosi jabatan ini. Dia juga tak menuntut ditambah jatah uang belanja meski tahu gajiku naik berkali lipat. Katanya uangnya ditabung untuk naik haji saja, aku mengiyakan meski dalam hati tak begitu setuju. Haji kan bagi yang sudah mampu, sedangkan kami masih belum membeli barang-barang pelengkap penunjang kehidupan kami.

Bình Luận Sách (128)

  • avatar
    123Mawan

    Bang. toapin. aku. bang

    3d

      0
  • avatar
    NurleliNunik

    keren menghayati banget

    6d

      0
  • avatar
    canwil

    yes

    17/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất