logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 INDI #1

Sepuluh tahun kemudian ...
"Jadi nggak?"
"Apanya?"
"Lho, katanya mau ngajakin aku ke Mahameru. Gimana sih? Lagi suntuk nih," Indi menghempaskan tubuhnya di kursi rotan samping rumah Camar.
"Nunggu liburan semester dulu dong. Aku masih ujian," Camar masih sibuk mengutak-atik motornya. Tangannya belepotan oli.
"Aku juga belum kelar ujian," gerutu Indi. "Males lagi, balik ke kost. Mau pindah saja."
"Kenapa? Naksir tetangga sebelah yang kamu bilang cakep itu? Tapi kamu ditolak?" ledek Camar.
Indi merengut. "Enak saja. Dia tuh yang naksir aku. Uber-uber nyamperin sampe ke kampus segala."
"Lagian, kenapa ditolak sih? Kurang cakep?"
Indi menggeleng. "Bukan itu. Kamu kan tahu aku nggak sepicik itu kalau menilai seorang cowok."
Camar mengelap tangannya dengan serbet yang sama lusuhnya dengan kaus oblongnya. "Trus kenapa?"
"Nggak tipe, Cam," ujar Indi murung.
"Emang nyari yang model apa sih? Ronaldo? Kutcher? Cruise?" Camar menstater motornya.
Indi menarik nafas. "Nggak tahu."
Camar nyengir jail. "Nyari yang kayak aku ya?"
Indi melempar Camar dengan serbet lusuh. "Salaaahhh ..."
Camar tertawa lebar. "Lagian, nggak usah nyari yang ribet kenapa? Cari yang biasa saja, sederhana tapi cakep, full perhatian, siap ngawal kemana saja, nggak banyak cingcong ..."
"Kamu pikir aku nyari bodyguard?" Indi mendelik ke arah Camar.
Camar ngakak. "Udah waktunya kamu nyari pacar, In. Aku saja udah gonta ganti begini ..."
"Kamu sih tipe Don Juan, Cam," ledek Indi.
"Apa mau pacaran sama aku?"
Ganti Indi yang tertawa lebar. "Waaaah ... enggak, makasiihhhh ..."
Camar mengernyit. "Kenapa? Aku kurang cakep ya?"
"Bukan ituuu ...," Indi masih menyisakan tawa.
"Lalu apa dong?"
Mau tak mau Camar penasaran juga. Meski tadi ia bilangnya iseng-iseng, tapi nggak nyangka kalau Indi bakal langsung nolak. Camar pikir mungkin Indi tersipu-sipu dulu atau apalah ...
"Kamu udah kayak sodara, Cam. Nggak tega mau macarin kamu ..."
Camar nginyem mendengar jawaban Indi yang blak-blakan.
"Jalan yuk, Cam. Malem minggu begini masa nganggur di rumah."
Camar mengedipkan sebelah matanya. "Sori. Ntar malem aku ada janji."
Sepasang mata Indi membola. "Wauuu ... ada yang baru kayaknya. Siapa lagi nih sekarang? Anak mana?"
"Ada deh. Primadona kampus kita dong," Camar membusungkan dada dengan bangga. "Sekian banyak penggemar, cuma aku yang dapet perhatian doi."
"Percaya deeh ... Don Juan kacangan," Indi tergelak. "Siapa sih, Cam?"
"Postur ala Luna Maya, wajah Angelina Jolie, tongkrongan Agya putih, gaya supermodel ..."
"Oooh ... aku tahu! Si Yoan kan? Cewek Fakultas Ekonomi? Yang semampai dan super seksi itu? Waooo ...," Indi berdecak. "Pakai ilmu apaan, bisa menggaet doi?"
Camar tertawa lebar. "Pesonaku dong. Mana ada sih, cewek yang sanggup nolak aku?"
Indi bangkit. Bibirnya masih menyisakan tawa renyah. "Ada. Aku, cewek yang sanggup nolak kamu," Indi nyengir.
"Sialan!" Camar melempar gadis itu dengan lap lusuh. Dengan gesit Indi menghindar dan berlari. Gema tawanya masih terdengar di telinga Camar yang merengut kesal.
Maka malam minggu itu akhirnya Indi nongkrong sendirian di balkon kamarnya. Ditemani secangkir teh melati dan sepiring singkong keju yang masih panas, ia asik mengamati jalanan depan rumahnya. Pandangan matanya tertumbuk pada sosok yang sedang mengeluarkan mobil dari garasi. Itu sosok Camar.
Dengan penampilan super rapi, Camar kelihatan tampan. Posturnya jangkung, dandanan trendy khas metropolis, tajir, plus Everest hitam (meski mobil itu kepunyaan Elang, kakaknya) sudah cukup membuat cewek manapun naksir padanya. Indi teringat percakapan mereka di suatu sore di halaman rumah Indi, beberapa waktu yang lalu.
*
"... kamu sesekali bergaul dong, In. Masa tiap malem minggu kamu nyepi di balkon? Lama-lama kamu jadi pertapa," ledek Camar waktu itu.
"Aku punya teman, kok. Tuh, si Winda. Kami suka belanja dan jalan bareng," sanggah Indi.
"Maksudku teman cowok. Masa iya kamu nggak ada yang naksir?"
"Kamu pikir aku nggak laku?" dengus Indi kesal.
Camar tergelak. "Lagian ... sesekali pake rok, kenapa? Koleksi jeans sama kargo doang yang dibanyakin. Cowok mana mau pedekate sama cowok?"
"Tapi rambutku kan panjang," bantah Indi.
Camar mengamati Indi sesaat. "Iya sih ... tapi tetep saja kamu tomboi. Aku juga tahu kalau kamu juga masih suka gelantungan di pohon dan atap rumah kan?"
"Itu kan kadang-kadang saja, Cam ... kalau buah jambu Tante lagi berbuah, atau genteng ada yang bocor ..."
Camar tergelak, merasa lucu dengan tanggapan Indi.
*
Suara derum mobil yang menjauh menyadarkan Indi dari lamunan. Gadis itu mendesah pelan. Camar salah, batinnya. Bukannya dia nggak ada yang naksir. Justru karena ada yang naksir itulah makanya Indi jadi bingung. Bingung karena ia sedang ditaksir Prabu, Ketua BEM di kampusnya. Tentu saja Camar nggak tahu soal ini, kan dia lagi sibuk sama cewek-cewek di kampusnya.
Indi dan Camar satu kampus, tapi beda fakultas. Camar mengambil jurusan Kedokteran Hewan, sementara Indi mencintai tetek bengek penyakit dan penyebarannya. Jadilah ia mengambil Kesehatan Masyarakat dengan jurusan Epidemiologi.
Iseng Indi mengambil ponselnya dan memencet beberapa nomor, lalu menunggu sesaat.
"Halo ..."
"Winda? Hai ... repot?"
"Enggak, nih baru saja selesai makan. Kamu dimana? Udah balik ke kos?"
"Belum nih, besok malem saja balik. Eh Win, kapan kita ritual nih. Udah lama nggak luar kota."
Terdengar tawa dari seberang. Indi selalu menyebut acara kelayapan mereka dengan ritual.
"Boleh. Minggu depan gimana? Nggak usah jauh-jauh deh. Yang penting pikiran adem. Temanku yang kerja di Trawas Grande punya menu baru. Kesana aja yuk!"
"Ayo ... ayo. Minggu depan ya? Senin di kampus kita rundingan lagi deh."
"Oke ... happy Saturday night."
"Okeee ..."
Sambungan terputus. Sejenak pikiran Indi mengembara. Kalau Camar mengira bahwa dia selalu tergantung padanya, minta ditemani atau apalah, cowok itu salah. Memang sih, selama ini Indi sering sekali jalan bareng Camar. Mancing, berburu sate jamur, nonton, ke Suroboyo carnival ...
Mereka sahabat karib sejak kecil dan Indi amat nyaman jalan bareng cowok itu. Tapi akhir-akhir ini Camar nyaris nggak ada waktu untuknya. Sejak Camar menyadari dirinya punya pesona yang bisa membuat cewek-cewek jatuh hati ...
Huh! Indi mendengus pelan. Susah punya sahabat cakep. Kadang Indi geli sendiri, saat rumah Camar ramai disatroni serombongan cewek-cewek SMA. Walhasil, akhirnya Tante Mira, mama Camar, yang harus turun tangan. Camar sampai kebingungan dikerubungi cewek-cewek itu, yang Indi tahu pasti, adalah adik kelas Camar saat sekolah dulu.
Suara motor ninja sport merah meraung pelan memasuki halaman rumah sebelah, rumah Camar. Seorang cowok jangkung, berambut cepak, dengan jaket kulit hitam dan jeans yang tampak mahal, turun dari motor dan berjalan memasuki rumah. Mas Elang.
Indi bersyukur ia tadi nggak lupa mematikan lampu balkon. Kalau enggak, pasti ketahuan deh ia sedang mengamati tetangga.
Mas Elang seorang pilot dari salah satu maskapai penerbangan terbesar di Indonesia. Laki-laki itu jarang pulang dan kata Tante Mira, Mas Elang lebih sering pulang ke rumahnya sendiri di kawasan Pacet. Mas Elang menikah dengan Erika, seorang perempuan berwajah jelita. Erika seorang pramugari dan mereka bertemu disalah satu penerbangan menuju Malaysia. Indi masih ingat saat ia diminta Tante Mira untuk menjadi salah satu pagar ayu di pernikahan Mas Elang.
Benar-benar pasangan yang amat serasi. Mas Elang yang atletis, luar biasa tampan dalam pakaian pengantin adat Jawa. Sementara Erika tampak seperti putri raja dalam balutan pakaian pengantinnya. Indi sampai lupa menutup mulutnya saat pertama kali melihat Erika.
Tapi pernikahan mereka hanya bertahan satu tahun. Erika meminta cerai dari Mas Elang dan kabarnya sekarang pindah ke Jakarta, meniti karir menjadi supermodel di sana. Foto-fotonya sering Indi lihat di berbagai tabloid dan majalah terkenal. Sempat digosipkan dekat dengan beberapa pengusaha, tapi entahlah ... Indi nggak begitu mempedulikan berita itu. Mereka belum punya anak dan Mas Elang semakin sibuk, semakin sering terbang dan nyaris nggak ada dirumah.
Sementara Mas Raja, adik Mas Elang, sekarang sedang meniti karir barunya di perusahaan ekspor impor. Camar bilang, minggu lalu keluarga mereka mendapat kabar gembira dengan jabatan baru Mas Raja menjadi General Manager. Diselip kabar bahwa putri Sang Bos, juga naksir padanya.
Indi tersenyum. Mereka bertiga, Mas Elang, Mas Raja, dan Camar, sudah seperti kakak baginya. Menjadi anak tunggal betul-betul membosankan. Itulah sebabnya Indi sering lari ke rumah sebelah, walau kadang nggak pernah ketemu Camar. Ia malah lebih sering bertemu Tante Mira, membantu wanita itu mengacak-acak dapurnya yang luas, bereksperimen membuat cake, atau sekedar merawat koleksi anggrek Tante Mira yang ratusan jumlahnya.
Papa dan Mama Indi lebih sering berada di luar rumah. Papa Indi seorang aparat negara, sementara Mama Indi seorang dokter. Orang tua Indi samasekali nggak keberatan kalau gadis itu lebih sering di rumah Camar daripada di rumahnya sendiri.
Mendadak ponselnya berdering. Tanpa melihat siapa yang menelpon, ditekannya tombol accept.
"Halo ..."
"Nona, ngapain kamu sendirian di balkon malem-malem begini?" terdengar suara dalam dan hangat dari seberang.
Indi langsung terduduk dengan tegak.
"Mas Elang?"
Elang tertawa lunak. "Ngapain nyepi di balkon? Nggak ada acara sama teman?"
"Ehh ... enggak. Enggak, Mas. Kenapa? Kok Mas Elang tahu aku di balkon, hayo?" Indi celingukan.
"Ya tahulah. Jarak rumah kita kan sedekat Bumi dan Mars, " Elang tertawa lagi. "Jalan yuk, sama aku. Mau nggak?"
"Eh ... aku, ehm ...," gugup suara Indi. Sialan! Kenapa ia jadi salah tingkah sih?
"Ohh .... ada yang cemburu ya Nona?"
"Enggak. Nggak ada, Mas. Oke deh, sepuluh menit ya?"
"Oke. Dandan yang manis ya. Aku jemput sepuluh menit lagi ..."
Sambungan terputus. Indi melesat ke dalam kamarnya dan mengaduk-aduk lemari pakaiannya. Jantungnya berdebar, dan wajahnya terasa panas. Ya ampun, rutuk Indi dalam hati. Ia kan nggak sedang kencan dengan gebetan, ia malah diajak jalan seorang laki-laki yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri dan satu lagi, tegas hati Indi. Mas Elang seorang duda. Nggak mungkin juga lah laki-laki mapan akan menganggap Indi seperti wanita dewasa.
Jadi, pikir Indi, ini akan menjadi malam minggu yang biasa saja, dengan salah seorang kakak laki-lakinya. Maka dengan pemikiran seperti itu, diambilnya jeans dari tumpukan terbawah. Kemudian ditariknya sehelai sweter rajut tebal berwarna biru muda. Indi menyikat rambut panjangnya yang sepinggang hingga halus dan kemudian mengikatnya begitu saja. Setelah memasukkan dompet, ponsel, tisu, hand sanitizer ke dalam ransel mungil bercorak bunga-bunga, Indi meraih sepasang sepatu flat dari rak disamping kasur.
Mamanya pernah bilang, ia cantik dengan flat shoes. Posturnya yang seratus tujuh puluh senti lumayan jangkung untuk ukuran cewek dan Indi nggak terlalu membutuhkan sepatu berhak tinggi.
Tepat sepuluh menit, terdengar bel pintu berbunyi. Indi berlari ke depan dan membukakan pintu. Terlihat di sana Elang yang tampak luar biasa maskulin berdiri menjulang. Indi tercekat sesaat. Belum pernah dilihatnya Mas Elang tampil sekeren itu. Ia mengenakan setelan kasual hitam. Kausnya yang model turtleneck terlihat amat pantas ia kenakan. Komplit dengan jaket kulit hitam yang tampak mahal. Bahkan Camar yang tadi pergi kencan pun nggak ada apa-apanya dibanding kakaknya ini ...
"Kau terlihat cantik," puji Elang. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Indi tersipu. Parasnya memerah karena malu.
"Eh ... terima kasih," sahut Indi nyaris tak terdengar.
"Kita berangkat sekarang?" Elang memberi jalan kepada Indi, lalu berjalan berendengan menuju halaman rumah. "Tapi maaf, karena mobilnya sedang dipakai Camar, kita naik motorku saja ya," tambah Elang. Laki-laki itu meraih helm berwarna merah dan menyerahkannya pada Indi.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku suka naik motor," senyum Indi. "Kita mau kemana nih?"
Elang berpikir sejenak. "Aku diundang temanku untuk menghadiri pembukaan Pameran Lukisan dan Pasar Rakyat di Jatim Expo. Mau kesana? Pulangnya kita bisa nongkrong di Coffee Toffee ..."
Indi mengangguk. "Aku mau, Mas ..."
Lima menit kemudian Indi sudah duduk anteng diboncengan motor Elang yang melaju dengan kecepatan sedang, menembus kemacetan jalan raya kota Surabaya. Selama ini Indi nyaris nggak pernah pergi berdua Elang, karena perginya selalu beramai-ramai. Saat keluarga Prasojo pergi keluar kota, ke pantai atau sekedar menghabiskan malam di alun-alun Batu untuk makan ketan, Indi selalu diajak. Kalau pergi berdua, biasanya ia selalu dengan Camar. Dengan Raja, beberapa kali cowok itu mengajak Indi hiking ke Welirang dan Arjuno, itupun dengan beberapa teman Raja yang semuanya cowok.
Sementara Indi, nyaris nggak pernah mengenal Elang, yang ia tahu Mas Elang-nya adalah seorang laki-laki dewasa yang sudah menikah, kemudian bercerai dan pastinya menganggap ia adik.
Harusnya begitu, batin Indi. Tapi kenapa sejak tadi ia nggak bisa konsentrasi? Astaga, wangi Mas Elang enak sekali. Beda dengan Mas Raja atau Camar. Wangi Mas Elang segar dan maskulin. Pun begitu Indi masih menjaga jarak. Duduknya pun nggak berani terlalu dekat dengan punggung Elang. Menatap punggung Elang yang sepertinya nyaman untuk disandari, membuat pikiran Indi melayang-layang. Eh, apa pula ini? Aku pasti sudah sinting, sungut Indi dalam hati.
Sampai Elang memasuki pelataran Jatim Expo dan memarkir motornya, kemudian menyilakan Indi turun dari boncengan.
"Kayaknya rame banget ya, Mas?" alih-alih menutupi rasa gugupnya yang mendadak datang, Indi melontarkan pertanyaan sekedarnya.
"Ini pembukaan, Nona. Apalagi sekarang malam minggu, jadi ya wajar kalau ramai," Elang merapikan jaket kulitnya sejenak, lalu mengajak Indi memasuki ruang expo.
Sesampai di dalam, acara baru saja dimulai. Untunglah mereka masih mendapat tempat duduk, dibaris ketiga dari depan, walau tempatnya mepet dengan dinding.
Setelah pembukaan dan sambutan dari Gubernur Jawa Timur, acara seni mulai ditampilkan. Mulai dari parade musik, pembacaan puisi, hingga teater yang dibawakan oleh mahasiswa universitas setempat. Indi terpukau melihat rangkaian acara. Baru kali ini ia melihat acara semeriah itu. Belum lagi dekorasi panggung yang bener-bener artistik.
"Suka?" tanya Elang, agak dekat ke telinga Indi, bersaing dengan kerasnya suara musik.
Indi menoleh ke samping, yang ternyata suatu kesalahan. Berada sedekat itu dengan wajah Elang, bisa melihat dengan jelas tahi lalat di sudut kiri atas bibir laki-laki itu, membuat Indi lupa akan berkata apa. Elang begitu tampan sampai-sampai Indi hanya bisa menatapnya seperti orang bodoh.
Elang menowel ujung hidung gadis itu. "Kamu sakit?" tanya Elang serius, tapi suaranya terdengar geli.
Indi tergagap. Malu dan jengah, parasnya memerah lagi. Cepat-cepat gadis itu memalingkan muka, menatap panggung dengan susah payah.
Sepuluh menit kemudian acara berakhir. Tepuk tangan hadirin bergemuruh seakan tak ada putusnya. Elang bangkit berdiri dan mengajak Indi ke ruang pameran lukisan. Berbagai lukisan yang dipajang, membuat Indi terkagum-kagum. Saat ia sedang mengamati sketsa seorang Ibu yang menggendong putra mungilnya, ia merasa lengannya digamit seseorang.
"Nona ... kenalkan ini Anggoro. Dia teman karibku, sekaligus ketua panitia pameran lukisan ini," Elang mengenalkan Indi pada seorang laki-laki berperawakan sedang, memakai kaus hitam bergambar becak dan celana panjang hitam. Blangkon batik buatan Jogja bertengger manis di kepalanya. Wajahya tampak ramah dan senyumnya yang lebar mampu membuat orang bergembira.
"Ang, kenalin ... ini Indi," Elang tersenyum kepada Indi.
Anggoro mengulurkan tangan kepada Indi, yang menyambutnya dengan bersahabat.
"Aku senang kau datang, El ... dan aku turut bahagia kau sudah menemukan seseorang yang cantik," Anggoro tertawa dan meninju pundak Elang.
Elang hanya tertawa, tidak menanggapi. Sementara Indi merasa jantungnya jumpalitan mendengar kalimat Anggoro, yang mengira bahwa dia ... dia, apa tadi? Seseorang yang cantik? Apa maksudnya?
Saat ia sedang kebingungan, Elang menggandeng tangannya dan melambaikan tangan pada Anggoro.
"Kita mau kemana, Mas?" tanya Indi susah payah. Gadis itu merasakan jantungnya deg-degan saat Elang menggenggam jemarinya dan mengajaknya keluar dari ruang pameran lukisan.
" Indi mau nongkrong di kedai kopi dulu, apa mau nongkrong beli jagung bakar?" Elang menatap Indi.
"Eh ... apa ya? Beli jagung bakar saja deh, Mas," jawab Indi akhirnya.
"Oke. Kita cari jagung bakar ya. Sekalian angsle, kalau ada," sahut Elang. Diajaknya gadis itu menuju tempat parkir motor. Angin malam Surabaya berhembus dan di lapangan terbuka seperti pelataran parkir, angin terasa tajam menerpa. Indi menggigil pelan, disesalinya bahwa ia tadi lupa membawa jaket.
Tanpa suara Elang melepas jaketnya dan melingkarkannya diseputar bahu mungil Indi. "Pakai jaketku, Nona. Aku nggak mau kamu masuk angin gara-gara pergi sama aku," Elang mengedipkan sebelah matanya dan lagi-lagi paras Indi memerah.
"Oh ya, bisa minta tolong gulung lengan bajuku?" dengan lagak acuh Elang mengulurkan tangan kanannya pada Indi.
Dengan tangan gemetar Indi mengggulung lengan baju Elang hingga siku, tanpa ia tahu bahwa Elang sedang mengamatinya dengan cermat. Ia berusaha melipat dengan serapi-rapinya.
"Sudah selesai, Mas," Indi tersenyum ke arah Elang.
"Makasih. Berangkat sekarang?" Elang menghidupkan motor. Dengan sigap Indi naik ke boncengan motor.
Elang menoleh ke belakang. "Pegangan, In."
"Eh ... apa Mas?" gugup suara Indi.
Elang tertawa ringan. "Santai saja, Nona. Daripada ntar kamu jatuh ..."
Maka dengan malu-malu Indi melingkarkan tangannya di pinggang Elang. Tak lama motor itu melaju santai, menyusuri malam menuju kota Delta. Elang mengarahkan motornya ke daerah lingkar barat, dan menepi di salah satu kedai bertuliskan Slow Down n Drink Milk.
Indi turun dari motor dan melihat dengan takjub. "Wow ... sepertinya ini tempat yang menyenangkan buat nongkrong nih, Mas."
Elang tertawa. "Belum pernah kesini? Sama Camar, atau Raja?"
Indi meletakkan helmnya di setang motor. "Enggak. Camar sih sukanya ke mal, Mas. Kami biasa nonton film atau ke kampus teknik. Sering ada live musik disitu. Kalau Mas Raja sih, kebanyakan suka ngajakin lihat sunrise di Arjuno," Indi meringis. "Dia sukanya mendadak, pula! Mana bisa packing dalam sejam."
Elang tertawa lepas. Senang rasanya keluar dari rutinitas terbangnya dan seharian di perkebunan strawberry miliknya, hanya untuk mendengarkan celoteh gadis ini. Indi seorang gadis yang menyenangkan, otaknya cerdas untuk diajak bicara tentang apapun, tutur katanya sopan dan kata Maminya, Indi suka bantuin di dapur. Elang seorang laki-laki yang sangat menghargai keterampilan wanita di dapur, karena ia suka makan.
"Duduk disitu yuk, Mas," Indi menunjuk ke arah dua buah kursi dan meja kayu antik, yang terletak dibawah pohon angsana. Pilihan yang tepat.
"As you wish," senyum Elang. "Di sini ada beberapa menu yang enak. Pilih saja dulu, aku mau menelpon seseorang," tambahnya, lalu mengeluarkan ponselnya dan melangkah menjauh dari situ.
Mendadak Indi kehilangan selera makan. Pikirannya sibuk bertanya-tanya, siapa gerangan yang ditelpon Elang? Ya walau sudah menjadi duda, bukan berarti laki-laki itu nggak punya seseorang. Bisa saja seseorang itu perempuan yang istimewa dan kalau iya, harusnya laki-laki itu pergi dengan teman, atau kekasihnya, bukan malah jadi pengasuh gadis yang memasuki akhir masa remajanya. Apalagi Elang amat tampan.
Maka dengan asal-asalan Indi menulis menu pilihannya di atas selembar kertas dan menyerahkannya pada seorang anak muda yang berpakaian santai namun rapi.
Kemudian Indi kembali mengamati Elang, yang masih menelpon dengan serius di ujung sana. Gayanya yang cool amat enak dilihat, padahal laki-laki itu hanya menyender di bawah lampu jalan. Kira-kira Elang menelpon siapa ya? batin Indi. Sosoknya begitu misterius.
Tiba-tiba Elang mengubah posisinya, sedikit menyamping. Tak sengaja matanya menangkap basah Indi yang sedang mengamatinya. Rona merah menjalari wajah Indi dan mendadak Elang merasa sesak nafas, lupa ia harus bicara apa di telepon.
Terburu ia memutuskan sambungan dan melangkah menuju meja dimana Indi sudah menunggu. Ya ampun, ia kan sudah dewasa. Laki-laki berusia tiga puluh tahun yang sudah pernah menikah. Tapi kenapa hanya dengan sorot mata gadis yang malu-malu, terbingkai wajah cantik yang tersipu karena kepergok memandanginya, ia merasa seperti remaja tujuh belas tahun yang baru mengenal cinta? Astaga El, ada apa denganmu?
"Sudah pesan, In?"
"Sudah, Mas. Kuharap Mas Elang suka Green Tea Milk dan jagung bakar keju."
Elang tertawa. "Boleh juga. Kamu tahu lahan kosong di depan sana? Aku sedang berpikir, kalau saja ada orang yang punya ide untuk membuka kedai, dengan konsep outdoor, kamu tahu kan? Model kayak di taman, dengan payung-payung lebar, seperti kebanyakan model kafe di Bali, tapi yang ini lebih etnis ..."
"Mungkin lebih oke kalau ada yang khas, Mas. Jadi misalnya kota Sidoarjo ini khasnya apa, nah itu yang dijual. Bisa dari dekorasinya, pakai hiasan udang atau bandeng dan menunya juga lebih spesifik. Yang beda. Pasti lebih menjual. Tahu sendiri masyarakat sangat penasaran sama sesuatu yang baru."
"Maksud kamu, bikin sesuatu yang lebih dari sekedar berjualan makanan?"
Indi mengangguk bersemangat. "Selain tempat, mungkin menu juga harus spesifik. Bisa dari nama, bahan menu, sampai desain kursi atau alat makan yang dipakai."
"Jadi, bisa aja dong ya, konsumen memakai sendok dan garpu yang ujungnya bergambar wayang, misalnya?"
Indi nyengir. "Itu maksudku, Mas ..."
Perbincangan mereka terhenti dengan datangnya pesanan mereka. Indi meraih gelasnya dan mencicipi minumannya. "Hem ... enak banget."
Lagi-lagi Elang tertawa melihat ekspresi Indi. Gadis ini sangat bersahaja dan apa adanya. Sama sekali bukan tipe cewek jaim. Gayanya juga enak dilihat, nggak malu-maluin kalau diajak.
" Jarang keluar kalau malem minggu, Nona?" Elang mulai makan jagungnya.
" Sesekali pernahlah, Mas. Kebanyakan sama Camar, sering lagi sama Winda. Cuma ya kadang kalau lagi kumat malesnya mending pulang saja Mas, kasihan orang tua. Jadinya ya nyepi di balkon deh. Apalagi sekarang si Camar kebanyakan job," Indi tertawa.
Elang ikut tertawa. "Lagi banyak yang naksir ya dia?"
"Iya ... "
"Pacarmu kemana, In?"
"Belum punya, Mas. Nggak ada yang mau, " sahut Indi sekenanya.
"Kamu yang nggak mau, kali ..."
"Lebih tepatnya, belum butuh kali ya Mas. Pacar kan bukan buat pengisi sepi atau biar ada yang ngajak jalan tiap malem minggu. Apalagi bagi anak kos kayak aku. Mungkin karena selama ini selalu ada Camar atau Winda, jadi ya asik aja meski nggak punya pacar," Indi tersenyum.
"Trus, kalau Camar atau Winda nggak bisa ngajak kamu jalan?"
" Aku jalan sendiri. Atau maksa Tante Mira. Aku ajak shopping, " Indi tertawa geli.
"Mamiku mau?"
"Mau dong. Beliau kan nggak punya anak perempuan, katanya," Indi mengelap tangannya dengan tisu.
"Wah, mami curang. Nggak sembarangan lho, beliau mau diajak keluar jalan-jalan," sahut Elang.
Mata Indi membola. "Oh ya?"
"Iya. Terutama cewek. Kalau kita kan kebanyakan ogah saat disuruh nganterin beliau belanja. Kamu kan tahu kalau udah masuk mal, mamiku bisa seharian. Paling juga ngajak Tante Retno kan?"
"Wah Mas, kalau mamaku nih ya, emang beliau jarang libur, apalagi kalau pasiennya banyak, tapi sekali libur, waktunya dihabiskan bareng Tante Mira. Kalau enggak, mereka pergi berempat. Mas tahu kan, libur akhir tahun kemarin, beliau berempat pergi ke Jogja dan nginep disana, " Indi tertawa. "Akhirnya aku berdua Camar kayak anak ilang, keluyuran ke pasar beli jagung dan bikin barbekyu di halaman belakang."
Elang ikut tertawa. "Ya, aku ingat saat itu. Aku nggak bisa libur, pas ada jadwal terbang."
"Waktu itu Mas Raja yang pergi nyepi ke Ranu Kumbolo ya Mas?"
Elang mengangguk dan tersenyum.
"Lulus kuliah mau kemana, In?" Elang menyeruput minumannya.
"Kerja dulu kali, Mas. Naksir lowongan tenaga medis di kampus. TDDC, tepatnya. Tropical Diseases and Diagnostic Center. Mungkin kerja beberapa tahun, sambil ngumpulin modal ..."
"Ngumpulin modal? Buat apaan?"
Indi sadar sudah keceplosan bicara. Ini adalah hal yang ia nyaris nggak pernah menceritakannya kepada orang lain. Sesuatu yang hanya ada dalam pikirannya ...
"Eh ...," Indi nyengir.
"Buat apa In, pakai butuh modal segala?" tatap Elang.
"Ehm ...," mendadak Indi merasa tenggorokannya tersangkut satu biji jagung. "Aku pingin punya usaha sendiri, Mas."
Elang merasa surprise. "Oh ya? Kalau boleh tahu, usaha apa?"
"Buka kafe yang digabungin sama butik. Belum tahu sih Mas, konsepnya kayak apa. Cuma kalau ada sisa uang saku, biasanya aku kelayapan nyari kafe yang tempatnya asik. Atau surfing di internet. Aku amati konsepnya, menu, lokasi, desain interior dan outdoornya gimana ..."
Sesaat Elang lupa menutup mulutnya. Benarkah ini Indi, gadis kecilnya yang dulu suka main layangan dan suka panjat pohon, sekarang berubah menjadi gadis yang sudah beranjak dewasa dan memiliki tujuan dalam hidupnya?
Elang mengaduk-aduk minumannya. "Wah, berat tuh kayaknya. Kapan senang-senangnya In?"
Indi tertawa. "Aku bukan tipe cewek yang maksa harus punya seseorang, Mas ...kalau persepsi senang-senang seperti itu. Tahu nggak, jalan sama Mas Elang begini, buatku udah senang-senang."
"Bagus kalau begitu. Senang mendengarnya. Pulang yuk, udah malem nih ..."
Indi membereskan piringnya dan menghabiskan minumannya, lalu beranjak mengikuti Elang menuju tempat parkir motor.
Tiba di rumah, jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Indi bergegas turun dari boncengan motor dan melepas helm.
"Waduh, gawat. Tuan Handoko beserta Nyonya sudah ada di rumah. Alamat aku bakal ditegur nih, tadi lupa nggak ijin mereka dulu," Indi mengomeli dirinya sendiri.
"Mereka nggak bakalan marahin kamu, kok. Percaya sama Mas," Elang mengedipkan sebelah matanya.
Indi menyembunyikan parasnya yang merona. Dilepasnya jaket Elang dan diulurkannya ke laki-laki itu. "Makasih jaketnya, Mas."
"Sama-sama. Aku balik dulu ya?"
"Lho, Mas mau kemana? Ke rumah sebelah saja pamitan ..."
"Siapa bilang aku mau ke rumah sebelah? Rumahku sendiri dong ..."
Mendadak Indi salah tingkah. Ia lupa kalau Elang sudah punya rumah sendiri di Pacet.
"Maaf Mas ..."
Elang urung menghidupkan motornya. "Maaf buat apa?"
"Ya mungkin Indi sudah mengganggu waktu Mas Elang. Mas kan punya kesibukan sendiri, mungkin juga ada yang nungguin Mas di rumah ..."
Elang tertawa. "Ada, memang. Luar biasa cerewet kalau aku telat pulang. Bawel setengah mati kalau aku telat makan ..."
Indi tertunduk. Tuh kaan, Mas Elang sudah punya seseorang lagi ...
"Tapi jam segini kayaknya mereka udah tidur sih ..."
Indi mengangkat wajah. Mereka?
Elang seperti bisa membaca pertanyaan di mata Indi.
"Iya, mereka. Sepasang suami istri Karto, yang tinggal di rumahku. Yang bantuin aku ngurus dan jaga rumah kalau aku sedang kerja," Elang tertawa geli.
Indi memukul pundak Elang. "Mas Elang bercanda mulu ih ..."
Masih sambil tertawa-tawa, Elang menangkap pergelangan tangan gadis itu. "Nggak ada seseorang istimewa yang nungguin aku di rumah, Nona. Aku masih ingin sendiri ..."
Indi nyaris nggak mendengarkan perkataan Elang. Gadis itu sibuk menenangkan debar jantungnya.
"Aku pulang dulu. Salam buat Yang Terhormat Tuan Handoko dan Ibu, ya?" Elang melepaskan tangan Indi. "Lusa aku terbang, mungkin agak lama nggak pulang. Jaga diri baik-baik ya Nona. Kamu tetap gadis kecilku yang cantik."
Gadis kecil. Elang tetap menganggapnya adik. Di mata Elang, Indi nggak akan pernah dewasa, Indi akan selalu dianggap gadis kecil ...
Ada sebersit rasa perih yang diam-diam menyelusup di relung hati Indi.
"Hati-hati di jalan ya, Mas. Boleh minta oleh-oleh yaa ...kalau Mas pulang," Indi tersenyum. Tangannya terulur membetulkan kerah jaket laki-laki itu, dan merapatkan resleting jaket hingga nyaris mencapai leher. "Biar Mas nggak kedinginan. Kan perjalanan jauh. Jangan sampai Mas sakit. Kasihan Mbok Karto ngerawat Mas," Indi nyengir jail.
Tapi Elang nggak ikut tersenyum. Mendadak hatinya terasa hangat oleh perhatian Indi yang sederhana dan manis. Sudah lama sekali ia nggak merasakan perhatian sepele seperti itu. Astaga In, apakah kau tahu, gara-gara perlakuanmu ini, bisa jadi membuat aku nggak bisa tidur? batin Elang.
Elang menyalakan mesin motor. "Sampai ketemu lagi."
Indi melambaikan tangan dan menatap laki-laki itu hingga hilang ditelan kegelapan malam.
Memasuki ruang tengah rumahnya yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga, Indi melangkah takut-takut, menghampiri orang tuanya. Papanya sedang melihat-lihat majalah otomotif, sedang Mamanya melihat televisi.
"Pa...Ma," salam Indi, lalu mencium punggung tangan orang tuanya. "Maaf Indi pulang malam ..."
"Papanya menurunkan majalah. Darimana In?"
"Indi ... habis keluar sama Mas Elang, Pa. Diajak ke pameran lukisan di Jatim Expo ..."
"Apa??" tanya Mamanya. Suaranya terdengar kaget. "Ke pameran lukisan? Sama Elang?"
Indi menunduk. "Iya. Maafin Indi, Ma...Indi lupa nggak pamitan Mama..."
"Kamu pergi ke pameran lukisan sama Elang, dan nggak ngajak Mama?? Berani sekali kamu, ya?"
Indi mengangkat wajah, dan menemukan wajah Mamanya yang tersenyum jail. Sementara Papanya hanya tertawa.
"Elang telpon kami, saat kalian di kafe makan jagung dan minum susu. Dia minta ijin untuk ngajak kamu dan pulang agak malam," ujar Mama Indi, tersenyum.
"Sebaiknya kamu telpon kami kalau mau kemana-mana ya?"
Tahulah Indi sekarang, Mas Elangnya tadi menelpon siapa. Ups, Mas Elangnya?
"Elang anak baik. Papa suka ngobrol sama dia. Dewasa dan berwawasan luas," puji Papa Indi, lalu kembali menyibukkan diri dengan majalahnya.
"Iya. Sayang sekali pernikahannya nggak berhasil," gumam Mama Indi, lalu bangkit berdiri menuju dapur.
"Indi istirahat dulu ya, Pa," Indi ikut berdiri mengikuti Mamanya, dan melangkah menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
Setelah mandi air hangat di pancuran dan berganti kaus oblong serta celana panjang yang nyaman, Indi naik ke kasur. Lama ia nggak bisa memejamkan mata. Otaknya masih merekam kejadian saat ia pergi berdua Elang.
Alangkah berbeda rasanya saat ia pergi dengan Mas Raja, atau Camar. Elang sangat bersikap dewasa, sekaligus seseorang yang amat gaul. Terutama yang paling penting, laki-laki itu amat menyenangkan.
Sembari menghela nafas panjang, Indi meredupkan lampu kamar dan memejamkan matanya.

Bình Luận Sách (117)

  • avatar
    WicaksanaWira

    okk

    21/08

      0
  • avatar
    Zakihanan

    bagus

    13/08

      0
  • avatar
    GabrielaFelicia

    SGT seru ceritanya

    07/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất