logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

BAB 3

SELINGKVH ONLINE 3
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Kita menjadi terbiasa karena hal yang sudah biasa. Kalau kata pepatah Jawa itu ‘Tresno jalaran soko kulino.’ Berbalas pesan di setiap hari membuat Ayya semakin terbiasa dengan kehadiran Byakta. Hal itu membuat warna tersendiri dalam hubungannya yang mulai abu-abu.
Dean pun kini lebih sering menghabiskan waktu dengan Safira. Sama seperti pagi ini. Lagi dan lagi, Dean tidak bisa menjemputnya berangkat kerja. Padahal Ayya sudah dandan cantik dan rapih.
Dean
[ Lagi, aku hanya bisa minta maaf, Ay. Kamu berangkat sendiri ya? ]
Satu pesan dari pria yang katanya begitu mencintai Ayya, kini mulai menjauh perlahan dari rutinitas yang biasa. Kesal? Iya, tentu. Bahkan perasaan untuk menyerah akhir-akhir ini sering menghampiri pikirannya. Ayya mencoba terlihat baik-baik saja meski hatinya kacau.
Ayya menguatkan jemarinya untuk membalas pesan dari Dean. Ia selalu berharap keadaan seperti ini akan segera berakhirml.
Ayya
[ Ya udah, enggak apa-apa. Bareng Safira lagi kah? ]
Pesan Ayya kembali tidak terbalas. Pikiran Ayya pun menjadi berkelana keliling dunia jika menyangkut tentang kedekatan Dean dengan Safira. Padahal jauh dilubuk hatinya, ia akan dengan senang hati melepas Dean untuknya jika memang mau meminta secara baik-baik.
Bukankah bertahan untuk seseorang yang tidak ingin dipertahankan itu rasanya menyakitkan?
Melepaskan hanyalah satu-satunya jalan.
Satu getaran ponsel membuyarkan lamunan Ayya. Diliriknya sekilas ada satu pesan dari Byakta.
Byakta
[ Selamat pagi, Ay ... selamat beraktifitas. ]
Bibir Ayya tertarik menjadi sebuah lengkungan yang teramat manis membaca pesan sesederhana itu dari seseorang yang entah siapa ia tak tahu. Ayya hanya merasa nyaman berbalas pesan dengan seorang yang mengaku bernama Byakta.
Ayya
[ Selamat pagi juga, By ... kamu juga, selamat beraktifitas. ]
Byakta
[ Ya udah, sampai nanti ketemu lagi di malam hari ya? Nanti aku chat lagi. Aku harap kamu nggak bosen ]
Ayya mendadak ada yang berbeda dengan hatinya sendiri. Entah perasaan apa, ia juga tidak tahu. Yang pasti, rasa itu mampu menutupi kekesalannya terhadap Dean. Akan tetapi, segera ia menepisnya tatkala melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukan jam tujuh lebih tiga puluh menit.
Ayya setengah berlari untuk mencoba mendapatkan bus jurusan Kebumen kota. Bahkan Ayya mencoba melambaikan tangan ke arah bus yang terlihat melaju dari arah selatan. Napasnya yang mulai tidak teratur sudah tidak dipedulikan lagi. Ia hanya berpikir tidak ingin ketinggalan bus. Itu saja. Napas yang mulai tersengal membuat dirinya lebih lega menyikapi sikap Dean yang mulai tidak seperti biasa.
Bus langsung berhenti seketika. Ayya bergegas menaikinya, lalu duduk di antara jendela yang menjadi tempat favoritnya. Matanya memandang jalanan lewat pintu jendela yang sedikit terbuka.
Namun, kedua matanya tanpa sengaja melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih seketika. Dean tengah berboncengan berdua dengan Safira. Terlihat mesra. Mungkin jika orang-orang melihatnya akan mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Apalagi kedua tangan Safira yang melingkar erat di perut prianya, Dean.
Ayya menghela napas sejenak, lalu membuangnya kasar. Mencoba sekuat tenaga meredam segala amarah. Dalam hatinya diam-diam mulai menginginkan yang terbaik dari yang paling baik untuk masa depannya.
“Mungkin memang bukan denganku,” lirihnya dalam hati.
Ia mengambil ponsel di tas kecilnya. Ia membutuhkan sesuatu untuk melampiaskan kekecewaannya. Dengan sadar, jemarinya mulai menari indah di atas layar ponsel. Ia merangkai kata demi kata menjadi bait puisi yang indah.
Ayya
‘Tanyaku ....
Apakah rasa ini masih sama
Apakah rindu ini juga masih sama
Tanyaku ....
Mau dibawa ke mana hubungan yang kini mulai melemah?
Buat apa bertahan hanya untuk mempertahankan orang yang tidak ingin dipertahankan?
Dan buat apa jika kata maaf-mu justru menutup kata cintamu?
Haruskah aku melepasmu?’
Kebumen, 17 Juni
Setelah isi hatinya tertuang dalam beranda, Ayya sudah sampai di tempat kerjanya. Ayya langsung memoles sedikit riasannya, dan mengganti sepatunya dengan sepatu formal. Ia juga tidak lupa menyimpan tas ke dalam loker.
Ayya berjalan cepat memasuki toserba di mana biasanya ia bertugas, kemudian menata beberapa barang yang tampak berantakan, dan sesekali mengelap debu yang sedikit menempel dengan tangannya. Kebetulan Ayya bertugas di lantai dua.
Setelah selesai, Ayya berdiri mematung dengan senyum yang terkadang kelewat manis. Itu semua dilakukan agar bisa memberikan kenyamanan pada pengunjung. Bahkan Ayya bisa berjalan secepat kilat untuk mencari sesuatu yang diinginkan para pembeli.
Bekerja sebagai SPG di sebuah toserba besar membuat Ayya harus menahan kedua kakinya yang kadang mulai kram agar bisa tetap berdiri tegak. Setegak dirinya yang tetap berdiri menahan semua ujian kehidupan.
Saat sedang merasa sedikit kesakitan, Dean tiba-tiba menghampiri. Kali ini ia terlihat sendiri, tidak ada kumbang betina yang menempel.
“Ay, kamu kenapa?” tanyanya sedikit panik. Dean menatap wanita yang selama ini membersamainya dengan iba. Ia tahu kalau Ayya sedang menahan sakit pada kakinya.
“Enggak apa-apa. Mungkin kecapean aja,” jawab Ayya singkat. Hatinya masih merasakan pilu akibat sikap Dean yang mulai berubah. Sebentar cuek, sebentar peduli.
“Ya, udah. Nanti kita makan siang bareng, ya? Di kantin depan. Udah lama aku gak liat wajahmu dari dekat.” Dean mengatakan itu dengan senyuman khasnya. Kemudian berlalu pergi meninggalkan Ayya sendiri. Ia berniat ingin menebus kesalahannya dengan makan siang berdua.
***
Jam istirahat akhirnya tiba. Ayya memiliki waktu satu jam, sementara teman yang lain berjaga menggantikan posisinya sebentar. Ayya berjalan cepat menuju kantin yang sudah Dean janjikan. Ini adalah kesempatan untuk bisa membicarakan semua gundahnya. Juga untuk memperbaiki hubungannya.
Kantin terlihat tidak terlalu ramai seperti biasa. Mata Ayya liar mencari sosok Dean ke sekeliling. Namun, tidak juga kelihatan wajah Dean. Ayya memilih duduk karena raganya sudah sedikit lelah.
“Duduk aja dulu lah ... sekalian istirahat sambil nunggu Dean datang,” ucap Ayya pada diri sendiri.
Seorang pelayan menghampiri ketika Ayya baru saja mendaratkan bokongnya di kursi.
“Mau pesen apa, Mbak?” tawarnya ramah dan sopan.
“Es jeruk aja, Mbak. Makannya nanti aja nunggu temen kalau udah datang,” jawab Ayya. Pelayan itu pun berlalu, lalu kembali dengan segelas es jeruk sesuai pesanannya.
Ayya mulai merasa bosan karena Dean tak kunjung datang. Padahal ini sudah sepuluh menit berlalu dari waktu yang telah dijanjikan. Rasa gelisah dan pikiran yang tidak-tidak kini menyelinap layaknya hantu.
Akan tetapi, getaran ponselnya membuyarkan segala prasangka. Ia membuka ponsel, dan ternyata ada satu chat dari Byakta.
Byakta
[ Siang, Ay ... lagi ngapain? Udah makan siang belum? ]
Ayya
[ Siang juga, By ... ini lagi di kantin nungguin temen. Tapi belum datang, jadi belum pesen makan. ]
Byakta
[ Temen apa temen, nih? ]
Ayya menjeda jemarinya yang menari di atas layar ponsel. Ia tidak tahu harus menjawab apa tentang pertanyaan Byakta. Ia sendiri bingung sebenarnya Dean kini sebagai apa dalam hidupnya.
Mau menulis teman, tetapi kenyataannya lebih dari teman. Mau menulis pacar juga sikapnya sekarang bukan layaknya pacar apalagi tunangan. Bohong pun, malah tidak ada gunanya.
Ayya
[ Emm, pacar sih, sudah tunangan juga .... ]
Ayya akhirnya menjawab pertanyaan Byakta dengan penuh kejujuran. Ini lebih baik dari pada nantinya akan menimbulkan berbagai kontroversi.
Pesan balasan dari Byakta pun kembali datang.
Byakta
[ Wah, enak dong udah punya tunangan? Pasti ke mana-mana selalu dianterin? ]
Ayya
[ Ya gitu deh ... kalau boleh tahu, umur kamu berapa sih? ]
Byakta
[ Dua puluh lima. Kalau kamu? ]
Ayya
[ Aku baru dua puluh satu. Kegiatan sehari-hari kamu apa? ]
Byakta
[ Nggak banyak kegiatan sih. Sekarang lagi banyak kegiatan kirim chat ke kamu, siapa tahu hatimu nanti lama-lama luluh. ] Emoji tertawa pun tidak ketinggalan.
Perlahan, entah sadar atau pun tidak, kedua pipi Ayya membentuk sebuah lengkungan. Ia berpikir bahwa Byakta adalah pria yang gemar tebar pesona pada setiap wanita. Akan tetapi, sisi hati terdalamnya mulai menyukai candaan Byakta yang terkesan sederhana tapi bisa mencairkan suasana hatinya.
Ayya
[ Bisa aja kamu, By .... ]
“Ehem!”
Ayya langsung mendongak mendengar suara orang berdehem. Ia segera meletakkan ponsel di atas meja.
“Lagi chat-an sama siapa, Ay? Kok, senyum-senyum sendiri?” Dean langsung bertanya setelah mengambil tempat duduk di depan Ayya.
“Bukan sama siapa-siapa kok ... lagian kamu datengnya lama, eh, pas temen nge-chat.” Ayya menjawab seadanya. Ia belum ingin memberitahu tetang Byakta padanya.
“Iya, maaf. Tadi Safira ngajak ngobrol sebentar di telepon. Ya udah, kita pesan makan sekarang,” ajak Dean. Ia pun bergegas memesan makanan dua paket fried chikcen.
Ayya semakin berpikir bahwa kini dirinya sudah tidak menjadi prioritas lagi bagi Dean. Dean lebih menyibukkan diri dengan Safira karena alasan pekerjaan.
Sedangkan dirinya?
Hanya berteman dengan seseorang yang tidak pernah terlihat wujudnya, tetapi mampu memberikan perasaan yang nyata. Seseorang yang mampu mengembalikan warna hidupnya secara pelan tanpa disadari.
Lalu, salahkah jika Ayya juga ikut tenggelam bersama sederhananya sebuah pesan tidak penting bersama Byakta?
--------**---------
Bersambung

Bình Luận Sách (111)

  • avatar
    ErnaoneAgoes

    cerita sangat menarik dan bikin penasaran ...

    27/12

      0
  • avatar
    saputritiara

    ya...

    18/02/2023

      0
  • avatar
    s******9@gmail.com

    sangat2 berpuas dengan jalan cerita ini

    12/02/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất