logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Kenapa Bu Samsi?

Cerita Mistis di Kapuas Hulu
Part 6
***
"Assalaamu'alaikum, Bu," sapaku dan Lia ramah, ketika kami mengunjungi rumah Bu Samsi. Dia kebetulan sedang berada di depan rumah dengan keempat orang anaknya.
Wa'alaikum salam," jawab Bu Samsi dan keempat orang anaknya serempak.
Setelah kami dipersilakan duduk, Lia kemudian mengutarakan maksud kedatangan kami. Yaitu mengajak agar anak-anak Bu Samsi datang ke rumah kami setiap pagi untuk belajar dan setiap sore untuk mengaji.
Bu Samsi mengucapkan banyak terima kasih atas kepedulian Lia kepada anak-anaknya, dan juga anak-anak yang ada di pemukiman yang baru. Tapi dia meminta maaf karena tak bisa memberikan izin kepada anak sulungnya untuk pergi ke rumah kami. Dengan alasan, di rumah tak ada yang membantu pekerjaan rumahnya selain anak sulungnya itu.
Bu Samsi mempunyai 4 orang anak. Yang sulung perempuan, bernama Bintang. Dia masih duduk di bangku SMP kelas 2. Tiga orang adiknya semua laki-laki. Damar, Jaka dan Tarub. Mereka semua masih duduk di bangku SD. Damar kelas 5, Jaka kelas 3 dan Tarub kelas 1.
Selama kami berbincang, aku tak sengaja memperhatikan gerak tubuh dan tatapan mata Bu Samsi. Terasa aneh menurutku. Tapi aku tak tahu di mana letak keanehan itu. Hanya ada perasaan yang mengusik dalam hati, saat bertatap muka dengan perempuan itu.
Setelah dirasa cukup, aku dan Lia lalu pamit pulang. Saat itu, aku kembali menatap wajah Bu Samsi. Aku melihat ada gurat kesedihan di raut wajahnya. Aku baru tersadar akan sesuatu, ketika sedang di jalan menuju rumah. Ya … selama kami tadi berbincang, tak terlihat sedikit pun Bu Samsi tersenyum. Aneh sekali.
"Li, kamu ngerasa aneh nggak sih sama Bu Samsi?" tanyaku pada Lia setelah kami sampai di rumah.
"Aneh gimana maksudnya, Rum?" tanya Lia sembari meluruskan kaki.
"Ya aneh aja. Tadi selama kita ngobrol, aku merhatiin muka Bu Samsi. Kayak yang sedih gitu. Terus dia juga nggak pernah senyum sedikit pun. Aneh nggak sih menurut kamu?"
"Ya mungkin aja dia sedang nggak enak badan, Rum."
"Tapi aku ngerasa kayak akan ada sesuatu yang bakalan terjadi sama dia, Li."
"Ihh … kamu itu ya, Rum. Omongannya ngaco aja dari mulai kita mau berangkat ke sini. Udah akh … nggak usah dibahas. Bikin takut tahu, Rum. Kita makan aja yuk, sebelum salat."
***
Keesokan harinya, sekitar pukul tujuh pagi anak-anak yang kemarin diberitahu sudah datang di rumah kami. Jumlah mereka semuanya ada 33 anak, laki-laki dan perempuan.
Lia kemudian membagi mereka menjadi 3 kelompok. Kelas 1 dan 2, menjadi satu kelompok. Kelas 3 dengan 4, dan kelas 5 dengan 6. Lia lalu meminta aku untuk ikut membantunya mengajar anak-anak itu. Aku meminta untuk mengajar kelompok anak kelas 1 dan 2, karena mata pelajaran mereka tak terlalu sulit menurutku, hanya sebatas mengajarkan membaca dan menulis.
Pada sore harinya, mereka pun datang kembali ke rumah kami untuk mengaji. Sebelum mereka mengaji, kami meminta mereka agar berwudu terlebih dahulu. Tentu saja menggunakan air di parit yang ada di depan rumah. Kali ini aku ikut membantu Lia mengajar mereka mengaji tanpa diminta, karena alhamdulillah aku juga bisa mengaji.
Saat waktu asar tiba, kami salat berjama'ah. Setelah itu kami melanjutkan lagi mengaji. Aku dan Lia tak hanya mengajar mengaji, tapi kami juga memberikan ilmu agama kepada anak-anak itu, sebatas yang kami tahu. Kami memang sengaja membawa buku-buku tentang agama, selain buku-buku yang berkaitan dengan profesi kami tentu saja.
***
Satu bulan berlalu. Kegiatan belajar dan mengajar masih terus berlangsung. Meskipun secara resmi anak-anak masih belum bisa bersekolah di tempat yang semestinya. Di sebuah Sekolah Dasar, seperti anak-anak sekolah SD pada umumnya. Aku dan Lia pun belum berdinas di instansi masing-masing, seperti seorang petugas kesehatan dan seorang pendidik pada umumnya.
Aku melayani pasien yang datang berkunjung masih di rumah, belum di puskesmas atau balai kesehatan. Karena fasilitas kesehatan yang ada, belum diresmikan untuk dibuka oleh pihak terkait. Beruntung pasien yang datang hanya peserta akseptor KB. Kalaupun ada yang sakit, hanya anak-anak dengan sakit yang ringan. Seputar batuk, pilek dan demam. Sehingga tak memerlukan penanganan khusus yang harus ditangani secara lebih serius di puskesmas.
***
Tok … tok … tok ….
"Assalaamu'alaikum."
Tok … tok … tok ….
"Bu Bidan … Bu. Assalaamu'alaikum."
Samar-samar aku mendengar suara orang mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Aku menajamkan pendengaran, barangkali saja aku salah dengar, karena terlalu nyenyak tidur.
"Assalaamu'alaikum. Bu Bidan … Bu …."
Suara itu kembali terdengar. Perlahan aku beranjak dari tidur. Jarum jam di tangan kiriku telah menunjukkan pukul setengah satu malam. Aku mengernyitkan kening. Siapa yang datang tengah malam begini?
Tak lama, terdengar suara pintu kamar Lia dibuka. Berarti dia juga mendengar suara ketukan itu. Aku lalu mendengar Lia membuka pintu depan dan bercakap-cakap dengan orang yang datang. Percakapan mereka terdengar sangat serius, tapi aku tak bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan.
"Rum … Arum … bangun, Rum," panggil Lia sambil mengetuk pintu kamarku, setelah beberapa saat tadi kudengar dia bercakap-cakap dengan orang yang datang.
Aku menyingkapkan kelambu lalu membuka pintu kamar.
"Ada apa?" tanyaku dengan mata yang masih sangat mengantuk.
"Itu ada Pak Jimin, suaminya Bu Samsi di luar. Dia mau minta tolong. Katanya Bu Samsi sakit. Dia berteriak-teriak kayak orang kesurupan."
Sejenak aku tertegun.
"Nggak salah apa, Li. Masa orang kesurupan minta tolongnya ke aku? Aku mana bisa ngobatin orang kesurupan," protesku.
"Udahlah, yang penting kamu lihat dulu itu Bu Samsi kenapa," kata Lia sembari menarik tanganku agar keluar dari kamar menemui Pak Jimin dan dua orang bapak yang ikut bersamanya.
"Bu Bidan, maaf malam-malam saya mengganggu. Saya mau minta tolong dilihat istri saya kenapa," kata Pak Jimin, begitu aku sampai di depan mereka.
"Memangnya Bu Samsi kenapa, Pak?" tanyaku.
Pak Jimin lalu menceritakan apa yang terjadi dengan istrinya, Bu Samsi. Pak Jimin bilang, sudah sejak 3 hari yang lalu, Bu Samsi terbangun tengah malam lalu berjalan ke arah kamar mandi. Kemudian dia tidur di depan kamar mandi. Ketika dibangunkan, Bu Samsi berteriak histeris sambil jari telunjuknya menunjuk ke arah kamar mandi. Seperti orang yang ketakutan.
Tadinya Pak Jimin mengira Bu Samsi hanya kegerahan, karena udara memang sedang panas. Tapi kejadian itu berulang sampai tiga hari berturut-turut, dan saat keesokan harinya Pak Jimin menanyakan tentang hal itu, Bu Samsi seperti orang yang bingung. Dia seperti tak mengalami hal yang terjadi tadi malam.
"Saya minta tolong, Bu Bidan. Tolong diperiksa istri saya," kata Pak Jimin, setelah dia selesai bercerita.
"Pak maaf, bukannya saya nggak mau nolong Bu Samsi. Tapi dari cerita Bapak tadi, apa nggak lebih baik kita minta tolong ke Pak Ustadz, Pak? Mungkin beliau yang lebih paham dengan apa yang dialami oleh Bu Samsi," kataku.
"Tolong dilihat saja dulu, Bu. Kalau Ibu sudah lihat kan bisa tahu sebaiknya gimana," pinta Pak Jimin setengah memohon.
"Iya, Rum. Nggak ada salahnya kamu lihat dulu keadaan Bu Samsi," kata Lia.
Aku menghela napas panjang. "Baiklah. Sebentar saya siap-siap dulu," kataku akhirnya.
Aku lalu menyiapkan alat dan obat yang akan dibawa, yang sekiranya nanti diperlukan. Setelah semuanya siap, maka kami pun berangkat menuju ke rumah Bu Samsi.
***
Bersambung

Bình Luận Sách (845)

  • avatar
    Afzy Afzy

    sangat bagus

    13d

      0
  • avatar
    fadilahsaidatul

    kenapa aku tidak ada

    20d

      0
  • avatar
    XxyghMinah

    suka sama cerita tentang horor Kalimantan gini

    28d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất