logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Sampai di Lokasi

Cerita Mistis di Kapuas Hulu
Part 5
***
Sekitar pukul 11 siang, kapal yang akan membawa kami ke Desa Trans Baru Kirinangka datang. Sebuah kapal untuk mengangkut barang sepertinya, yang menurutku kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Tak layak sebenarnya untuk membawa penumpang. Tapi mungkin karena tak ada lagi kapal yang lain, akhirnya kami dibawa dengan kapal tersebut.
Satu per satu kami naik ke dalam kapal dengan menggunakan 'jembatan' darurat, yaitu berupa dua buah papan yang disusun berjajar, yang satu ujungnya ditaruh di tanah, dan ujung yang satu lagi ditaruh di pinggir kapal. Bisa dibayangkan jika jatuh di tengah jalan saat sedang meniti 'jembatan' itu.
Sampai di dalam kapal, para ibu dan anak-anak duduk berjajar berdesakan, karena memang ukuran kapal yang tak memadai. Sumpek sekali rasanya. Sedangkan yang laki-laki duduk di atas barang bawaan kami, ada juga yang berdiri di pinggir kapal. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan. Jangan ditanya seperti apa perasaanku. Mungkin sama dengan apa yang dirasakan oleh para penumpang yang lain.
Sepanjang perjalanan aku sengaja tidur, karena rasa takut dalam hati melihat kondisi kapal yang kami tumpangi. Aku pikir ketika naik kapal ferry kemarin adalah saat paling menegangkan, ternyata masih ada yang lebih menegangkan lagi dari itu.
Sekitar pukul setengah tiga sore kapal berhenti. Entah di mana. Yang aku lihat di sekeliling tempat kami berhenti berupa hutan belantara. Hanya terlihat pohon-pohon tinggi menjulang sejauh mata memandang.
Ya Allah … sebetulnya ini di belahan bumi yang mana? Seperti mimpi rasanya, aku berada di tempat seperti ini. Betul-betul di dalam hutan. Seperti sedang bermain dalam sebuah film petualangan.
Koordinator lapangan kemudian menyarankan agar kami segera berjalan menuju ke tempat tujuan, sebelum hari menjelang malam. Yang menurut informasi, jarak yang harus kami tempuh sekitar enam kilometer. Aku melongo, karena seumur hidup, baru sekali ini aku berjalan sampai sejauh itu.
Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi, aku tak banyak bicara. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku melihat Lia pun demikian. Pandangannya sesekali menoleh ke kiri dan kanan jalan, yang mana masih banyak tumbuh pohon-pohon besar.
Benar saja, kami sampai di lokasi sudah pukul lima sore lewat. Kami lantas berkumpul di sebuah bangunan yang mirip dengan 'dermaga' yang ada di Putussibau tadi. Hanya berukuran lebih besar. Setelah mendapatkan pengarahan, Bapak KUPT (Kepala Unit Pelaksana Teknis) lalu membagikan nomor rumah kepada masing-masing kepala keluarga, termasuk aku.
Aku dan Lia lalu mencari nomor rumah yang tertera di kertas itu. Beruntung kami mendapatkan rumah yang berada paling dekat, sehingga tak perlu berjalan lebih jauh lagi. Segera kami masuk ke dalam rumah yang terbuat dari papan itu, lalu membersihkan lantainya. Kemudian menggelar alas tikar dan merebahkan diri. Sudah tak kuat rasanya untuk beraktivitas lagi. Tak lama setelah itu, kami berdua pun tertidur dengan pulas.
***
"Rum … bangun, Rum. Arum, bangun."
Terdengar suara Lia membangunkan aku sembari menepuk-nepuk pipiku. Perlahan aku membuka mata. Keadaan sekeliling gelap, hanya ada cahaya senter yang kami bawa. Untuk sesaat aku masih bergeming. Mencoba mengingat sedang berada di mana.
"Bangun, Rum. Kita makan yuk," kata Lia, begitu dilihatnya aku sudah membuka mata.
Aku beranjak dari tidur dan duduk di samping Lia. Kulihat jam di tangan, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Di depan kami ada dua buah nasi bungkus yang tadi sore dibagikan oleh staf Dinas Transmigrasi Putussibau, yang ikut mendampingi kami.
Kami lalu makan tanpa banyak bicara. Badanku rasanya pegal semua, seperti remuk. Lima hari dalam perjalanan yang sangat menguras banyak tenaga.
"Kita mandi sama wudu pakai air mana ya?" tanyaku, lebih mirip bertanya pada diri sendiri.
"Nggak usah mandi, Rum. Udah malam. Besok aja. Kalau mau wudu pake air di depan itu. Aku udah salat tadi, mau bangunin kamu kok rasanya nggak tega," kata Lia.
"Memangnya airnya bersih apa, Li?" tanyaku.
Tadi aku melihat di depan rumah memang ada saluran air, seperti parit. Tapi airnya seperti apa, tentu saja tak terlihat. Karena hari sudah menjelang malam dan gelap.
"Nggak tahu, Rum. Kan nggak kelihatan."
Aku lalu beranjak dari duduk dan menuju ke depan. Di depan rumah terlihat masih ada beberapa orang yang berlalu lalang. Mereka yang belum selesai mengangkut barang yang mereka bawa.
Aku lalu mengambil air wudu, berganti pakaian dan salat. Setelah itu, kami kembali tidur.
***
Keesokan harinya, aku dan Lia mulai membersihkan ruangan yang ada. Rumah yang kami tempati berupa rumah panggung, dengan tinggi sekitar 1 meter dari tanah. Ada 5 buah ruangan di dalamnya. 2 buah kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi.
"Bu Bidan … Bu Guru … ayo ke Balai Desa. Kita disuruh kumpul di sana sekarang," teriak beberapa orang ibu di luar, ketika aku dan Lia baru selesai membereskan barang-barang bawaan kami.
Aku berjalan ke arah pintu. Terlihat 3 orang ibu sedang berdiri di depan rumah, dan beberapa orang lainnya sedang berjalan menuju ke Balai Desa.
"Mau apa, Bu?" tanyaku.
"Katanya mau ada pengarahan sama pembagian barang," jawab salah seorang ibu.
"Saya belum mandi, Bu. Berangkat aja duluan, nanti kami nyusul," kataku.
"Kita juga nggak ada yang mandi kok, Bu. Ayo, Bu. Kita berangkat bareng," ajak ibu yang lain.
Akhirnya aku dan Lia berangkat bersama dengan tiga orang ibu tersebut menuju ke Balai Desa. Risih sekali sebetulnya, karena tak mandi dari kemarin, tapi mau bagaimana lagi.
Sesampainya di Balai Desa, yang ternyata adalah tempat dimana kami berkumpul saat baru tiba kemarin, kami diberi beberapa pengarahan oleh Bapak KUPT dan oleh staf dari beberapa instansi terkait. Diantaranya dari Dinas Transmigrasi, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Polsek serta Koramil.
Setelah itu dibagikan kepada kami beberapa barang berupa alat pertanian dan rumah tangga. Ada kompor minyak tanah, wajan, panci, piring dan gelas plastik, sendok, garpu dan peralatan rumah tangga lainnya.
Juga ada cangkul, linggis, ember, gayung, lampu, senter, kelambu dan masih banyak lagi. Kami juga diberi bibit tanaman beserta pupuknya.
***
Perlu waktu selama lima hari aku dan Lia untuk mengatur dan membereskan rumah agar terlihat rapi dan nyaman untuk kami tempati. Meskipun sangat jauh jika dibandingkan dengan rumah yang ada di perkampungan biasa.
Kami mengandalkan air hujan untuk memasak, yang ditampung dalam sebuah ember besar pemberian dari Dinas Transmigrasi Putussibau, karena sumur yang ada di belakang rumah airnya tidak jernih. Begitu juga air yang ada di depan rumah. Kami memakai air itu hanya untuk mencuci pakaian atau setelah buang air.
Sedangkan untuk keperluan makan, setiap hari ada yang berkeliling menjual sayuran. Mereka penduduk yang tinggal di pemukiman sebelumnya. Di pemukiman itu juga ada sebuah warung yang lumayan besar. Yang menjual bermacam barang keperluan sehari-hari.
"Rum, nanti aku mau keliling ke tiap jalur," kata Lia, setelah kami selesai sarapan.
"Mau ngapain?"
Lia lalu mengatakan, kalau dia akan mendatangi setiap rumah untuk memberitahu jika ada anak usia sekolah, agar datang setiap pagi ke tempat tinggal kami untuk belajar dan setiap sore untuk mengaji.
"Kamu mau ikut nggak, Rum?"
"Boleh."
Maka kami pun segera berangkat. Kami mendatangi setiap rumah yang ada di pemukiman yang baru. Saat tiba di rumah Bu Samsi, lagi-lagi entah kenapa aku melihat sesuatu yang janggal pada diri Bu Samsi, matanya menyiratkan kesedihan. Entahlah, atau hanya perasaanku saja.
***
Bersambung

Bình Luận Sách (845)

  • avatar
    Afzy Afzy

    sangat bagus

    13d

      0
  • avatar
    fadilahsaidatul

    kenapa aku tidak ada

    20d

      0
  • avatar
    XxyghMinah

    suka sama cerita tentang horor Kalimantan gini

    28d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất