logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Pertanda Apakah Ini?

Cerita Mistis di Kapuas Hulu
Part 4
***
Aku terbangun saat sayup-sayup terdengar suara azan subuh berkumandang. Perlahan aku menggeliat dan meluruskan kedua tangan serta kaki. Jarum jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul setengah lima lewat sedikit. Aku menoleh ke arah Lia, dia sedang memainkan telepon genggamnya.
"Kamu udah mandi belum, Li?" tanyaku.
"Eh … udah bangun kamu, Rum. Udah, tapi masih pada ngantri," sahut Lia, tanpa menoleh ke arahku.
"Kok nggak bangunin aku?"
"Aku lihat kamu tidurnya nyenyak banget. Pasti ngantuk berat. Nggak tega mau bangunin, takutnya kamu baru aja tidur. Kan semalam kamu tidur sampai larut malam."
Aku segera beranjak dari tidur dan duduk di tepi ranjang. Siti dan Bastiyah kulihat juga masih bermalas-malasan di ranjang mereka.
Segera aku menuju ke kamar mandi. Suasana sudah mulai ramai, pasti karena sudah banyak yang bangun. Ada seorang ibu yang sedang menunggu di depan kamar mandi, saat aku sampai di sana. Tak lama, orang yang di dalam kamar mandi keluar dan si ibu pun masuk. Tinggalah aku sendiri menunggu.
Mataku melirik ke arah kamar kosong di sebelah kamar mandi. Biasa saja, tak tampak menyeramkan seperti tadi malam. Mungkin karena situasinya berbeda, semalam sangat sepi, semua orang mungkin sudah tidur dengan nyenyak.
Aku bergegas masuk lalu mandi dan mengambil air wudu, begitu ibu yang di dalam kamar mandi keluar. Lalu buru-buru kembali ke kamar dan mendirikan salat subuh.
Tok … tok … tok ….
"Assalaamu'alaikum."
Terdengar orang mengucapkan salam. Aku beranjak dari duduk dan membuka pintu kamar kami. Nampak dua orang ibu berdiri di depan pintu.
"Ada apa, Bu?" tanyaku.
"Ehm … ini, Mbak. Mau ketemu sama Bu Bidan. Betul kan ini kamarnya Bu Bidan?" kata salah seorang dari mereka.
Aku tersenyum. Rupanya mereka belum mengenalku. Pasti karena bukan peserta dari rombongan kami.
"Saya bidan-nya, Bu. Ada apa?" tanyaku sekali lagi.
"Owalah … ini toh Bu Bidannya. Maaf, Bu. Kami nggak tahu," kata ibu tadi seraya cekikikan.
"Kami mau suntik KB, Bu. Hari ini sudah waktunya suntik. Takutnya nanti di tempat yang baru belum ada bidan," kata ibu yang satu lagi.
Aku kemudian mempersilakan mereka masuk dan menutup kembali pintunya. Lalu, aku mengeluarkan tensimeter, stetoskop dan timbangan badan dewasa yang ada di dalam tas yang berisi peralatan medis. Setelah mereka berdua menimbang berat badan, aku kemudian mengukur tensi mereka. Semuanya normal.
Lalu, secara bergantian aku memberikan suntikan depo provera kepada mereka. Mereka kemudian pamit keluar kamar setelah membayar uang jasa medis. Tak lama, pintu kamar kembali diketuk. Tampak dua orang ibu di depan pintu setelah pintu dibuka. Kali ini peserta satu rombongan denganku. Aku melihat mereka sejak dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
"Bu Bidan, saya mau suntik KB. Tadi waktu ngantri mandi ada ibu-ibu yang bilang katanya baru suntik KB sama Bu Bidan," kata salah satu ibu yang akhirnya aku tahu bernama Bu Lela.
Aku kemudian melakukan hal yang sama kepada Bu Lela dan Bu Samsi, seperti kepada dua orang akseptor KB sebelumnya. Menimbang berat badan dan mengukur tensi mereka. Lalu memberikan suntikan depo provera kepada keduanya secara bergantian.
Setelah selesai dan membayar jasa medis, Bu Lela dan Bu Samsi tidak langsung keluar kamar. Kami mengobrol tentang tempat tujuan kami, Desa Kirinangka. Saat sedang mengobrol, mataku tak sengaja bersitatap dengan mata Bu Samsi. Entah kenapa, hatiku tiba-tiba bergetar. Seperti akan ada sesuatu hal buruk yang akan terjadi dengan dia. Segera aku tepiskan pikiran buruk yang melintas di kepala. Akh … mungkin hanya perasaanku saja.
"Rum, nyari makan yuk. Aku udah laper," kata Lia, saat Bu Lela dan Bu Samsi sudah keluar dari kamar.
"Li, tadi kamu perhatiin wajah Bu Samsi nggak?" tanyaku.
"Nggak tuh. Memangnya kenapa?"
Aku lalu mengatakan apa yang aku rasakan saat mataku bersirobok dengan mata Bu Samsi. Seperti akan ada sesuatu hal buruk yang akan menimpanya.
"Ih … ngaco kamu, Rum. Ada-ada aja. Yuk … akh kita nyari makan, perutku udah laper."
Kami lalu menuju ke depan gedung Dinas Transmigrasi. Di koridor aku berpapasan dengan beberapa orang yang membawa nasi kotak. Jatah makan, kata mereka, ketika kami menanyakan.
Benar saja, saat sampai di pintu depan, kami diberi sebuah kotak makanan. Akhirnya kami tak jadi mencari makan di luar. Lumayanlah, bisa mengurangi pengeluaran uang. Lagipula kan memang sudah menjadi hak kami untuk mendapatkan makan selama belum sampai ke tempat tujuan.
Selepas waktu zuhur, dua buah bus yang akan membawa peserta rombongan ke Putussibau datang. Setelah diabsen, kami dipersilakan untuk naik ke dalam bus. Aku dan Lia sengaja memilih tempat duduk di belakang, karena kebetulan bangku di belakang kosong, jadi kami bisa duduk sendiri-sendiri.
Menjelang waktu magrib, bus berhenti di sebuah rumah makan. Entah di daerah mana, aku tak paham tentu saja. Lalu para penumpang dipersilakan turun untuk makan malam dan salat. Setelah semua selesai, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan yang kami lalui, masih berupa hutan. Di kiri dan kanan tumbuh pohon-pohon besar. Tak terlihat ada rumah penduduk, atau aku yang tak melihatnya karena suasana di luar sangat gelap. Entahlah.
Aku melihat jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Lia terlihat sudah tertidur dengan pulas, begitu juga dengan penumpang yang lain. Hanya terdengar suara obrolan Pak Supir dan kenek, yang aku tak paham dengan bahasa yang mereka gunakan.
"Rum, bangun. Rum …."
Terdengar suara Lia sambil menepuk-nepuk tanganku. Aku membuka mata lalu melihat ke arah luar jendela kaca bus. Hari sudah mulai terang. Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi.
"Kita udah sampai?" tanyaku.
"Belum. Kita istirahat dulu di sini kata supirnya. Kalau yang mau salat sama mandi bisa di masjid itu," sahut Lia sembari jari telunjuknya menunjuk ke arah sebuah masjid yang lumayan besar.
Kami lalu turun dan menuju ke masjid tersebut. Setelah mandi dan salat mengerjakan subuh, kami mencari sarapan di warung yang ada di sekitar masjid.
"Sebentar lagi kita akan sampai di dermaga. Dari sana kita akan naik kapal yang menuju ke lokasi Desa Trans Baru Kirinangka," kata seorang staf dari Dinas Transmigrasi Provinsi yang mendampingi kami selama dalam perjalanan.
Aku menarik napas panjang. Perjalanan ini sungguh terasa sangat melelahkan. Setelah selama tiga hari berada di dalam kapal, kami masih belum juga sampai di tempat tujuan. Entah seperti apa tempat yang akan kami tuju, aku tak bisa membayangkan.
Sekitar satu jam, akhirnya bus yang kami tumpangi sampai di dermaga yang dimaksud oleh Pak Supir. Aku tersenyum dalam hati saat melihat bentuk bangunan yang katanya sebuah dermaga itu. Sangat jauh dari bayanganku. Hanya berupa pondokan dengan dua buah bangku panjang yang disusun berhadapan. Tentu saja tak cukup untuk menampung semua penumpang bus. Akhirnya peserta rombongan mencari tempat masing-masing untuk menunggu kapal yang akan membawa kami ke Desa Trans Baru Kirinangka.
Aku dan Lia duduk di salah satu bangku panjang itu. Di depanku duduk Bu Samsi dengan keempat orang anaknya yang masih kecil-kecil. Hanya si sulung sepertinya yang sudah duduk di bangku SMP. Karena terlihat sudah beranjak remaja. Lagi-lagi tak sengaja mataku bersitatap dengan mata Bu Samsi, dan aku merasakan ada getaran aneh di dalam hati.
Segera aku mengalihkan pandangan ke tempat lain. Apa sebenarnya yang akan terjadi dengan Bu Samsi? Kenapa aku merasakan sesuatu saat menatap matanya?
***
Bersambung

Bình Luận Sách (845)

  • avatar
    Afzy Afzy

    sangat bagus

    13d

      0
  • avatar
    fadilahsaidatul

    kenapa aku tidak ada

    20d

      0
  • avatar
    XxyghMinah

    suka sama cerita tentang horor Kalimantan gini

    28d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất