logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chapter 7

"Kenapa terkejut?" Selly bangkit dan berjalan mendekatinya. "Apa kabarmu? Apa kamu masih berusaha mengejar-ngejar Ziyan?" tanya Selly dengan mimik wajah yang terlihat serius.
"Bukan urusanmu!"
Wanita itu adalah Rina. Melihat Selly, dia berusaha menghindar. Namun, saat melihat Amira yang juga berada di tempat itu, dia tersenyum sinis.
Dengan angkuhnya dia mendekati Amira dan berusaha mengambil Indah dari gendongannya. "Sini, berikan Indah padaku!" Rina berusaha mengambil gadis kecil itu, tetapi Amira menolak.
"O, rupanya kamu mendekati Ziyan agar bisa dapat uang dan berbelanja di sini? Apa kamu tahu berapa harga baju di sini, hah? Walau gajimu setahun, tidak cukup untuk membeli satu baju di sini. Dan kenapa juga kamu bawa-bawa Indah ke sini? Apa kamu punya uang untuk membayar baju-baju di tanganmu itu?"
Amira tidak peduli dengan ocehannya. Dia berjalan menuju Selly dan menyerahkan baju-baju itu padanya. Rina yang melihat Amira dekat dengan Selly cukup membuatnya terkejut.
"Kenapa? Apa kamu juga ingin aku membelikan baju untukmu? Sana, pilih saja nanti aku yang akan membayarnya," ucap Selly sambil tersenyum sinis.
Rina terlihat dongkol dengan sikap Selly padanya. Apalagi saat melihatnya membelikan baju untuk Amira. Dia terlihat iri.
Dulu, Rina dan Selly adalah sahabat baik. Kehidupan ekonomi Rina bisa dibilang pas-pasan. Sedangkan Selly adalah anak orang kaya yang selalu membelikan apa pun untuknya. Hingga suatu hari, Selly tahu kalau kekasihnya mengkhianatinya. Pemuda itu berselingkuh dengan Rina di belakangnya.
Sejak saat itu, Selly memutuskan persahabatan mereka. Namun, Selly menemukan sahabat baru yang merupakan saudara kembar Rina, yaitu Rani. Persahabatan mereka berlanjut hingga Rani menikah. Bahkan, Selly juga bersahabat baik dengan kekasih Rani saat itu yang tidak lain adalah Ziyan.
"Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan Ziyan. Kamu tidak pantas untuknya dan jangan pernah mencoba untuk merayunya. Kamu hanya wanita penggoda dan wanita penggoda tidak pantas untuk bahagia."
"Kenapa? Apa kamu juga suka padanya?"
Selly tersenyum. "Iya, tapi tidak lagi karena aku tahu siapa wanita yang pantas baginya dan kamu tidak akan punya kesempatan untuk mendekatinya lagi. Carilah mangsamu yang lain karena aku bisa pastikan kalau kamu tidak akan pernah bersama dengannya. Mengerti!"
Selly beranjak meninggalkan Rina yang terlihat kesal. Rina kemudian pergi walau dia begitu marah dengan ucapan Selly.
Setelah dari butik, mereka lantas kembali ke mobil. Amira dan Indah duduk di belakang. Selly melihat Indah yang sudah tertidur di pangkuan Amira.
"Dia begitu dekat denganmu. Aku sudah berusaha mendekatinya, tetapi dia selalu menolakku. Apa mungkin kamu ditakdirkan untuk menjadi ibunya?"
Pertanyaan Selly membuat Amira menatapnya. Gadis itu hanya tersenyum kecut. "Apa kamu menyukainya?" tanya Amira. Selly hanya tersenyum.
"Ziyan itu tipe lelaki yang sulit untuk jatuh cinta, tapi jika dia sudah mencintai seseorang, maka dia akan memperjuangkannya dan selalu setia. Lihat saja, sudah empat tahun dia masih betah menduda. Padahal, banyak wanita yang memujanya."
"Termasuk kamu?"
Selly lantas tertawa.
"Pelankan tawamu! Indah bisa terbangun jika mendengar tawamu itu," ucap Amira pelan.
Selly menatap Amira. Dia tersenyum. "Aku mengaguminya. Dia lelaki yang penyayang. Hanya saja, nasib baik tidak berpihak padanya. Dia harus kehilangan istrinya di saat dia sedang merasakan kebahagiaan. Ah, saat itu dia benar-benar terpuruk," kenang Selly. Tanpa disadarinya, dia menitikkan air mata.
Amira menatap Indah dalam pangkuannya. Dia mengelus lembut wajah polos gadis kecil itu. Dia berharap agar gadis kecil itu bahagia walau tanpa kasih sayang dari ibunya.
Setibanya di halaman rumah, Ziyan sudah menunggu. Melihat Amira yang menggendong Indah, dia mendekatinya dan mengambil putrinya dari Amira.
Amira kemudian mengambil barang belanjaan di bagasi. "Terima kasih atas semua belanjaan ini. Mampirlah, aku akan menyiapkan teh untukmu," ucap Amira pada Selly.
Selly hanya tersenyum. "Tidak perlu. Masuklah, aku harus pulang."
"Ayolah, Selly! Mampirlah sebentar." Ziyan turut menambahkan.
Selly hanya tersenyum dan masuk ke mobilnya. "Aku pergi. Kapan-kapan aku datang lagi!" serunya sembari masuk ke mobil yang perlahan meninggalkan pelataran.
Setelah Selly pergi, Ziyan lantas membawa Indah ke kamarnya. Amira mengikutinya. Dia membuka pintu kamar. Setelah meletakkan Indah di tempat tidur, mereka lantas keluar.
Baru saja Amira masuk ke kamarnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Dia lantas menerima panggilan itu. "Iya, Dok! Ada apa?"
"Cepatlah ke rumah sakit! Ibumu sudah siuman."
Amira terkejut. Dia terlihat tersenyum. "Baik, Dok. Aku akan segera ke sana."
Amira meletakkan belanjaannya di dalam kamar. Dia kemudian menemui Ziyan yang berada di dalam ruang kerjanya.
"Maaf, Pak. Izinkan aku ke rumah sakit sebentar karena ibuku sudah siuman. Aku janji tidak akan lama," pintanya pada Ziyan.
"Syukurlah. Ayo, biar aku mengantarmu."
"Tidak usah, Pak. Aku bisa pergi sendiri."
"Amira, jangan membantah! Aku tidak mungkin membiarkanmu pergi sendiri. Ayo, kita pergi!"
Amira tidak bisa membantah. Bagaimanapun, Ziyan adalah orang yang sudah membantunya. Mereka akhirnya pergi.
Setibanya di rumah sakit, Amira berlari menyusuri koridor. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan ibunya. Di depan pintu kamar, Amira berdiri sejenak. Dia tampak menahan air mata. Tak lupa, dia merapikan rambut dan bajunya. Dia ingin terlihat cantik di depan ibunya.
Amira membuka pintu. Dia berjalan perlahan ke tempat tidur di mana ibunya berbaring. Sementara Ziyan menunggu di luar.
"Ibu," panggilnya pada wanita yang kini menatapnya.
Tatapan wanita paruh baya itu terlihat hampa. Melihat Amira yang menggenggam tangannya, dia tampak ketakutan.
"Ibu, ini aku, Amira. Ibu tidak lupa padaku, kan?"
Wanita itu berusaha melepaskan tangan Amira. Dia tampak ketakutan, hingga Amira segera memeluknya.
"Ibu, aku mohon, jangan lupakan aku. Aku tidak tahan jika Ibu juga membenciku. Aku menyayangimu, Bu. Jadi, aku mohon, jangan melupakan aku."
Amira menangis, tetapi wanita itu tidak memedulikannya. Bahkan, dia berontak dan mencekik leher Amira. "Pergilah ke neraka!" seru wanita itu pada Amira.
Walau dicekik, Amira tidak menghindar. Dia hanya diam saat kedua tangan ibunya mencekik lehernya. Wajahnya memerah karena napas yang tertahan. Dia pasrah seiring air mata yang menetes dari sudut matanya.
Mendengar suara yang aneh dari dalam kamar, Ziyan tampak curiga. Suara tawa wanita paruh baya itu membuatnya segera membuka pintu. Sontak, dia terkejut saat melihat wanita itu mencekik Amira. Dia lantas berlari dan berusaha melepaskan Amira dari cekikan ibunya.
Dokter yang baru datang turut membantunya. Seorang perawat lantas menyuntikkan obat penenang pada wanita itu.
"Apa kamu sudah gila? Kenapa kamu diam saja saat dicekik seperti itu?" Ziyan terlihat panik. Dia menatap Amira yang kini duduk sambil menangis.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membentakmu, tapi kamu bisa saja mati," ucap Ziyan menyesal.
"Aku merindukan pelukannya seperti dulu. Aku tidak peduli walau dia mencekikku. Bagiku, itu hanyalah sebuah pelukan yang selama ini aku rindukan. Aku ...."
Amira menunduk seiring tangis yang menjadi. Melihatnya menangis, Ziyan mendekatinya. Dia ingin menyentuh puncak kepala Amira, tetapi dia menahannya.
"Menangislah."
Ziyan lantas memeluknya. Amira tidak mengelak karena saat ini dia sangat membutuhkan sandaran untuk menangis. Dia begitu sedih karena ibunya sama sekali tidak berubah. Penyakitnya telah membuatnya melupakan Amira yang merupakan putrinya.
Ziyan membiarkan Amira menangis dalam pelukannya. Dia tahu bagaimana perasaan gadis itu. Dan dia turut hanyut dalam tangisan yang membuatnya iba. Tanpa sadar, dia mengelus lembut punggung Amira.
"Apa tidak sebaiknya kamu memeriksa lehermu itu? Sepertinya lehermu berdarah."
"Tidak apa-apa. Luka ini sudah biasa bagiku." Amira hanya membersihkan lukanya dengan tisu.
"Jangan membantah. Tunggu di sini, aku akan meminta perawat untuk mengobati lukamu itu."
Ziyan kemudian menemui salah satu perawat dan memintanya mengobati luka di leher Amira. Walau sempat menolak, tetapi paksaan perawat dan Ziyan akhirnya meluluhkannya.
Luka goresan itu cukup membuat Amira merasakan perih saat perawat mengolesnya dengan alkohol. Setelah mengobati luka di leher Amira, perawat itu kemudian pergi.
Amira kembali duduk di dekat ibunya sambil menggenggam tangannya. Sesekali, dia mengelus lembut wajah ibunya yang sudah keriput. Dia meneteskan air mata.
"Apa ibumu memang seperti itu?" tanya Ziyan yang berdiri di sampingnya. Namun, Amira hanya diam. "Maaf, kalau kamu tidak ingin menceritakan, aku tidak akan memaksa."
"Ibuku wanita yang hebat. Aku sangat menyayanginya. Apa pun akan aku lakukan asalkan dia bisa sembuh dan kembali seperti dulu."
Dalam keputusasaan, Amira memandangi Ziyan yang kini menatapnya. "Apa Bapak masih ingin membantuku? Aku tidak punya apa-apa untuk membalas apa yang sudah Bapak berikan untuk pengobatan ibuku." Amira menyeka air matanya. Dia merasa kalau dirinya tidak sanggup membalas kebaikan lelaki itu.
"Aku tidak tahu harus membayar kebaikan Bapak dengan cara apa. Walau aku memberikan hidupku, aku rasa itu tidak akan cukup. Itu tidak sebanding dengan apa yang sudah Bapak berikan untukku karena ibuku adalah kehidupanku. Aku rela jika harus mati untuknya. Aku ...." Amira terdiam. Dia menagis dengan isakan yang terdengar memilukan.
"Tenanglah, jangan menangis lagi. Aku akan tetap membantumu. Berapa pun biaya pengobatan ibumu, aku akan berikan. Aku tidak tahu seperti apa masa lalumu karena yang aku tahu aku membutuhkanmu untuk tetap ada di sisi putriku. Sudahlah, jangan pikirkan hal itu lagi." Ziyan mencoba menguatkannya dan tiba-tiba saja dia terkejut saat Amira memeluknya.
"Terima kasih karena Bapak sudah percaya padaku. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan jika tidak bertemu dengan Bapak. Aku berjanji akan selalu ada buat Indah hingga dia tidak lagi memerlukanku."
"Iya, tenanglah. Jangan menangis lagi!"
Amira melepaskan pelukannya. Dia menyeka air matanya dan menatap ibunya. Dia kembali menggenggam tangan ibunya erat.
Melihat Amira sudah tenang, Ziyan kemudian menemui dokter. Dia ingin tahu dengan keadaan wanita itu.
"Dok, bagaimana keadaannya?"
"Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi sepertinya ini akan sulit."
"Maksud Dokter?"
"Penyakitanya semakin parah. Dia hanya mengingat kejadian masa lalu yang sulit untuk dilupakan. Kejadian di mana menjadi penyebab semua penyakitnya."
"Memangnya, itu kejadian apa, Dok?"
"Beberapa bulan yang lalu dia dipindahkan dari sebuah penjara. Dia adalah terdakwa dari kasus pembunuhan lima tahun yang lalu."
"Pembunuhan?"
"Ya, dia telah membunuh suaminya sendiri."
Ziyan terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka akan hal itu.
"Tapi, dia melakukannya karena ingin melindungi Amira. Kalau dia tidak membunuh suaminya, maka Amira bisa saja mati di tangan suaminya. Karena itu, Amira merasa sangat bersalah. Dia sudah terlalu banyak mengalami kesedihan dalam hidupnya."
Ziyan keluar dari ruangan dokter dengan sejuta pertanyaan. Dia merasa kasihan pada Amira. Gadis muda itu harus mengalami kegetiran hidup karena masalah yang dihadapinya. Ziyan kembali ke kamar dan melihat Amira masih duduk menemani ibunya.
"Malam ini kamu di sini saja," ucap Ziyan.
"Terima kasih atas pengertian Bapak. Maaf, karena aku tidak bisa melakukan tugasku untuk menjaga Indah malam ini, tapi aku janji akan memberikan perhatian lebih padanya. Aku janji."
"Jangan khawatirkan hal itu. Kamu lakukan saja tugasmu di sini. Ibumu lebih membutuhkanmu."
Ziyan tidak langsung pulang. Walau sudah malam, dia masih menemani Amira. Dia merasa heran karena sejak tadi tidak ada seorang pun sanak keluarga yang datang menjenguk. Walau begitu, dia tidak ingin bertanya karena khawatir Amira akan tersinggung.
"Bapak sebaiknya pulang saja. Ini sudah larut malam. Indah pasti sedih jika tidak melihat kita."
"Jangan khawatir, aku baru saja bicara dengannya. Dia mengerti, kok. Kamu istirahat saja, biar aku yang menjaga ibumu malam ini."
Amira menurut. Dia tahu kalau Ziyan peduli padanya. Saat dirinya bangkit, tiba-tiba ibunya membuka mata. Sontak, Amira kembali duduk seraya menggenggam tangannya.
Ziyan yang khawatir lantas mendekatinya. Dia takut jika wanita itu kembali menyakiti Amira.
"Ibu," ucap Amira sambil mengelus wajah ibunya yang terlihat berbeda. Bibir wanita itu menyunggingkan senyuman dengan air mata yang jatuh perlahan di sudut matanya. Bibirnya bergetar saat berusaha mengucap sesuatu, "Amira, anakku."
Sontak, Amira terkejut. Setelah sekian lama menunggu, dia akhirnya bisa mendengar kembali ibunya memanggilnya. Amira seakan tak percaya. Dia menangis seraya memeluk ibunya.
"Ibu, aku menyayangimu." Amira tidak ingin melepaskan pelukannya. Perlahan, ibunya membalas memeluknya. Amira menagis haru. Dia sangat bahagia hingga tidak ingin melepaskan pelukannya.
"Ibu harus pergi, Nak. Jangan menangis lagi. Berbahagialah dan tolong maafkan Ibu."
"Apa yang Ibu katakan? Ibu akan baik-baik saja. Kita akan kembali seperti dulu. Hanya aku dan Ibu. Aku janji, akan selalu menjaga Ibu. Karena itu, Ibu harus sembuh."
Amira berusaha tegar. Walau dia menyadari kalau ada perasaan sedih yang tiba-tiba mengganggu hatinya. Perasaan takut akan kehilangan.
"Gadis kecilku sangat cantik. Ibu sangat menyayangimu. Lelaki itu, dia sudah mati. Amira, Ibu akan menyusulnya dan Ibu akan memarahinya. Kamu tenang saja, dia tidak akan mengganggu kita lagi."
Amira terisak. Ibunya berusaha menyentuh wajahnya seraya tersenyum. Amira lantas mencium tangan ibunya.
"Gadis kecilku tidak boleh menangis. Ibu akan selalu menjagamu. Ibu ...."
Wanita itu terdiam. Matanya melebar dengan napas yang tertahan. Amira lantas memeluknya. "Ibu, aku menyayangimu. Maafkan aku, Bu!"
Tangan wanita itu terlepas dari pelukan Amira seiring embusan napas yang terhenti. Amira kembali menangis sambil memeluk ibunya.
Ziyan yang menyadari itu berusaha untuk menenangkannya, tetapi gadis itu enggan melepaskan pelukannya.
Pengorbanan, usaha, dan kerja kerasnya selama ini untuk ibunya ternyata tidak membuat ibunya memiliki waktu lebih lama dengannya. Semuanya sia-sia karena ibunya tetap pergi meninggalkannya.
"Amira, bersabarlah. Biarkan ibumu beristirahat dengan tenang," bujuk Ziyan sambil memeluknya. Lelaki itu tampak sedih karena dia tahu dengan perasaan Amira saat ini.
"Tidak, Pak. Ibuku hanya tertidur. Ibu pasti akan bangun lagi."
Amira terlihat syok. Wajahnya tampak pucat. Ziyan berusaha menenangkannya. Namun, kesedihan atas kepergian ibunya telah membuatnya kehilangan keseimbangan. Dia akhirnya tumbang.
To Be Continued...

Bình Luận Sách (154)

  • avatar
    AmeliaIca

    Bgus skli

    3d

      0
  • avatar
    ranissafiyaa

    🥹🥹🫶🏻🫶🏻🫶🏻💗💗💗✨

    29/07

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus bgt sedikit nguras emosi alur ceritanya😘

    04/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất