logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chapter 5

Amira terkejut. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Ziyan lekat. "Apa maksud, Bapak?"
Ziyan mengambil cangkir kopi dan menyeruputnya. Cangkir itu kembali diletakkan di atas meja.
"Kamu tahu sendiri 'kan dengan permintaan putriku? Apa kamu akan menyanggupinya?"
"Aku akan menyanggupinya karena aku tahu itu hanya permintaan seorang anak yang merindukan kasih sayang dari ibunya. Untuk menjadi ibunya, aku tidak perlu 'kan menjadi istri Bapak?"
Ziyan menatapnya. Dia tersenyum kecut saat mendengar jawaban gadis itu.
"Aku sangat berterima kasih karena Bapak sudah menerimaku bekerja di sini. Bapak juga sudah membayar biaya perawatan ibuku. Aku sangat menghargai itu. Kalau memang Indah menginginkan aku menjadi ibunya, aku bersedia menyanggupinya. Aku hanya melakukan tugasku saja, tapi kalau Bapak keberatan aku tidak akan melakukannya."
Ziyan terlihat berpikir. Apa yang ditawarkan Amira tidaklah buruk. Setidaknya, dia tidak perlu menikahinya.
"Apa kamu tidak keberatan Indah memanggilmu dengan sebutan mama?"
Amira tersenyum. "Aku tidak keberatan. Bapak sendiri, apa tidak keberatan jika Indah memanggilku mama?"
"Lakukan saja tugasmu. Kalau putriku bahagia, aku juga bahagia. Sekarang, pergilah!"
Amira lantas bangkit. Dia mengambil empat cangkir kosong di atas meja. "Sebaiknya Bapak meninggalkan kebiasaan buruk ini. Minum kopi secara berlebihan tidak baik untuk kesehatan."
Ziyan hanya diam. Dia menatap Amira yang keluar dari ruangannya. Tak lama, Amira kembali. Dia membawakan segelas susu yang dicampur dengan madu.
"Minuman ini baik untuk kesehatan. Bapak harus meminumnya agar bisa tidur nyenyak. Jangan pikirkan masalah itu lagi. Aku akan menjaga Indah selama dia menginginkannya. Sekarang, Bapak istirahat saja."
Amira lantas pergi setelah meletakkan gelas berisi susu yang dicampur madu di atas meja. Ziyan menatap gelas itu. Uap panas masih mengepul. Dia bisa mencium aroma madu yang dipadukan dengan susu.
Sejenak, dia tertegun. Kenangan masa lalu kembali muncul. Kenangan di mana istrinya sering melakukan hal yang sama.
Istrinya selalu menyuguhkan susu madu padanya. Di saat lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, istrinya selalu membuatkannya minuman itu. Namun, dia menghentikan kebiasannya sejak istrinya meninggal. Karena tidak ada yang menyuguhkan minuman itu lagi padanya.
Dan kini, di depannya dia melihat minuman itu lagi. Seseorang telah membuatkan untuknya. Seseorang yang melakukannya tanpa diminta olehnya.
Tanpa ragu, dia mengambil gelas itu. Dia terpejam seraya mencium aroma yang tidak asing baginya. Rasanya begitu nikmat saat dia meminumnya. Gelas itu kini kosong tak bersisa.
Ziyan kemudian kembali ke kamarnya. Dia merebahkan diri sembari menatap langit-langit kamar. Tak perlu waktu lama, dia kini terpejam dan terbuai dalam tidur lelapnya.
Keesokan harinya, Amira sudah bangun. Dia sudah bangun sejak subuh tadi. Dia sedang membantu Bi Inah di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.
"Amira, Bibi minta maaf, karena kejadian kemarin kamu dimarahi oleh tuan," ucap wanita itu.
"Tidak masalah, Bi. Aku juga salah karena pergi terlalu lama. Aku bantu siapkan sarapan, ya, Bi!"
"Ini bukan tugasmu, Nak. Tugasmu itu menjaga Non Indah."
Amira hanya tersenyum. Walau Bi Inah sudah melarangnya, tetapi gadis itu bersikeras membantunya.
Dengan telaten, dia menyiapkan piring di atas meja makan. Saat melintas di depan ruang kerja Ziyan, dia menghentikan langkahnya. Dia kemudian mendekat dan mengetuk pintu beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Dia lantas masuk.
Amira memperhatikan tempat itu. Terlihat cangkir dan gelas yang sudah kosong teronggok di atas meja. Dia lantas mengambilnya dan membawanya ke dapur.
"Bi, apa Pak Ziyan sangat suka dengan kopi?"
"Kenapa kamu tanyakan hal itu?"
"Semalam aku melihatnya sedang menyiapkan kopi. Di dalam ruangan kerjanya, ada empat cangkir kosong bekas kopi. Kalau dibiarkan seperti itu, dia bisa saja ketagihan. Kopi yang diminum berlebihan tidak baik untuk kesehatan, loh, Bi," ucapnya panjang lebar.
"Bibi tahu, tapi mau bagaimana lagi kalau itu sudah jadi kebiasannya. Lalu, kenapa kamu bisa tahu kalau ada empat cangkir di ruangan kerjanya?"
"Aku baru mengambil gelas-gelas itu tadi di ruang kerjanya," jawab Amira yang berusaha bersikap biasa. Dia khawatir kalau Bi Inah akan berpikir yang macam-macam tentang dirinya.
"Kalau begitu, kamu bisa 'kan membantu Bibi membersihkan ruangan itu?"
"Iya, Bi! Aku akan membersihkannya sekarang."
Amira bergegas mengambil sapu. Dia lantas menuju ke ruangan itu. Dia menata buku-buku dengan rapi. Alat tulis di atas meja diletakkan di dalam wadahnya kembali.
Tatapan matanya kini tertuju pada sebuah pigura. Dia tersenyum melihat wanita cantik yang mengenakan gaun pengantin bersama seorang pria di sampingnya. Mereka terlihat bahagia. Namun, senyumnya itu memudar karena mengingat Indah yang sangat merindukan kasih sayang ibunya.
"Kamu sangat cantik. Pantas saja Pak Ziyan masih hidup sendiri. Pak Ziyan pasti sangat mencintaimu. Semoga di sana, kamu selalu bahagia," ucapnya tulus.
Amira kembali melanjutkan tugasnya. Dia membersihkan setiap sudut di ruangan itu. Tak lupa, dia membuka kain gorden yang menutupi jendela. Cahaya matahari pagi seketika menyeruak menyinari ruangan itu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Amira terkejut seraya membalikkan tubuhnya. Dia melihat Ziyan yang berdiri di depan pintu.
"Maaf, Pak. Aku hanya membersihkan ruangan ini," jawab Amira. Dia lantas mengambil sapu dan kembali melanjutkan tugasnya.
"Mana Bi Inah? Kenapa kamu yang melakukan tugasnya?"
"Maaf, Pak. Bi Inah sedang menyiapkan sarapan. Ini bukan salah Bi Inah karena aku yang menawarkan diri untuk membantunya. Apa aku sekarang sudah bisa melanjutkan pekerjaanku?"
Ziyan hanya diam. Dia lantas duduk di kursi kerjanya sambil memerhatikan Amira yang sedang menyapu.
"Apa kemarin kamu pergi ke rumah sakit?"
Amira mengangguk. "Iya, Pak. Maafkan aku karena tidak izin dulu pada Bapak."
"Apa ibumu masih seperti itu?"
"Iya, Pak."
"Cepat selesaikan tugasmu. Lain kali kalau mau pergi, izin dulu padaku."
"Baik, Pak."
Amira kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai. Setelah itu, dia menemui Indah di dalam kamar. Gadis kecil itu baru saja bangun. Melihat Amira, dia lantas memeluknya.
Amira membawanya ke kamar mandi. Gadis kecil itu begitu menikmati kebersamaan mereka. Dia begitu manja pada Amira. Setelah mandi, Amira menyiapkan semua keperluannya. Dari baju hingga rambut yang sudah diikat rapi.
"Ayo, Papa sudah menunggu!"
Indah mengangguk. Mereka kemudian pergi ke ruang makan. Seperti biasa, Amira selalu menemani mereka sarapan. Dia tidak ingin membuat gadis kecil itu kecewa.
Amira melihat cangkir kopi di dekat Ziyan. Lagi-lagi dia terusik saat melihat lelaki itu menyeruput kopi dengan nikmatnya.
"Papa, sebentar pulang cepat, ya, Pa," ujar Indah yang terlihat manja dalam gendongan ayahnya.
"Kenapa menyuruh Papa pulang cepat? Apa Indah ingin keluar bersama Papa?"
Gadis kecil itu mengangguk. "Indah mau kita jalan-jalan. Mama juga akan ikut. Iya, kan, Ma?"
Amira terkejut. Dia terpaksa mengangguk. "Iya," jawabnya sembari menatap Ziyan yang juga menatapnya.
"Baiklah. Nanti siang kita makan siang di luar saja. Indah mau, kan?"
"Iya, Pa. Indah mau!" jawabnya seraya tersenyum.
Ziyan lantas pergi. Dia melambaikan tangan pada putrinya. Dari balik kaca spion, dia melihat Amira yang menggandeng tangan putrinya.
"Gadis itu. Kenapa putriku sangat menyayanginya?" batin Ziyan yang sama sekali tidak menyangka kalau kedekatan putrinya dengan Amira layaknya ibu dan anak.
Setibanya di kantor, dia bertemu seseorang yang kini beranjak ke arahnya. Dia tersenyum saat orang itu memeluknya.
Selly, wanita cantik dengan penampilannya yang glamor tampak tersenyum. Wajah cantik dengan bentuk tubuh yang indah, cukup untuk membuatnya menjadi pusat perhatian.
Setiap lelaki yang melihatnya pasti akan tergoda dengan kecantikannya. Sementara para wanita pasti akan iri dengan kecantikan dan keindahan tubuhnya yang proposional.
"Kenapa hari ini kamu datang terlambat? Biasanya 'kan kamu selalu datang lebih awal," ucap wanita itu manja.
Ziyan tidak menjawabnya, tetapi wanita itu tampak tak peduli dan mengikutinya masuk ke ruang kerjanya.
Tanpa diminta, wanita itu lantas duduk di depan Ziyan sembari menatap wajah tampan yang membuatnya tak berkedip.
"Kamu tahu kenapa aku meminta bertemu denganmu? Itu karena aku sangat merindukanmu." Wanita itu tampak tersenyum. Dia menatap Ziyan lekat.
"Apa sudah bercandanya?" tanya Ziyan. Sontak, wajah wanita itu terlihat cemberut.
"Hei, apa kamu tidak bisa pura-pura menyukaiku sedikit saja? Kamu tahu, di luar sana banyak lelaki yang berebut untuk bisa mendapatkanku, tapi aku tidak menginginkan mereka. Aku hanya menginginkanmu!" Selly tampak kesal hingga wajahnya memerah.
"Apa hanya ini yang ingin kamu sampaikan padaku?" tanya Ziyan yang terlihat serius. Sontak, sikap kesal Selly perlahan melunak.
"Kamu tahu 'kan aku baru pulang dari Eropa dan langsung menemuimu? Apa aku tidak bisa merindukan sahabatku sendiri?"
Selly Whardani, wanita cantik yang terlihat menggoda itu adalah sahabat Rani. Ziyan cukup dekat dengannya. Apalagi setelah kematian Rani.
Selly dengan sikapnya yang blak-blakan cukup membuat Ziyan kewalahan. Bukan hanya itu, Selly bahkan berterus terang padanya kalau dia menyukainya walau Ziyan tidak menanggapinya dengan serius.
"Aku ingin ke rumahmu dan menemui Indah. Aku ingin tahu, apa dia masih enggan padaku atau dia akan menerimaku. Ziyan, tidakkah aku pantas untuk menjadi ibunya?"
Ucapan Selly sontak membuat Ziyan menatapnya. Dia kemudian tertawa.
"Apa ada yang lucu? Ziyan, apa kamu pikir aku sedang bercanda?" Selly terlihat cemberut. Dia mengempaskan diri di kursi sofa dan menatap Ziyan yang masih menertawainya.
"Apa aku tidak bisa menjadi ibunya? Kamu tahu 'kan kalau aku sangat menyukaimu, tapi kenapa kamu selalu saja menganggapku sebagai sahabat?"
Ziyan menatapnya sekilas. Dia lantas tersenyum seraya menatap foto istrinya. "Aku hanya tidak ingin membuatmu menyesal. Selly, carilah laki-laki yang lebih baik dariku. Kamu itu sahabat mendiang istriku dan aku tidak berkeinginan untuk menjadikanmu sebagai istriku. Aku harap kamu memahami keputusanku itu."
"Aku heran dengan sikapmu. Sebenarnya, wanita seperti apa yang ingin kamu peristri? Ingat, Indah butuh figur seorang ibu dan aku mau menjadi ibunya." Selly tidak menyerah begitu saja. Wanita cantik itu berusaha meluluhkan hati Ziyan, tetapi lelaki itu hanya tersenyum padanya.
"Sudahlah, Selly. Lebih baik kamu cari lelaki lain saja karena kamu bukanlah tipe wanita yang aku suka."
Wajah Selly kembali cemberut. "Iya, aku tahu. Aku bukan wanita yang hanya bisa duduk berdiam di dalam rumah. Aku juga bukan wanita yang pandai memasak dan aku juga tidak pandai mengurus rumah. Itu 'kan maksudmu?"
"Tuh, kamu sendiri paham, kan?"
Ziyan bukanlah tipe lelaki yang suka bila istrinya bekerja di luar. Baginya, istri yang baik, yaitu istri yang bisa menjaga keluarganya. Bukan istri yang bisanya hanya keluar shoping dan menghabiskan uang suaminya.
Mendiang istrinya adalah wanita rumahan yang hanya keluar jika ada suatu hal yang penting. Selama mereka menikah, Rani tidak pernah keluar rumah kecuali saat Ziyan mengajaknya. Ziyan sangat mengagumi istrinya karena begitu perhatian dan juga menurut padanya. Dan wanita seperti Rani sangat sulit ditemuinya.
Selly tersenyum dan berjalan mendekati Ziyan. Dia begitu mengagumi pendirian sahabatnya itu. "Lalu, sampai kapan kamu akan hidup sendirian seperti ini? Sudah empat tahun Rina pergi dan selama itu pula kamu tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Ziyan, apa kamu tidak memikirkan putrimu?"
Ziyan menatap foto istrinya. Air matanya membendung saat kenangan di masa lalu kembali bermain di ingatannya. Kenangan bahagia yang membuatnya sulit untuk melupakan istrinya.
"Ziyan, aku tahu kamu sangat mencintainya, tapi pikirkan dirimu dan juga Indah. Aku yakin, Rani akan mengerti dengan keputusanmu untuk menikah lagi."
Ziyan menyeka air matanya. Dia berusaha tersenyum walau itu terlalu sulit. Hanya di depan Selly, dia bisa menumpahkan kesedihannya.
"Menangislah, aku akan menemanimu di sini," ucap Selly sambil menggenggam tangan sahabatnya itu.
Setelah tenang, Selly lantas mengajak Ziyan menemui Indah. Dia begitu merindukan gadis kecil yang sudah dianggap seperti keponakannya itu.
"Kebetulan kamu datang. Indah memintaku untuk pulang lebih awal. Katanya, dia ingin jalan-jalan. Aku berencana mengajaknya makan siang di luar," jelas Ziyan dengan antusias.
"Aku boleh ikut, kan?"
"Tentu saja boleh. Indah pasti akan senang saat melihatmu."
Di depan halaman rumah, mobil yang dikendarai Ziyan berhenti. Selly terlihat bersemangat. Dia segera keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. "Indah, Tante Selly datang!" seru Selly sambil berjalan menuju ke kamar gadis kecil itu seraya memanggilnya.
"Indah!" Selly mengetuk pintu kamar dan pintu itu pun terbuka. "Kamu siapa?" tanya Selly saat melihat Amira yang membuka pintu.
"Aku ...."
"Dia Amira." Ziyan tiba-tiba berdiri di belakang Selly. Dia kemudian masuk menemui putrinya.
"Papa!" seru Indah yang berlari ke arahnya. Ziyan lantas menggendongnya. "Papa sudah pulang?" Ziyan mengangguk sambil mengecup pipi putri kecilnya itu.
Indah kemudian memandangi Selly yang terlihat heran dengan wanita yang kini ada di depannya. Matanya tak lepas dari memandangi Amira. "Wanita ini, siapa dia sebenarnya? Wajahnya cukup cantik dan tubuhnya juga lumayan seksi. Ah, apa jangan-jangan dia ...?" Lamunan Selly tiba-tiba terusik saat Ziyan mendekatinya.
"Katanya ingin bertemu Indah, tapi kenapa kamu hanya berdiri di situ?"
Sontak, pandangan Selly teralihkan. Dia memandangi Indah yang kini dalam gendongan Ziyan. Dia tersenyum sembari mendekati mereka. "Indah, Tante Selly gendong, ya?" Selly mengulurkan tangannya untuk meraih gadis kecil itu, tetapi Indah segera memeluk ayahnya.
"Indah tidak mau!"
Selly menurunkan tangannya. Dia terlihat kecewa karena gadis kecil itu menolaknya.
"Indah mau digendong sama Mama."
Gadis kecil itu melihat ke arah Amira seraya mengulurkan tangan padanya.
Mendengar ucapan gadis kecil itu, Selly terkejut. Dia melihat ke arah Ziyan seakan ingin meminta penjelasan darinya.
Amira lantas mengambil Indah dari gendongan Ziyan dan membawanya ke halaman.
"Ziyan, apa aku tidak salah dengar? Gadis itu, apa dia istrimu?"
To Be continued...

Bình Luận Sách (154)

  • avatar
    AmeliaIca

    Bgus skli

    3d

      0
  • avatar
    ranissafiyaa

    🥹🥹🫶🏻🫶🏻🫶🏻💗💗💗✨

    29/07

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus bgt sedikit nguras emosi alur ceritanya😘

    04/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất