logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Miskin Tidak Tahu Diri!!

“Rasain lo! Udah dibilang Dema ngga mau jawab pertanyaan dari lo. Apakah itu kurang jelas???”
Luna ingin rasanya menjambak rambut Laisa, lantaran ia berani mengganggu lelaki yang dari awal masuk sekolah menjadi incarannya. Dia sudah mengamati gerak-gerik mereka berdua semenjak terlihat berdua di kantin tanpa ada seorang pun yang berada di sekitarnya. Dari belakang tembok, ia juga merekam apa yang mereka bicarakan.
“Udah cukup! Lo apaan si Luna. Ini juga bukan urusan lo!”
“Demaa, gue berusaha belain lo dari perempuan nggak tahu diri ini!!”
“Gue ngga perlu dibelain!”
“Dem, udah jelas-jelas dia salah masih aja lo belain dia?”
Dema mengelengkan kepala, heran dengan kelakuan Luna yang sebenarnya. Meskipun Luna bisa dibilang cantik, dan menjadi idaman beberapa kakak kelas, namun bagi Dema ia hanya perempuan biasa yang sangat tergila-gila dengan cinta. Ia juga cukup menyesal membiarkan Luna menduduki bangku Laisa.
“You like childish!!!”
Dema pergi selonongan meninggalkan mereka berdua dan kekacauan yang terjadi. Banyak siswa yang berusaha ingin tahu lalu berlarian menuju kantin sekolah. Banyak yang mencibir Laisa, berbicara dengan sesama teman tentang keburukan Laisa, dan ada pula yang melakukan live streaming kejadian tersebut di akun instagramnya. Shitt!
“Gue peringatin sama lo, jangan pernah mendekati Dema lagi. Lo harusnya sadar diri. Lo miskin dan tidak punya apa-apa yang membuat Dema bisa fall in love with you!”
“Cukup Luna!!”
Laisa membalas perkataan Luna. Ia tidak terima dengan apa yang perempuan kemarin sore itu katakan.
“Lo mulai berani dengan gue yah. Apakah gue perlu membocorkan semua yang terjadi tentang keluarga lo ke semua siswa disini? Biar lo tahu rasa?”
Luna mengancam.
“Kamu tidak tahu apa-apa tentang ini. Apa tadi perkataanmu tentang cinta. Nooo.. I willn’t fall in love with Dema. Silahkan ambil saja!”
CETAARR!
Luna memberi tamparan dengan begitu keras.
Laisa juga membalas dengan tamparan serupa. Biar pun saat ini ia malu, tetapi mempertahankan harga diri adalah ajaran dari orang tuanya. Ia tidak akan tinggal diam untuk siapapun yang berusaha merendahkan martabat keluarganya.
Luna menampar Laisa tepat di bagian pipi kanannnya. Menghasilkan warna kemerahan di sekitarnya. Sontak semua siswa semakin ramai berdatangan. Ada siswa yang memanggil guru BK untuk menangani hal tersebut. Anan yang baru saja melihat kejadian langsung membuka jas sekolah yang dikenakan untuk menutupi badan Laisa yang terkena siraman air teh. Ia melindungi Laisa dari sorotan kamera dan dari Luna.
“Udah Lay, udah... jangan di ladenin lagi. Biarkan saja dia.” Ucap Anan.
“Ingat ya, aku tidak akan melupakan kejadian ini!”
Laisa ingin membalas lagi, tetapi dihadang oleh Anan. Ia langsung di bawa pergi oleh Anan. Dua orang guru BK laki-laki dan perempuan nampak membubarkan massa yang masih berada di tempat kejadian. Luna masih muak dengan tamparan Laisa, begitu pula dengan ungkapan Dema yang tidak berterimakasih sudah ditolong. Ia akhirnya kembali ke kelas dan nada marah-marah.
***
Laisa dibawa pergi oleh Anan menuju ruang OSIS, tempat dimana Anan biasa menghabiskan waktu istirahatnya dengan magang di organisasi itu. Waktu itu ruang OSIS masih sepi, belum ada anggota yang lain, sehingga bisa dijadikan tempat untuk Laisa bersembunyi sementara. Anak-anak juga banyak yang mencari keberadaanya, masih penasaran dengan apa yang sebetulnya terjadi.
“Ada apa hey?”
Laisa masih diam. Dia terlihat malu kepada Anan. Jas warna hijau army milik Anan masih dipakainya. Laisa juga menangis dan merasa bersalah atas apa yang baru saja dilakukannya. Ia menyesal. Seharusnya tidak melakukan hal semacam itu. Bagaimana kalau masalah ini berlanjut hingga ke orang tuanya. Pasti ia akan membuat ibu sangat kecewa. Lagipula, ia juga anak beasiswa yang seharusnya memberi nama baik untuk sekolah. Kini yang ada di pikiran Laisa hanyalah perasaan menyesal dan overthinking yang cukup berlebihan.
“Udah – udah. Nanti ceritanya kalau sudah agak membaik ya. Sekarang kamu ke kamar mandi gih! Bersihkan semua noda dan pakai jasku saja.”
“Anan, seharusnya aku tidak melakukan hal itu.”
Ia sesenggukan lagi. Menggigit bibir bagian bawahnya sembari mengeluh menyesal.
“Sudah tidak apa-apa, itu hanya kecelakaan kecil. Tidak ada yang ingin hal itu terjadi.”
“Anan..”
Laisa memanggil nama laki-laki yang hanya mengenakan seragam putih abu-abu tanpa jas ini. Ia menatap dengan embun yang masih ada di matanya. Bersyukur memiliki sahabat sepertinya. Ia sudah menganggap Anan kakak, sekaligus orang yang sangat ia sayangi. Anan tersenyum dan berusaha menangkan perempuan kecil ini. Meski mereka berada di jenjang yang sama, hakikatnya Anan lahir lebih dulu dari Laisa dengan jarak satu tahun.
“Iya, cepat Laisa. Sebentar lagi bel masuk akan berunyi. Nanti kamu bisa terlambat masuk kelas.”
“Baiklah. Terimakasih Anan.”
Akhirnya Laisa mengganti pakaiannya di kamar mandi ruang OSIS. Ia sesekali masih terdengar sesenggukan atas peristiwa tadi. Laisa yang biasanya tidak semudah itu menangis karena orang lain, lantaran peristiwa tadi menyangkut pautkan dengan identitas keluarga, maka Laisa terbawa oleh keadaan.
***
Anan mengantar Laisa ke ruang kelasnya. Ia memperingatkan teman-temannya untuk sementara jangan mengejek atau mencemooh Laisa. Ia butuh waktu untuk memulihkan keadaan batinnya. Arumi, kawan sebangkunya hanya berusaha menenangkannya. Ia mengusap bahu Laisa dan memintaa untuk bersabar. Arumi tidak tahu jika kejadiannya akan separah itu.
Sementara itu, Dema hanya sesekali menoleh ke belakang, memastikan jika Laisa masih baik-baik saja. Ia merasa bersalah meninggalkan dia sendirian waktu itu sehingga menjadi bahan ejekan Luna. Dema juga tidak ingin banyak berbicara dahulu. Ia sangat memahami kalau tipe perempuan seperti Laisa sangat ingin waktu untuk sendiri di saat seperti ini.
Luna yang duduk di sebelah Dema seperti tidak ada rasa bersalah. Dia sibuk dengan make up tebalnya dan sesekali memperlihatkan senyuman kepada Dema tanpa ada perasaan khawatir dengan keadaan Laisa, membuat Dema merasa risih dengannya.
“Selamat siang anak-anak”
“Selamat siang Bu!” Serempak kelas X MIPA 1 itu menjawab.
“Jujur ibu sebagai wali kelas sangat menyayangkan kejadian yang dilakukan oleh teman kalian tadi. Semoga tidak akan diulangi lagi oleh yang lainnya ya.”
“Baik Ibu.”
Mendengar perkataan itu, Laisa menunduk. Ia malu kepada Ibu Raya yang memberi kepercayaan kepadanya untuk mengikuti Olimpiade Nasional. Laisa tidak tahu apakah ia akan tetap diperbolehkan mengikuti lomba setelah terjadinya kasus ini.
Di luar terlihat ada guru laki-laki dan perempuan meminta izin memasuki kelas. Ia ingin memanggil beberapa siswa untuk menghadap.
“Siswa atas nama Luna, Laisa dan Dema silahkan bisa ikut saya ke ruang BK!”
Ucap seorang guru laki-laki.

Bình Luận Sách (116)

  • avatar
    Dav

    mantap sangat seru dan menarik jadi ga bosen sama novel ini mah semoga bermanfaat buat semua orang lain 😁😁😁😁😁😁😁💗💗😁😁😁💗💗💗💗💗😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😃😃😃😃😃😃😃😃😃😃🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄😄😄😄🗿 🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄😄😄😄😄😄😄🗿😄🗿😄😄😄🗿😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄🗿🗿🗿🗿🗿

    26/08

      0
  • avatar
    MichelleYan

    terharu dengan cerita nya

    19/08

      0
  • avatar
    AfnaniRafi

    bagus

    04/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất