logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 2

Shirin berakhir kembali ke kelasnya ketika bel masuk akan berbunyi lima menit lagi. Ia mengatur ekspresi, dan berusaha untuk meluoakan kejadian aneh tadi. Tepat saat bel masuk berbunyi, Mia dengan rusuh datang memasuki kelas dan duduk di sampingnya.
"Rin, tadi lo PDKT sama Kak Abi, ya?" Mia berbisik seraya mencolek lengan Shirin dan memainkan kedua alisnya menggoda. "Pepet terus, Rin! Nanti diambil orang!"
Wajah Shirin sontak memanas, pikirannya teralihkan seketika. Ia menyembunyikan wajah di balik buku novel, lalu mengelak. "Ih, apaan, sih? Orang enggak."
"Halah, orang tadi gue liat lo lagi ngobrol sama Kak Abi."
Memutar bola mata, Shirin mendesah, "Cuma kenalan doang, udah."
"Masa?" Mia menelisik.
Shirin melirik Mia malas. "Iya, Miaaa. Pas lo pergi sama Kak Atha buat kumpulin jurnal, dia juga langsung pergi ke kelasnya."
"Ajak sarapan bareng di kantin kek, Rin, astaga!" Mia mengepalkan kedua tangannya gemas. "Atau ajak nongkrong di lapangan, siapa tau kalian bisa deket. Mumpung katanya, Kak Abi lagi gak ada pasangan ataupun gebetan."
Shirin mendelik. "Idih, ngapain? Kurang kerjaan."
"Itu namanya perjuangan, bambang. P-D-K-T!" Mia mencubit pipi Shirin gemas dan membuat si empunya mengaduh sakit. "Lo itu membosankan banget, sih!"
"Ya, beginilah gue," jawab Shirin. Lalu, kembali mengalihkan perhatian pada buku.
Mia mendesah jengah. "Aduh, pantes aja lo gak punya temen selain gue."
"Gak masalah, yang penting masih ada elo." Shirin masih menyahut tak mau kalah, ia kembali fokus pada buku.
"Ya, gue tersanjung, sih. Tapi," Mia menutup buku itu dan merampasnya asal, serta wajahnya berubah datar. "Lo gak bisa bergantung sama gue terus, Shirina Haruki."
Shirin memandang mata emas Mia beberapa lama. Hingga akhirnya, ia menghela napas dan mengambil kembali bukunya. "Gue bisa sendiri, kok."
Mia memutar bola matanya, terlihat sangat jengah. Namun, ia tak berkata apa pun, karena Bu Dewi selaku guru Geografi sudah memasuki kelas. Baiklah, sepertinya Shirin harus berterima kasih pada Bu Dewi yang datang cepat kali ini.
***
Lagi-lagi, Mia ada kegiatan bersama anggota klub jurnalis. Maka dengan terpaksa, Shirin harus ke kantin dan makan sendiri.
Shirin duduk sendirian di pojok kantin. Semangkuk bakso dan segelas es teh manis ada di meja. Ia menyendok dan memakan bakso itu perlahan.
"Hai, Rin!" Seorang gadis menyapanya ramah, lalu seenaknya duduk di hadapannya. "Makan apa? Bakso?" Ia bertanya retoris.
Shirin hanya mengangguk dan tersenyum canggung.
"Gak sama Mia?" Gadis berambut cokelat itu bertanya lagi. Ia Stevany, teman sekelasnya yang lumayan famous di sekolah.
Yang ditanya hanya menggeleng.
"O-oh, gitu?" Stevany menggaruk tengkuknya, dan mulai tak tahan dengan kecanggungan yang melanda. Ia melirik sekitar, kemudian menghela napas kala melihat Joy—teman sebangkunya yang berambut pendek—berjalan menuju warung mie. Gadis itu menoleh pada Shirin. "Kalo gitu, aku duluan, ya?"
"Iya," jawab Shirin. Ia hanya memandang punggung Stevany yang menghampiri Joy.
"Joy!" Vany berseru seraya melambaikan tangan.
"Eh, Vany!" Joy balas melambai. Ketika Stevany sudah ada di dekatnya, ia melirik ke belakang di mana Shirin sedang makan. Ia kemudian memelankan suaranya. Namun, tentu saja Shirin masih bisa mendengar. "Lo ajak dia ngobrol lagi?"
"Iya, habisnya dia sendirian tadi." Stevany balas berbisik. "Cuma penasaran aja, sih."
"Terus, gimana?"
"Kaku banget, asli."
"Tuh, ‘kan."
Shirin hanya diam, berusaha menelan makanan yang ada di mulutnya. Tiba-tiba, selera makannya hilang.
Apa semua orang memang seperti itu—ketika temannya sedang duduk sendirian di tempat umum? Mengajak begitu? Jika benar-benar teman … tetapi mereka tetap pergi begitu saja tanpa memedulikan perasaannya.
Shirin menggeleng, berusaha acuh, dan segera menghabiskan makanannya. Kemudian, ia meletakkan uang tiga belas ribu di atas meja, meraih ponsel dan buku kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana seraya memasukkannya ke dalam saku rok. Gadis itu pun melenggang pergi, hingga …,
Bruk!
Shirin mengaduh kala ia menabrak bahu seseorang hingga terhuyung. Namun, ia terpaku saat tubuhnya sudah condong hampir menubruk lantai. Sebuah tangan kekar menahan lengannya. Namun, tanpa menatap si empunya tangan, Shirin bergumam, "Ma-maaf, permisi."
Kemudian tanpa berniat tahu siapa yang ia tabrak, Shirin melenggang pergi—hingga hilang begitu saja tertelan keramaian koridor.
***
"Lo udah ngerjain PR Biologi, Ath?" Abi bertanya saat ia dan kedua sohibnya berjalan bersisian menuju kantin.
Atha mengibaskan poninya ke belakang. "Ya udahlah. Gue 'kan, murid teladan."
"Murid teladan bapak lo salto." Cowok berkacamata yang di sampingnya mencibir, acuh tak acuh sembari membersihkan kacamatanya.
"Terserah gue, Bujang. Sirik aja, lo," sahut Atha sambil menoyor kepala kedua temannya itu bergantian. "Btw, lo udah lebih rapi, Al."
"Iya, bener." sahut Abi, "Emang tadi pagi lo habis ngapain? Acak-acakan banget sampe ditegur Bu Gina."
Yang dipanggil Al hanya mengangkat bahunya. "Cuma ngeberesin orang-orang yang nyari masalah." katanya, lalu kepalanya kembali ditoyor oleh Abi. Aldiaz berdecak. "Apaan, sih, Bi?"
"Lagian ribut mulu, lo, jadi orang."
"Itu namanya laki."
"Iyain aja, Bi." bisik Atha.
Abi mengangguk. "Iya."
Berikutnya, terjadi hening selama sisa perjalanan mereka.
Bruk!
Baru saja selangkah kaki Atha memasuki kantin, seorang gadis menubruknya dan melewatinya begitu saja. Atha sedikit terhuyung. Namun, dibantu Abi.
Sementara Aldiaz terdiam memandang gadis yang lengannya ia cengkeram karena hampir terjatuh.
"Ma-maaf, permisi." Suara Shirin lebih seperti bisikan, dan cepat-cepat melepaskan diri dari Al dan berjalan pergi.
Aldiaz yang masih setengah sadar mengerjapkan mata. Saat ia berkedip, gadis itu sudah hilang tertelan keramaian koridor. Aldiaz menyunggingkan senyum manis. "Eh ... udah jelek, gak sopan lagi." cibirnya dengan suara yang sangat pelan.
"Oy, cewek! Liat-liat, dong!" Abi menoleh dan menyahut tak terima pada gadis yang pergi begitu saja.
Mata Atha menangkap sebuah buku kecil berwarna hitam yang tergeletak di lantai koridor. Ia mengambil buku itu dan menoleh ke belakang. Matanya mencari keberadaan gadis yang menabrak dan menjatuhkan buku itu. Namun, tidak ada. Gadis itu sudah pergi entah ke mana.
Al mendekat dan meneliti buku berukuran kecil di tangan Atha itu. "Buku apaan, tuh, Ath? Death note?"
"Ye, si kambing kebanyakan nonton anime." Abi menoyor kepala temannya itu.
"Gak tau," jawab Atha sambil meneliti sampul buku itu. Ia pun membukanya dan membaca halaman pertama.
Dear Diary
Kuizinkan siapa pun datang dan pergi. Tak peduli mereka hanya singgah ataupun menetap di hati.
"Anjing!" Atha menutup buku itu dengan sekali hentakan—membuat kedua teman di sampingnya berjenggit kaget.
"Kenapa, Ath? Beneran Death note?" Abi penasaran.
"Death note bapak lu kawin lagi! Ya, bukanlah."
"Idih, amit-amit." Abi mengusap dadanya mendengar serapahan Atha. Ia balas mencibir, "Serapahan lo gak ada yang bagus, Ath. Gak berkualitas."
Mata Atha menyipit. "Gak apa-apa, yang penting gue masih waras."
"Terserah lo, Bujang." Aldiaz malah menguap malas.
"Ya, terus itu buku apaan, Udin?" Abi berdecak kesal.
"Sabar," cibir Atha dengan tidak seperti biasanya, ia berekspresi serius, lalu berkata, "Ini diare."
"Hah? Obat diare?" Kini giliran Al yang mengernyit bingung. Namun, Atha menggeleng.
"Resep obat diare?" tanya Abi.
Atha masih menggeleng. "Bukan, woy. Ini diare, dear diare."
"ITU DIARY, BUJANG!"

Bình Luận Sách (353)

  • avatar
    gaming 20rafa

    aku membaca sangat seru

    23/06

      0
  • avatar
    Bunga Maulia

    bagus

    05/06

      0
  • avatar

    🙂 🙂

    17/04

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất