logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 6 Jujurlah

Terdengar suara shower dari arah kamar mandi. Mungkinkah dia yang kucari sedang membersihkan dirinya di sana? Langkahku tergesa, rasanya ingin mencabik lelaki pengkhianat itu.
Kugedor pintu kamar mandi dengan tidak sabar. “Buka!” teriakku menggelegar di ruang kamar.
Suara sower pun terdengar berhenti. Tidak lama pintu kamar mandi terbuka.
"Ada apa ini?" tanya sosok lelaki berlilitkan handuk dipinggangnya menyembul dengan air yang masih menetes dari rambut.
Mataku membelalak tidak percaya dengan apa yang terlihat. Dia bukanlah Andre suamiku. Lalu dimana dia? Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa seperti ini? Rentetan pertanyaan mendesak jawaban di otakku. Kepala ini benar-benar berasa mau pecah.
"Tidak, tidak …." Kuremas kepala dan tubuh merosot ke lantai.
Kalau seperti ini, aku bisa frustasi. Ya Tuhan, tolonglah!
"Makanya jangan asal masuk! Dasar wanita gila!" Umpat wanita yang kutampar tadi.
"Saya bisa laporkan Anda atas perbuatan yang tidak menyenangkan," gertak lelaki yang masih berdiri di depanku.
"Maaf, ini sepertinya salah paham. Kita bisa bicarakan baik-baik," usul manajer yang sedari tadi menyaksikan kekacauan.
“Hah, jangan harap!” timpal wanita itu.
“Tunjukkan bukti kalau kalian suami istri!” titahku seraya bangkit.
“Kenapa harus?” sinisnya.
“Kalau tidak bisa, kita anggap saja kejadian ini tidak pernah ada. Kalau kalian mempermasalahkannya, saya juga bisa menyerang balik dengan tuduhan perzinahan."
“Baiklah. Tapi lain kali jaga sikap Anda. Saya benar-benar tidak nyaman dengan ini. Silahkan Anda keluar!” usir lelaki itu kemudian menyambar pakaiannya di atas ranjang.
“Tunggu! Lalu kenapa, pemesan kamar bisa atas nama Andre?”
“Kenapa? Jelas, Andre adalah nama saya.”
Lelaki itu kemudian mengelurakan sebuah kartu identitas dari dompetnya. Benar saja namanya, Andre Hirata.
Aku keluar kamar dengan lunglay. Lututku masih gemetaran. Sungguh tidak percaya dengan apa yang kusaksikan barusan. Harusnya tidak meleset lagi. Kenapa susah menangkap basah Andre dan gundiknya? Apa aku benar telah salah paham? Tapi isi chat itu?
“Bu, maaf ini tas Anda,” ujar manajer front office menyadarkanku dari kalutnya pikiran.
"Oh, terima kasih. Pak, saya mohon jangan sampai kejadian ini bocor pada siapa pun. Pastikan juga petugas di loby tadi tutup mulut. Kirimkan nomer rekening Anda ke nomer ini!” Aku bernegosiasi dan memberikannya sebuah kartu nama.
“Siap, Bu. Akan saya jamin itu tidak akan terjadi.” Dia meyakinkanku.
**
“Tuh, Mama sudah pulang,” tunjuk Salma.
“Mas?” mataku melebar saat mendapati Andre sedang bersantai memainkan game depan Tv.
“Eh, sayang sudah pulang?” tanyanya.
“Iya.”
“Oya, yuk kita makan malam bersama. Sudah lama rasanya kita tidak melakukannya semenjak kamu sibuk di dunia artis,” ujarn Andre.
Aku, Andre dan anak-anak pun berkumpul di meja makan.
"Ini Mas yang masak?"
"Bukan. Tadi pesan di restauran. Kami sengaja belum makan karena menunggu kepulanganmu. Kata Salma, tadi sudah pulang ya? Tapi ada yang tertinggal, jadi mama balik lagi."
“Iya. Naskah buat besok ketinggalan.” Lagi-lagi aku berbohong.
"Oh. Yuk kita makan. Nanti keburu dingin," ajaknya.
Melihat betapa anak-anak selalu bahagia bersama papanya membuatku tidak rela andai suatu saat perselingkuhan Andre terbongkar. Aku tidak siap kehilangan momen ini. Lalu aku harus bagaimana, ya Allah? batinku.
Usai makan malam kami bersantai di depan tv sambil bincang-bincang.
“Mah, besar nanti jadikan aku kuliah di UCLA?” tanya Salma bersemangat.
“Wih, ada yang yang mau kuliah ke Amerika nih,” timpal Andre.
“Sayang, kamu itu baru saja kelas lima SD. Masih lama banget," ujarku.
"Iya, mah. Tapi pokonya besar nanti pengen kuliah di UCLA," kukuh Salma.
"Iya. Kalau begitu Salma yang rajin belajar dan sekolahnya biar tambah pintar. Setahu mama, UCLA terkenal ketat banget lho, dalam menyeleksi calon mahasiswanya.”
“Oya, mama sampai terjun lagi ke dunia film itu demi kamu, Sayang. Kata Mama mau menabung dari sekarang buat biaya kuliah nanti," terang Andre.
"Serius Mah, demi aku? Wah, kalau begitu aku harus terus dukung Mama nih."
"Kok cuma demi Kakak doang?" protes Nadira.
"Demi kamu juga Sayang tentunya," jelasku.
"Kenapa sih, Kakak mau banget kuliah di UCLA?"
"Ya keren Adek. Tahu James Franco ‘kan? Itu yang main film Spiderman. Dia juga alumni UCLA, lho. Dan hebatnya lagi di skala internasional universitas ini ada di peringkat ke-13 dari 400 universitas yang ada di dunia menurut London Times Higher Education.”
"Anak Papa pintar sekali pengetahuannya. Tahu dari mana, Sayang?"
“Ya sering bacalah, Pah. Banyak bertebaran artikel di internet."
"Tidak terasa ya Mah, anak-anak kita sudah tumbuh sebesar ini. Pada pinter-pinter lagi."
"Iya, Pah. Sayang sekali ….”
"Sayang sekali apa Mah?" tanya Nadira.
“Sayang sekali sekarang Mama malah ikut sibuk bekerja. Sehingga waktu bersama kalian menjadi sedikit."
"Kita ‘kan masih bisa sarapan bareng, makan malam bareng. Terus hari libur kita bisa habiskan waktu seharian," ujar Salma.
"Terima kasih Sayang karena selalu berusaha mengerti posisi Mama."
"Tenang saja, Mah. Masih ada Papa yang bisa antar jemput kami, pulang kerjanya lebih cepat lagi. Papa ‘kan bosnya di kantor, jadi bisa bebas kerjanya," celetuk Nadira.
"Bos juga tidak bisa bebas kerja gitu aja, Sayang."
"Hehe …." Ia tertawa.
Usai bercengkrama, sekarang waktunya kami semua beristirahat. Salma dan Nadira sudah masuk kamarnya. Aku dan Andre pun beranjak ke perpaduan.
“Sayang, olah raga malam yuk?” ajaknya sambil memelukku.
“Aku cape, Mas.”
“Mas, merasa kamu kok berbeda akhir-akhir ini? Selalu bilang cape kalau diajak hubungan."
"Aku benar-benar cape, Mas!"
"Apa sih kerjanya artis selain syuting pulang malam? Sampai selalu kecapean," sinisnya.
"Apa maksud kamu, Mas?" nadaku naik satu oktaf.
"Terus sampai kapan kamu akan terus menolakku?" Nadanya juga meninggi. “Kamu di luar sana benar hanya syuting ‘kan?” selidik Andre.
“Haha … seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa di kantor kamu benar-benar kerja?” tawaku menyeringai.
“Ya, kerja lah. Meski usahaku kemarin hampir bangkrut, tapi bisa terselamatkan karena ada yang berinvestasi. Bahkan sekarang perusahaanku semakin berkembang.” Bangganya.
“Mas, apa ada yang kamu sembunyikan dariku? Apa kamu memiliki rahasia?” tekanku.
“Maksudmu apa? Kenapa kamu mengalihkan bahasan. Kenapa aku dituduh?”
“Dituduh? Jadi kamu merasa dituduh, Mas? Memang apa yang sudah kamu lakukan tanpa sepengetahuanku?" desakku.
"Jangan menyudutkanku tanpa alasan! Aku pulang kerja tepat waktu. Bahkan waktuku lebih banyak untuk anak-anak. Kamu tidak pernah kehilangan malammu ‘kan? Satu lagi, apa pernah penghasilanku berkurang tidak jelas? Cek saja rekeningku, aku tidak pernah mengeluarkan kecuali untuk kebutuhan kita semua," paparnya.
Pengakuannya memang masuk akal. Seharusnya kalau dia punya gundik, saldo di rekeningnya akan terkuras. Atau setidaknya ada jejak pengeluaran tambahan. Tapi, aku tidak boleh goyah, isi chat itu sudah lebih dari bukti. Batinku.
"Lebih baik kamu jujur saja, Mas! Kalau kamu jujur dan berjanji tidak akan mengulanginya, pasti akan kumaafkan. Aku kasih kamu satu kali kesempatan."
"Jujur apa? Apanya yang harus kuakui? Kenapa harus butuh maaf darimu?"
"Jadi kamu tidak mau jujur, Mas?"
"Kamu jangan coba-coba memutar balikan fakta ya! Apa kamu punya hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dengan artis muda itu?"
"Jujur Mas! Jujurlah!" Aku tidak menghiraukan serangan baliknya. Toh aku dan Riza murni hanya rekan kerja.
Wajar jika dia pernah mengantarkanku pulang karena memang arah jalan rumah kami searah. Waktu itu mobilku mogok tiba-tiba. Padahal malam sudah larut.
"Kamu yang harusnya jujur padaku!" bentaknya.
"Kamu bentak aku?" pekikku.
"Maaf Sayang, Mas tidak bermaksud," sesalnya.
Terlambat. Aku yang memang sudah berapi sejak lama saat mendapati bentakannya membuat emosiku meledak. “Brengsek kamu, Mas!”
“Kamu mengatakanku brengsek hanya gara-gara bentakan?” Andre tidak terima.
“Ya, kamu memang brengsek!”
Aku turun dari ranjang hendak meninggalkannya di kamar. Saat ini aku benar-benar muak melihat wajahnya yang penuh kepalsuan. Andre dengan cepat mengejarku dan mencekal pergelangan tanganku kuat-kuat.
“Kamu mau kemana, hah?”
“Lepaskan!” titahku.
Andre malah menarik tanganku kasar dan mendorong tubuh ini kembali ke atas ranjang. Aku meronta hingga tidak sengaja menendangnya dan ia tersungkur ke lantai. Kuturun kembali berlari menuju pintu kamar yang sudah terbuka. Tapi Andre menangkap kakiku dan aku ikut tersungkur. Kuraih meja rias untuk bangkit, Andre semakin kuat mencengkram.
Praang… klotak ... botol parfum dan alat kecantikan berjatuhan dari atas meja rias.
“Mah, Pah, kalian kenapa?” tegur Salma tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar kami dengan mata berkaca-kaca.
***

Bình Luận Sách (144)

  • avatar
    RahayuSingku

    Ceritanya memberi kita pelajaran apa itu sebuah balas dendam? Sumpah ni novel keren banget. rugi klo gak baca. best author 👍👍👍

    07/05/2022

      0
  • avatar
    Arga Ahsanul Hakim

    Nice

    19d

      0
  • avatar
    Cepot Bouble

    sangat kerennya

    19d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất