logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Kepergian Mama

Part. 5
"Aku mau putus sama kamu, Rani."
Suara berat Mas Adam terdengar bak petir di siang bolong. Menyambar tanpa ampun.
"Tapi kenapa, Mas? Apa salahku?" suaraku mulai bergetar. Butiran bening dengan segera membanjiri kedua mataku tanpa permisi. Aku mencoba untuk tegar, namun aku tidak sanggup.
"Aku mencintai wanita lain," jawab mas Adam dengan wajah tanpa ekspresi. Dia memandangku dingin seolah menandakan bahwa memang dia sudah tidak mencintaiku lagi.
Seketika lutut ku lemah. Aku terduduk di samping kaki mas Adam. Tangis ku pecah. Sekujur tubuhku seketika lunglai seperti tidak bertulang. Aku tidak sanggup berkata apapun lagi. Hanya suara tangis ku yang menghalau keheningan di antara kami.
° ° ° ° °
"Ran, Rani .... " sayup ku dengar suara papa memanggilku.
"Rani? Bangun, Nak."
Suara papa terdengar semakin jelas. Aku merasakan tubuhku terguncang perlahan.
"Rani, bangun. Ini Papa sudah panasin rawon kesukaan mama kamu, di makan ya Nak, mumpung masih hangat," ujar papa lagi.
Aku perlahan mencoba membuka kedua mataku. Aku mengucek kedua mataku yang masih terasa lengket dan berat. Aku mencoba mengamati sekelilingku. Tidak ada mas Adam disini. Di rumah ini hanya ada aku dan papa yang terlihat sibuk menyiapkan makan malam di meja makan. Apa tadi aku hanya bermimpi?
"Astagfirullah, Rani ketiduran ya, Pa?" tanyaku pada papa yang terlihat masih sibuk dengan kegiatannya di meja makan.
"Iya, Nak. Dari tadi siang kamu ketiduran di situ. Papa mau bangunin kok kasihan liat kamu. Sepertinya kamu lelah sekali," jawab papa sambil terus fokus menyiapkan makan malam kami.
Hatiku yang lelah, Pa. Lelah menerka apa sebenarnya yang terjadi antara mama dan Mas Adam. Aku menjawab perkataan papa dalam hati.
Aku menyeka keringat yang mengalir di wajah dan leher ku. Ada rasa lega di hatiku begitu menyadari bahwa kejadian tadi hanyalah mimpi. Tapi, mengapa rasanya begitu nyata?
Mungkin karena aku terlalu banyak menangis sampai kelelahan dan ketiduran di sofa ruang tamu. Perlahan aku bangkit berdiri dan menghampiri papa yang sudah menungguku di meja makan.
Aroma rawon panas menyeruak masuk dalam indera penciumanku. Seketika aku merasakan lapar yang teramat sangat.
"Hmmm, Rani laper banget, Pa," rengekku pada papa. Persis seperti bocah yang merengek minta makan.
"Ayo makan dulu, Rani."
Aku duduk di meja makan. Semua sudah tersedia. Ternyata papa tidak pernah berubah sejak dulu, papa yang selalu memperhatikan aku. Aku merasakan begitu bahagia di dekat papa. Ternyata selalu ada laki-laki yang akan terus mencintaiku dengan tulus, dan dia adalah papaku, cinta pertamaku.
Tok! Tok! Tok!
Belum lagi aku sempat menyuap makanan ke mulutku, terdengar pintu di ketuk oleh seseorang, entah siapa.
"Biar papa yang bukakan pintunya, Nak," ujar papa sambil bangkit dari kursinya.
Tidak lama kemudian, papa masuk bersama mama dan mas Adam. Seketika nafsu makanku hilang melihat kedatangan mereka berdua.
Darimana saja mas Adam dan mama? Kenapa jam segini mama baru sampai di rumah? Aku pandangi mas Adam dengan pandangan penuh tanya. Namun aku berusaha bersikap senormal mungkin di hadapan mereka, seolah aku tidak mengetahui apa-apa.
"Kebetulan sekali kalian datang, mari makan bersama. Aku bawain kamu rawon, Yasmin. Kamu bilang di whatsapp kalau kamu kurang enak badan, 'kan?" ajak papa pada mama dan mas Adam.
Mama hanya berdiri mematung melihatku di meja makan. Seketika suasana berubah menjadi beku.
"Aku nggak mau makan. Nggak nafsu!" setelah berucap seperti itu, mama kemudian berlalu menuju kamarnya.
Papa hanya bisa terperangah melihat tingkah mama itu. Kemudian, papa mengajak mas Adam untuk makan bersamaku. Awalnya mas Adam menolak makan bersama kamu, tapi papa terus membujuknya, hingga akhirnya mas Adam pun luluh pada ajakan papa. Entah mengapa, aku tidak bisa bersikap biasa saja kepada lelaki yang pernah dengan sangat aku aku cintai ini. Ada rasa benci di hatiku tiap kali aku melihatnya. Namun semua tidak mungkin aku ungkapkan saat ini. Semua akan ada masanya, kebusukan mama dan mas Adam akan terbongkar nyata di hadapan semua orang!
🥀🥀🥀🥀🥀
"Nak Adam, kapan kamu mau melamar Rani? Bukankah kalian sudah sejak lama berpacaran? Apakah kamu tidak ingin membawa Rani ke jenjang yang lebih serius?" tiba-tiba papa menanyakan hal itu pada Mas Adam di sela-sela makan malam kami. Membuat Mas Adam terkejut dan salah tingkah.
"Melamar? Oh, itu—"
Mas Adam gugup menjawab pertanyaan dari papa.
"Apalagi yang kamu tunggu, Nak Adam? Kamu 'kan sudah punya pekerjaan bagus, keluargamu juga sudah mendukung hubunganmu dengan Rani. Terutama alm. Papamu juga mengharapkan Kamu ubtuk menikah dengan Rani. Usia kalian juga sudah matang untuk segera menikah. Papa harap kamu bisa segera menikahi Rani. Atau kalau tidak—"
"Kalau tidak apa, Om?" tanya mas Adam cepat.
"Lebih baik kalian putus saja kalau memang belum ada niat serius ke arah pernikahan," jawab papa. Mas Adam diam terpaku. Dia memandang ku, namun segera ku buang pandanganku dari wajahnya.
Aku gamang. Entah apa yang harus aku katakan pada papa. Jujur saja, keinginanku untuk menikah dengan mas Adam saat ini sudah tidak ada lagi. Hatiku ragu untuk melanjutkan hubungan ini ke jenjang pernikahan. Sebelum semuanya menjadi jelas di hadapanku.
"Beri Adam waktu, Om. Karena menikah itu urusan jangka panjang. Adam nggak mau terburu-buru memutuskan untuk menikah, Om," jawab mas Adam dengan tatapan lekat ke arahku.
Aku hanya bisa menunduk untuk menghindari pandangan mata mas Adam yang seolah membiusku. Aku tidak sanggup melihat tatapan matanya yang seolah menghujam jantungku.
"Mau sampai kapan kamu minta waktu, Adam. Apa waktumu selama dua tahun ini kurang? Jangan bilang kamu punya perempuan lain di belakang Rani," ujar papa tanpa basa-basi.
"Uhuk!"
Mas Adam tiba-tiba batuk dan sedikit menyemburkan makanan yang ada di mulutnya. Kenapa dia sangat terkejut dengan ucapan papa barusan? Kenapa mas Adam tersedak begitu mendengar perkataan papa tentang perempuan lain?
"Pe-Perempuan lain? Ng-nggak ada, Om!" sanggah Mas Adam cepat sembari membersihkan mulutnya yang belepotan dengan tisu. Tapi dari nada bicaranya aku tahu dia sedang berbohong.
Munafik kamu, Mas! Nyata-nyata kamu menjalin hubungan dengan mamaku sendiri di belakangku! Jerit ku dalam hati.
Aku tidak tahan lagi. Aku beranjak dari meja makan sebelum menghabiskan seluruh makananku. Nafsu makanku tiba-tiba hilang sama sekali!
"Rani! Habisin dulu makananmu!" teriak papa mencoba memanggilku.
Namun aku terus berlari menuju kamarku. Mengunci pintu lalu menghujamkan tubuhku ke atas kasurku. Aku benamkan wajahku di atas bantal lalu menangis sekeras-kerasnya.
"Munafik!" teriakku ketika wajahku sudah tenggelam dalam bantal empukku. Aku yakin tidak akan ada siapapun yang bisa mendengar teriakanku selain diriku dan Tuhan.
Hatiku sakit. Ada rasa ingin memberontak dan membongkar perselingkuhan antara mama dan mas Adam. Tapi aku masih punya hati nurani. Aku tidak mungkin membongkar aib mama kandungku sendiri. Tapi, sampai kapan aku bisa terus berdiam diri melihat kenyataan ini? Sampai kapan aku akan terus menerus menyembunyikan perbuatan kotor antara mama dan mas Adam? Entahlah.
Bahkan, aku pun belum berhasil mencari informasi tentang kebenaran kehamilan mama. Aku tidak mungkin langsung menuduh mas Adam berselingkuh dengan mama, sementara aku tidak punya bukti-bukti yang akurat.
Tidak, kamu jangan menyerah, Rani. Kamu harus buktikan pada mama kalau kamu adalah perempuan yang kuat dan tidak mudah di bodohi. Berhenti menangis, Rani. Kamu harus kuat!
Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Aku harus mencari kebenarannya. Aku tidak boleh terus menerus diam seperti ini. Kalau memang bukti perselingkuhan itu ada dan akurat, aku tidak akan segan untuk meninggalkan mas Adam. Dan tentunya, aku tidak akan sudi mengenal mama lagi. Meskipun surga itu ada di telapak kaki ibu.
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
"Rani, Papa pamit pulang dulu ya, Nak?" aku dengar papa berbicara dari balik pintu kamarku yang terkunci.
Aku segera bangkit dan menemui papa.
"Papa pamit dulu ya, Rani. Nanti Papa main lagi ke sini kalau nggak sibuk. Oh iya, tadi Adam titip salam sama kamu, dia nggak sempat pamitan sama kamu karena harus buru-buru pulang."
Entah kenapa, tiap kali mendengar nama itu, dadaku langsung terasa sesak. Papa mengulurkan tangannya padaku kemudian aku sambut dengan ciuman di punggung tangan papa.
"Jagain mama ya."
Aku tidak merespon perkataan papa itu. Setelah mencium kening ku, papa kemudian pulang.
Aku kembali merebahkan tubuhku di kasur empukku. Menyusun strategi jitu untuk membongkar rahasia di antara mama dan mas Adam.
° ° ° ° °
Aku baru saja selesai melipat mukenah milikku ketika aku mendengar suara berisik dari kamar mama. Gegas aku menuju kamar mama. Sedang apa mama subuh seperti ini sudah berisik sendiri.
Aku menempelkan telingaku di pintu kamar mama.
"Halo Adam, jemput Mama ya? Mama sudah siap."
Samar terdengar suara mama berbicara pada mas Adam melalui sambungan telepon.
Mama meminta mas Adam untuk menjemput? Subuh-subuh seperti ini? Mama mau pergi kemana? Sejuta pertanyaan menyerbu dalam otakku. Seketika jantungku berdegup lebih cepat. Apalagi rencana yang akan mama lakukan bersama mas Adam?
Klek!
"Ngapain kamu berdiri disitu? Kamu mau nguping pembicaraan Mama ya?!" bentak mama yang memergokiku berdiri tepat di depan pintu kamarnya.
Aku terkesiap melihat mama yang sudah berdiri di depanku dan aku pun kemudian mundur selangkah dari pintu kamar mama. Aku sampai tidak sadar kalau mama sudah membuka pintu kamarnya dan bersiap hendak pergi.
"Mama mau kemana?" tanyaku ketika aku melihat mama membawa satu koper besar di tangannya.
"Bukan urusanmu, Rani!" jawab mama ketus.
"Ma, Mama serius mau pergi dari rumah ini?"
Aku mendekati mama dan meraih lengan mama. Namun dengan cepat mama menangkis tanganku.
"Mama nggak pernah main-main dengan ucapan Mama, Rani. Mulai sekarang Mama akan pergi dari rumah ini. Mama mohon berhenti ikut campur urusan Mama!" jawab mama dengan nada suara yang tinggi.
"Tapi Ma, setidaknya Mama bilang Mama mau kemana. Kenapa harus sembunyi dari Rani, Ma?"
Aku terus mengejar mama yang tergopoh membawa koper besar itu menuju luar rumah. Mama terus berjalan dan tidak mempedulikan perkataanku lagi.
"Mama, Rani mohon, Ma. Ada apa sama Mama? Kenapa Mama begitu membenci Rani sampai-sampai Mama mau pergi dari rumah ini? Apa salah Rani, Ma?"
Aku menangis. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan butiran bening di kelopak mataku yang seolah berebut ingin tumpah.
Mama bergeming melihatku berderai air mata. Di wajahnya tidak nampak rona penyesalan sedikitpun. Tanganku masih menggenggam lengan mama. Berharap mama tidak seegois itu untuk meninggalkanku sendirian disini.
Tidak lama, mobil Mas Adam tiba di depan rumah kami. Mama pun gegas membawa koper besarnya menuju mobil mas Adam. Dengan cepat mas Adam keluar dari mobil lalu membantu mama memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobilnya.
"Mas! Sebenarnya Mama mau kemana, kenapa Mama tidak mau jujur padaku?" tanyaku pada mas Adam yang terlihat sibuk membetulkan posisi koper mama di dalam bagasi mobilnya. Mas Adam tidak menjawab pertanyaanku.
"Mama bilang berhenti ikut campur urusan Mama, Rani!" bentak mama padaku.
"Sebenarnya ada apa di antara kalian?! Kenapa kalian bisa sekompak dan sedekat ini? Apa kalian berselingkuh di belakangku?" akhirnya kata-kata yang selama ini tertahan di mulutku, bisa aku ungkapkan juga di hadapan mereka berdua.
Mata mama membulat penuh amarah mendengar perkataanku itu. Ku lihat mama melayangkan tangannya dan bersiap hendak memukulku.
"Jangan, Ma! Jangan sakiti Rani!" Mas Adam meraih tangan mama kemudian menahannya supaya tidak melayang tepat di wajahku.
Mama terlihat semakin marah dan menangkis tangan mas Adam. Kemudian mama dengan segera masuk ke dalam mobil mas Adam.
Mas Adam hanya memandangku iba. Tanpa berkata sepatah kata apapun. Kemudian mas Adam masuk ke dalam mobilnya dan melaju membawa mama dan meninggalkanku sendiri bersama sejuta tanya.
"Mama! Mas Adam!" pekikku memecah keheningan pagi buta. Tangisku pecah kembali bersamaan dengan laju mobil mas Adam yang hilang dalam kabut tebal sisa semalam.
Tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke dalam kamarku untuk mengambil ponsel dan kunci motor. Kemudian aku menuju motorku yang terparkir di dalam garasi rumah dan segera mengejar kemana mobil mas Adam menuju. Kali ini aku tidak boleh gagal lagi. Aku harus membongkar rahasia apa antara mama dan Mas Adam. Meskipun akan berakhir pahit, aku siap.
Lihat saja kamu, Mas!
Aku tidak akan tinggal diam kalian perlakukan seperti ini!

Bình Luận Sách (77)

  • avatar
    verlanicacecillia

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    DamayantiIra

    bgs bgt ceritany jngn lupa kelanjutan ny sampai tamat

    30/05

      1
  • avatar
    AndiniDira

    bagus banget kak,sukses truss💪

    05/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất