logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Mama Minta Pindah Rumah

Part. 2
Pagi ini suasana rumah masih terasa sunyi. Sejak kejadian kemarin mama jadi lebih pendiam padaku. Tidak ada lagi sarapan yang tersedia seperti biasanya. Mau sampai kapan mama akan diam seperti ini?
Terpaksa pagi ini aku beli nasi uduk saja di depan gang rumahku. Karena aku harus buru-buru berangkat kerja, aku tidak sempat memasak. Aku terlambat bangun, karena biasanya mama yang membangunkan ku ketika subuh. Tapi kali ini ....
Ketika aku baru saja hendak sarapan, tiba-tiba mama datang menghampiriku dan berdiri mematung di sebelahku. Masih belum ada senyum yang terukir di bibir mama. Wajahnya masih sama seperti kemarin, cemberut dan terlihat sangat judes.
"Ma? Ayo sarapan bareng Rani, Mama belum sarapan 'kan? Rani tadi beliin nasi uduk kesukaan Mama."
Aku berusaha mencairkan suasana yang terasa begitu beku. Mama hanya bergeming tanpa berbicara sedikitpun. Detik kemudian mama duduk di sebelahku.
"Mama mau bicara sama kamu," ujar mama ketus.
"Bicara apa, Ma?" tanyaku cepat.
"Mama mau pindah rumah, Rani."
Aku terdiam sejenak sambil melihat ke arah mama. Selera makan ku tiba-tiba hilang ketika aku mendengar perkataan mama yang mendadak minta pindah rumah. Aku abaikan bungkusan nasi uduk yang baru saja aku buka. Bagiku, permintaan mama untuk pindah rumah itu sangat tidak masuk akal.
"Tapi kenapa, Ma? Bukankah ini rumah Mama, kenapa Mama mau keluar dari rumah ini?" tanyaku kemudian.
"Mama sudah nggak nyaman berada di rumah ini. Mama mau cari suasana baru."
Aku terhenyak mendengar ucapan mama itu. Jawaban mama itu semakin membuatku bertanya-tanya. Tidak nyaman yang bagaimana maksud mama? Apa mama merasa tidak nyaman karena aku yang selalu mau tahu urusan mama?
Kemarin test pack, sekarang pindah rumah. Besok apa lagi, Ma? Batinku melawan. Sayangnya, aku sanggup melawan mama hanya dalam hati saja. Aku tidak ingin di sebut sebagai anak durhaka karena sering melawan perkataan mama.
"Apa Mama masih marah sama Rani soal test pack kemarin?" nada suaraku melembut. Berharap mama bisa sedikit melunak padaku.
Mama bergeming. Tidak menjawab pertanyaan ku perihal kejadian kemarin itu.
"Ma ... Rani mohon, Ma. Jangan marah lagi. Rani minta maaf karena sudah lancang masuk kamar Mama. Kemarin Rani cuma mau bantu bereskan kamar Mama doang. Rani juga nggak sengaja nemu test pack itu, Ma." rengekku. Aku duduk bersimpuh sembari memeluk kaki mama.
Mama hanya duduk mematung menghadap meja makan. Mama tidak bereaksi apa-apa. Aku perhatikan wajah mama yang tiba-tiba berubah pucat. Keringat sebesar biji jagung jatuh membasahi dahi dan wajah mama. Aku pun berdiri dan memegang kening mama. Suhu tubuh mama sedikit hangat.
"Ma, Mama sakit? Kita ke dokter yuk, Ma?" ajak ku kemudian. Dengan cepat mama menggelengkan kepalanya. Kemudian mama menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Seperti sedang menahan sesuatu keluar dari mulutnya.
"Nggak, Mama nggak kenapa-kenapa, ini Mama mau sarapan," jawab mama dengan susah payah sambil mencoba membuka bungkusan nasi uduk yang aku belikan untuknya.
"Huuff!" tiba-tiba mama terlihat seperti ingin muntah ketika selesai membuka bungkusan nasi uduk itu.
"Mama kenapa? Mama mual?" tanyaku pura-pura tidak paham.
"Mama nggak bisa nyium bau nasi uduk ini!" mama kemudian menggeser dengan kasar bungkusan nasi uduk yang aku beli itu. Sekali lagi, tingkah mama ini meyakinkan aku bahwa mama memang sedang hamil. Mama mual begitu mencium bau nasi uduk, padahal nasi uduk adalah makanan kesukaan mama.
"Kita ke dokter yuk, Ma. Rani khawatir mama kenapa-kenapa," pinta ku sekali lagi. Aku berusaha meraih tubuh mama.
"Lepaskan Mama, Rani! Mama nggak mau ke dokter kalau nggak ada Adam!" mama menangkis tanganku dengan kasar.
Aku terkesiap menahan tangkisan tangan mama. Sekali lagi aku dibuat terkejut. Bukan karena tindakan mama yang kasar, akan tetapi aku terkejut dengan perkataan mama barusan.
'Mama nggak mau ke dokter kalau nggak ada Adam!' terngiang lagi ucapan mama tadi.
Ucapan yang mungkin bagi mama terasa biasa saja. Namun bagiku, perkataan mama itu terasa sangat menyesakkan dadaku.
Kenapa? Kenapa harus ada Mas Adam baru mama mau ke dokter? Apa bedanya ke dokter bersamaku atau bersama Mas Adam? Tingkah mama ini semakin membuatku curiga.
"Tapi 'kan mas Adam lagi kerja, Ma. Lagian, biasanya 'kan Mama kemana-mana sama Rani. Sekarang kok apa-apa maunya sama Mas Adam?" tanyaku mencoba memancing mama.
"Pokoknya Mama maunya pergi sama Adam, titik!" pekik mama padaku. Kemudian mama gegas berlari menuju kamar mandi. Mungkin mama sudah tidak bisa menahan keinginannya untuk muntah. Mungkin mama sedang merasakan morning sickness di awal trimester kehamilannya. Entahlah.
Aku bergeming. Tidak menjawab perkataan mama lagi. Akhir-akhir ini mama terlihat sangat aneh. Jadi lebih manja dari biasanya. Sikapnya kepada Mas Adam pun sedikit berlebihan. Aku tahu, mungkin mama merasa senang karena sebentar lagi akan punya anak laki-laki meskipun hanya seorang anak menantu. Apalagi aku adalah anak tunggal mama. Tapi, mengapa perasaanku berkata lain? Sikap manja mama pada mas Adam membuatku curiga.
🥀🥀🥀🥀🥀
Aku mencoba mencari jalan bagaimana supaya mama mau aku bawa ke rumah sakit. Ini jalan satu-satunya yang bisa meyakinkanku tentang kebenaran test pack kemarin. Aku harus tahu apakah mama benar-benar hamil atau tidak. Setelah itu, aku bisa segera mencari tahu siapa ayah dari anak yang di kandung mama.
Apa aku panggil saja Mas Adam untuk membujuk mama supaya mau di bawa ke rumah sakit? batinku.
[Mas, mama sakit. Tolong bantu aku untuk bawa mama ke rumah sakit.]
Aku segera mengirim pesan singkat itu ke aplikasi hijau milik mas Adam.
Tidak lama tanda centang abu-abu di pesanku untuk mas Adam berubah menjadi tanda centang biru. Yang artinya, pesanku sudah di baca Mas Adam.
[Aduh, maaf Rani. Bukannya Mas nggak mau nolong kamu, tapi mendadak Mas ada meeting sama klien. Maaf Mas nggak bisa bantu kamu, Sayang.]
Tidak lama kemudian, mas Adam membalas pesanku. Aku mendengkus perlahan. Rencanaku ingin membawa mama ke rumah sakit gagal. Mama pasti tidak mau ke rumah sakit tanpa mas Adam.
[Ya sudah, Mas. Nggak apa-apa kok. Maaf mengganggu ya, Mas.]
Aku membalas lagi pesan singkat dari mas Adam. Tapi mas Adam tidak membalas pesanku dan kemudian aku lihat dia sudah offline. Aku pun mengabaikan gawaiku yang aku letakkan di atas meja rias ku.
"Sudah di depan? Oke, sebentar saya keluar."
Terdengar suara mama yang sepertinya sedang menelepon seseorang. Aku penasaran lalu mengintip dari balik tirai jendela kamarku. Rupanya di depan rumah sudah menunggu seorang abang ojek online. Mama seperti tergesa-gesa menghampiri abang ojek itu.
Gegas aku mengambil masker dan juga kunci motorku. Mama mau kemana? Bukannya mama sedang tidak enak badan? Atau mama mau ke rumah sakit? Tapi tadi mama bilang, mama tidak akan mau ke rumah sakit bila tanpa mas Adam?
Batinku berkecamuk hebat. Entah kenapa kali ini rasa penasaranku pada mama begitu besar. Andai saja dari awal mama mau jujur tentang test pack itu, mungkin tidak seperti ini besarnya rasa penasaranku pada mama.

Bình Luận Sách (77)

  • avatar
    verlanicacecillia

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    DamayantiIra

    bgs bgt ceritany jngn lupa kelanjutan ny sampai tamat

    30/05

      1
  • avatar
    AndiniDira

    bagus banget kak,sukses truss💪

    05/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất