logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 2. Seorang Penolong

Semua kekacauan ini harus diakhiri. Belasan tahun menyembunyikannya dengan rasa takut yang sama setiap musim hujan harus dihentikan. Ini adalah rahasia terbesarku yang tidak sempurna kusembunyikan dan harus kubagikan kepada seseorang yang mengerti. Sudah lama aku merencanakannya dalam diam, takut pada sangkaan orang tentang kewarasanku. Tetapi semua itu tidak penting lagi. Jika tidak diakhiri sebelum habis musim ini, mungkin aku tak akan melihat kecerahan musim kemarau lagi.
"Namaku Theresia Restyanti Paul, dua puluh tujuh tahun. Anak sulung dari pasangan Paulus Dominikus Paul dan Katherine Paul. Punya dua adik, nomor dua seorang lelaki perkasa, Albert Alexander Paul dan bungsu kami seorang gadis cantik yang periang, Maria Claritas Paul. Ayahku dari Flores dan Ibu dari Yogyakarta. Well, bisa Anda lihat sendiri hasil kawin campur dari dua daerah ini, Dok." Dengan malas aku menunjukkan diri dari atas ke bawah memperkenalkan hasil persilangan yang ada padaku.
"Aku ingin cerita banyak hal tetang keluargaku tetapi itu terkesan membosankan dan aku yakin dokter tidak akan suka mendengarnya. Jadi, langsung saja, Dok. Apakah aku butuh pengobatan atau terapi untuk menghilangkan mimpi-mimpi ini?"
Ya, setelah memikirkannya berulang kali dan dengan matang, pagi ini aku menemui psikater menceritakan segala mimpi-mimpi dan pengelihatan mengerikan yang menghantui. Berkali-kali menceritakannya pada mama responnya sama sekali tidak membantu. Justru membuat aku menyesal.
"Sudahlah, Res, jangan dipikirkan toh itu hanya mimpi. Mimpi itu bunga tidur. Kamu hanya kurang berdoa."
Begitulah jawabannya kalau sudah telanjur. Reaksi itu bahkan sudah berulangkali kuterima saat bercerita sejak pertama kali mimpi-mimpi itu menerorku. Bahkan dengan kejadian semalam pun mama masih menganggap itu semua sebatas mimpi. Kalau saja itu semua sekadar mimpi, mungkin aku tidak begitu terpengaruh.
"Tidak perlu buru-buru, Nona Resty. Saya tidak mengatakan bahwa cerita tentang keluargamu itu membosankan. Itu hanya pikiranmu sendiri. Saya punya banyak waktu untuk mendengar bahkan sangat penasaran dengan keluargamu. Bagi saya, perpaduan dua daerah dengan budaya yang berbeda seperti kelurgamu itu sangat menarik."
Dokter Faisal Ibrahim, seorang pria parubaya yang menarik. Gaya bicara diatur sedemikian rupa membuktikan pengalamannya bertahun-tahun menghadapi pasien seperti aku yang arah pikirannya ke mana-mana. Ia meminta aku untuk menarasikan tentang diriku dan keluarga setelah panjang lebar menceritakan mimpi-mimpi itu. Aneh. Tetapi mungkin ini adalah cara kerja psikater untuk mencari tahu tingkat kewarasan pasiennya.
"Dok, aku butuh solusi untuk masalah ini karena aku pikir hanya Dokter yang mengerti jalan pikiranku, mimpi-mimpi mengerikan itu, penampakan wajah nenek-nenek dan suara-suara aneh yang memanggilku itu. Sudah hampir satu jam dan Dokter hanya mendengar ceritaku tanpa memberikan solusi apa pun. Ayolah, Dok, setidaknya beri tahu aku apa yang harus aku lakukan."
Dahinya mengerut, sesekali mengangguk. Entah apa yang dipikirkannya. Aku sendiri bahkan bingung. Apa yang sedang kupikirkan sangat kontras dengan kata-kata yang terucap. Arah pikiranku tumpang tindih.
Menghembuskan napas dengan kasar, aku melemparkan pandangan ke jendela di belakang meja kerja Dokter. Menerobos kaca jendela yang transparan, melewati bangunan tinggi sebuah hotel bintang lima, menerawang jauh ke atas awan hitam. Sebentar lagi pasti hujan, dingin dan gelap. Memikirkan saja sudah meremang buluh badanku.
"Nona Resty, Anda dengar?"
Akh ... leherku berbunyi seperti patahan kayu kering, sakit sekali. Teriakan sang dokter mengagetkan juga mengalihkan pikiran dan pandanganku dari jendela dengan tiba-tiba.
"Ada apa, Dokter? Tolong jangan mengagetkan seperti ini." Tanpa rasa bersalah dan malu aku membentaknya. Aku meremas tengkuk yang ngilu ambil menggoyangkan leher dengan pelan.
"Maaf, Nona. Saya sudah memanggil berkali-kali tetapi sepertinya pikiranmu tidak ada di ruangan ini jadi saya terpaksa meninggikan suara dan tolong jangan menatap saya dengan tatapan menerkam seperti itu. Apa Anda baik-baik saja?" ia berbicara tanpa jeda, terdengar seperti manahan marah. Aku terpengaruh bahkan terpancing untuk meninggikan suara.
"Ya, aku baik-baik saja, Dok. Dan akan lebih baik lagi jika Dokter mau memberikan beberapa solusi tetapi jika tidak ada lebih baik aku pergi." Aku hilang kontrol atas emosiku. Akhir-akhir ini memang sulit untuk mengendalikan perasaan dan pikiranku. Mungkin karena waktu tidurku yang semakin tidak teratur sejak masuk musim hujan. Ah, entahlah.
"Tunggu sebentar, Nona. Sebenarnya setelah mendengar ceritamu, saya ingin menanyakan beberapa hal. Tetapi cerita tentang keluargamu itu memarik dan aku pikir akan lebih baik mencari tahu latar belakang keluargamu terlebih dahulu karena aku ... "
"Apa hubungan semua yang aku alami dengan latar belakang keluargaku, Dokter?" aku semakin meninggikan suara. Sangat sensitif jika berbicara tentang keluargaku. Bukan tanpa alasan tetapi aku tidak mau membahasnya. Aku lebih memilih membicarakan aib sendiri daripada tentang keluargaku.
"Saya belum selesai bicara jadi tolong jangan memotong pembicaraan jika ingin solusi dari saya, Nona Resty. Dan ingat, Anda masih calon pasien yang berkonsultasi dengan saya. Akan butuh banyak waktu untuk mendiagnosis gangguan mental yang Anda alami jadi .... "
"Jadi, maksud Dokter saya gila?!" tersentak aku berdiri dan berteriak sambil memukul meja kerja Dokter Faisal di depanku. Benar-benar hilang kontrol akan akal sehatku. Aku meraih tas hitamku dan beranjak pergi. "Maaf dan terima kasih atas waktu Anda, Dokter, tetapi Anda sama sekali tidak mengerti apa yang saya alami!"
Tanpa menunggu jawaban beliau, aku melangkah menuju pintu. Sebelum membuka daun pintu aku berbalik menatap jendela di belakangnya.
"Anda tahu, Dokter. Pemandangan di balik jendela Anda sungguh mengerikan. Aku benci awan hitam itu dan akhh!"
Petir menyambar disusul gemuruh guntur yang menggelegar, menganggetkan. Aku berteriak seperti orang yang kesetanan. Tas hitam di tanganku terlepas, meluncur menuju lantai. Aku kaget. Ah, bukan. Aku takut. Aku benci suasana seperti ini. Petir dan guntur memacu adrenalinku melewati batas kontrol ketakutan. Kakiku lemas dan gemetar seolah terlepas dari seluruh persendianku. Aku jatuh terduduk di atas pantat, mengusir ketakutan dengan memejamkan mata dan menutup telinga dengan kedua tangan.
Aku mencoba mengusir takut, menggeleng-geleng tanpa daya. Diam dan sunyi mulai menghampiri di antara hela napas memburu yang terdengar. Waktu seolah berhenti. Mencekam. Dingin merambati ujung jemari kaki, menelusuk naik ke perut,perlahan-lahan sampai ke ubun-ubun. Aku menggigit gigi menahan tubuh yang mulai menggigil. Aku memeluk lutut, mengusir dingin dan takut yang semakin nyata senyata ruangan yang menggelap.
Aku lupa semuanya. Tak ada kemarahan, di mana aku berada bahkan percakapan dengan dokter Faisal. Segalanya hilang begitu saja. Sedetik, dua detik, tiga detik dan entah sampai berapa lama aku tertinggal dalam kehampaan itu hingga satu yang tiba-tiba datang ke penciuman.
Aroma menenangkan dan satu lagi yang menyusul, langkah kaki. Langkah itu semakin dekat dan berhenti di depanku membawa aroma yang semakin pekat. Aku membuka mata perlahan, mendapati sepasang pantofel hitam licin tanda selalu disemir. Mendongak perlahan, di atasnya sebuah celana bahan hitam yang disetrika rapi. Semakin ke atas aku mendapati seorang pria parubaya dengan kemeja biru kotak-kotak tersenyum hangat. Wajah teduh berjanggut pendek itu bersinar diterpa cahaya lilin kekuningan yang dipegang di atas sebuah candlestick.
Aroma menenangkan yang tercium pasti berasal dari lilin itu. Aromaterapi. Sendu kupandangi dia layaknya anak anjing di bawah meja makan tuan yang sedang makan, menyedihkan dan tanpa daya. Ia berjongkok dan menepuk lembut pundakku.
"Bangunlah, Nona Resty. Itu hanya petir dan guntur. Tidak perlu takut," bisiknya sangat lembut.
Aku mencari kebenaran dari kata-kata itu. Ada keseriusan dan kepedulian dari tatapannya. Aku menyerah dan berdiri ditopang olehnya.
"Dokter Faisal, maaf, aku ... "
"Duduklah, akan kuambilkan air untukmu." Ia tak peduli pada ucapanku dan berlalu begitu saja. Aku melangkah kembali ke kursi yang kutinggalkan beberapa saat lalu. Dokter Faisal kembali dengan segelas air.
"Ini, minumlah." Aku menerimanya, meneguk segelas air itu hingga tak tersisa.
"Terima kasih."
"Mau kuambilkan lagi?"
"Sudah cukup, Dok. Terima kasih."
Segelas air perlahan menjernihkan pikiranku. Tubuhku menjadi lebih rileks dan perasaanku jauh lebih tenang. Aku menarik napas dalam mencoba membuang semua kejadian yang beberapa menit yang lalu.
"Baiklah. Bisa kita mulai, Nona Resty?"
"Mulai apa, Dok?"
"Diskusi, Nona Resty. Saya suka menyebutnya demikian. Ya, jika kamu berkenan."
Tanpa banyak tanya lagi aku mengiyakan. Emosiku semakin stabil. Mungkin efek segelas air atau karena lilin yang beraroma menenangkan itu. Di luar petir tidak lagi menyambar dan guntur berhenti bergelora digantikan derasnya hujan. Aku tak mau memikirkannya lagi untuk saat ini.
bersambung...

Bình Luận Sách (134)

  • avatar
    Bahy PayongYustinus Kati

    Luar biasa sekali. Sangat Menggugah sekaligus menggugat. semangat selalu

    18/07/2022

      3
  • avatar
    LayFelicia

    awalnya penasaran sm judulnya Krn sebutan suanggi biasanya hanya di daerah timur termasuk kami di Papua, stlh baca ceritanya menarik juga, semoga sukses terus ya Thor 😇

    23/06/2022

      0
  • avatar
    Neschenney Tracy

    sangat best.. 😍

    21/05/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất