logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Terpaksa Menerima

“Inka…boleh…belajar…di sini?” tanya anak itu dengan terbata-bata. Sorot matanya yang bening membuat Rachel tak tega menolak. Perlahan kepala gadis itu mengangguk.
Ayah Inka berseru kegirangan. “Wah, terima kasih banyak ya, Miss. Inka ini jarang tantrum, kok. Cuma saya akui daya ingatnya terhadap akademik agak rendah. Dia suka lupa kalau diajari calistung. Harus diulang-ulang berkali-kali. Mohon dimaklumi ya, Miss. Namanya juga ABK.”
Rachel tiba-tiba sadar dia sudah terbawa perasaan. Gadis itu lalu berusaha menolak. “Sekali lagi mohon maaf, Pak. Saya ini guru les bahasa Inggris. Tidak punya pengalaman mengajar baca, tulis, hitung. Daripada nanti hasilnya mengecewakan, lebih baik saya tegaskan bahwa keinginan Bapak untuk mengkursuskan Inka di sini terpaksa tidak dapat saya penuhi.”
Wajah pria di depannya jadi memelas. “Saya sudah putus asa membawa anak saya kesana-kemari untuk les calistung, Miss. Di ruko-ruko depan komplek kan dibuka beberapa tempat les akademik. Inka tidak diterima begitu mereka melihat kondisinya yang down syndrome. Padahal anak saya ini tidak begitu merepotkan. Dia sudah banyak kemajuan. Memang agak lemot, tapi tidak berisik. Saya pikir Miss Rachel akan bisa menerima kekurangan anak saya mengingat…ehm…maaf…adik Miss sendiri seorang ABK.”
“Kak Rachel!”
Kedua orang itu menoleh. Inka sendiri masih asyik mengutak-utik scrabble. Tampak Velove berjalan mendekati kakaknya.
“Waktunya belajar Inggris,” kata gadis autis itu singkat.
Ekspresi wajahnya datar. Dia tak menghiraukan kehadiran dua orang asing di ruang tamu itu. Velove sudah biasa melihat orang-orang tak dikenal wira-wiri di rumahnya. Gadis berkebutuhan khusus itu sudah paham bahwa kakaknya membuka kursus bahasa Inggris dan murid-muridnya tidak sedikit.
Dengan lugas Rachel merespon kalimat adiknya, “Oh, sudah jam dua siang ya, Ve. Sebentar ya, Sayang. Kakak masih ada tamu. Oya, kenalin, Ve. Ini Bapak….”
Kalimat itu tak berlanjut. Rachel baru sadar dia belum tahu nama ayah Inka. Si pria tersenyum. Dia mengulurkan tangan pada Velove.
“Saya Jonas,” ucap pria berkulit putih itu ramah.
Velove yang sudah berkali-kali diajari tentang cara berkenalan dengan orang menyambut uluran tangan di hadapannya. Dari sudut bibir gadis itu tersungging senyuman kecil.
“Velove, adik Kak Rachel. Jonas mau les di sini?” tanya gadis itu polos.
Rachel dengan lembut menegur adiknya, “Velove, yang benar manggilnya Pak Jonas . Biar lebih menghormati. Kan baru kenal.”
Sang adik manggut-manggut mengerti. Kemudian kakaknya kembali menjelaskan, “Pak Jonas ini punya anak namanya Inka. Itu dia yang lagi main scrabble. Kenalan, yuk.”
Rachel lalu membimbing adiknya mengulurkan tangan pada anak Jonas. “Inka, ini kenalin adiknya Miss Rachel. Namanya Velove.”
Inka mendongak dan melihat Velove penuh tanda tanya. Dia tak menerima uluran tangan gadis remaja itu. Rachel lalu meraih tangan Inka dan menyatukannya dengan tangan Velove.
“Coba Inka bilang halo…, Kak Velove. Namaku…Inka,” ujar Rachel pelan-pelan membimbing anak kecil itu berbicara.
Inka meniru ucapan gadis itu, “Halo…Kak Velove….”
Setelah itu dia terdiam. Seperti sedang berpikir apa kalimat lanjutannya. Rachel tersenyum. Benar rupanya kata ayah Inka. Anak ini agak lemot. Jadi harus sabar mengajarinya. Berbeda dengan Velove. Adik Rachel itu remaja autis yang cerdas. Kognitifnya setara dengan remaja reguler atau yang biasa disebut tipikal. Kelemahannya hanya pada kelancaran komunikasi dan sosialisasi. Juga kadang masih tantrum, meski jarang sekali.
“Namaku Inka,” lanjut Rachel kembali membimbing Inka. Anak perempuan itu meniru ucapan si Miss dengan lancar. Lalu Rachel memberinya reward pujian sebagai anak pintar sekaligus tepukan tangan yang agak membahana.
Inka tertawa senang. Hati anak down syndrome itu gembira usahanya diapresiasi dengan baik oleh Rachel. Jonas memperhatikan adegan itu dengan takjub. Pria itu semakin yakin Rachel adalah guru yang tepat bagi anaknya. Tinggal meyakinkan gadis itu saja agar bersedia mengajari Inka baca, tulis, hitung.
“Miss Rachel lihat sendiri,” celetuk pria itu bersemangat. “Inka suka berada di sini. Miss berhasil membuatnya merasa nyaman, padahal baru pertama kali ketemu. Jadi please, Miss…terimalah anak saya sebagai murid di sini. Kalau bisa, langsung ditangani langsung oleh Miss Rachel. Biayanya berapa, tinggal sebutkan saja. Akan saya usahakan dananya. Demi kemajuan Inka, anak saya satu-satunya.”
Rachel terpojok. Gadis itu tak tahu harus bagaimana. Memang sepertinya Inka ini bisa dia tangani. Tapi masalahnya dirinya tak berpengalaman mengajari calistung. Hanya Velove yang pernah diajarinya sedikit-sedikit dulu. Itupun bukan dari awal, karena dasar akademik adiknya dulu sudah agak matang berkat bimbingan terapis.
“Inka mau les Inggris?” tanya Velove pada anak kecil itu.
Yang ditanya tak menjawab. Rachel lalu menjelaskan pada adiknya bahwa ayah Inka mau anaknya les baca, tulis, hitung. Velove menatap heran pada Jonas. “Kak Rachel mengajar bahasa Inggris,” kata gadis itu menegaskan.
Jonas mengangguk lalu berkata, “Betul, Velove. Tapi Inka belum bisa belajar bahasa Inggris karena bahasa Indonesianya sendiri belum lancar. Dia mesti diajari baca dan tulis bahasa Indonesia dulu. Kalau sudah paham, baru lanjut les bahasa Inggris. Boleh, kan?”
“Boleh,” jawab Velove mantap. Kakaknya sampai terkejut mendengarnya. Sebaliknya Jonas malah nyengir senang. Pancingannya terhadap Velove membawa hasil.
“Kak Rachel,” cetus Velove seraya menatap lembut sang kakak. “Inka diajari bahasa Indonesia dulu. Terus lanjut bahasa Inggris.”
Dieeenggg!
Kepala Rachel pusing tujuh keliling. Ditatapnya Jonas yang masih nyengir gembira. Gadis itu benar-benar merasa tersudut. Akhirnya dia mengangguk pasrah.
“Baiklah, Pak Jonas. Akan saya coba ajari anak Anda calistung. Tapi bulan depan, ya. Karena saya harus mempersiapkan diri dulu.”
“Terima kasih banyak, Miss Rachel. Semoga Inka betah di sini dan bisa berkembang dengan baik.”
“Tapi saya mohon pengertian Bapak untuk tidak berambisi Inka bisa segera menunjukkan perkembangan dalam calistung. Ada proses yang harus dijalani dengan sabar. Apalagi buat anak berkebutuhan khusus. Butuh waktu, tenaga, dan upaya yang lebih besar dari guru dibandingkan mengajar anak tipikal.”
“Saya mengerti, Miss Rachel. Percayalah, saya bukan orang tua yang ambisius terhadap akademik anak. Tapi waktu satu tahun untuk mempersiapkan Inka agar mahir calistung, cukup kan?”
“Saya tidak bisa memberikan jaminan, Pak Jonas. Yang jelas saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Inka maju. Tapi kalau ada hal-hal yang di luar kemampuan saya untuk menangani, akan saya bicarakan dengan Bapak.”
“Misalnya seperti apa, Miss? Saya kurang paham.”
“Begini. Coba Bapak lihat Velove. Adik saya ini sekarang sudah tenang dan jarang tantrum. Konsentrasinya juga baik. Dulu dia rutin menjalani terapi sensori integrasi selama bertahun-tahun. Terapi sentuh, olah fisik, dan lain-lain untuk meningkatkan kemampuan sensori dan fokusnya. Hal itu sekarang berdampak pada ketenangan sikapnya dan perkembangan kognitifnya. Kata Bapak tadi Inka sudah menjalani terapi rutin selama bertahun-tahun. Dan di usia sekarang dia sebenarnya masih membutuhkan terapi sensori. Jadi kalau dalam perjalanan lesnya nanti terjadi gangguan-gangguan yang berkaitan dengan sensori, maka saya akan meminta Bapak untuk mengikutkan Inka terapi sensori integrasi lagi.”
“Deal, Miss Rachel.”
Jonas tersenyum lebar sembari mengulurkan tangannya. Gigi-giginya yang rapi dan bersih tampak memikat. Rachel mendesah. Dengan terpaksa diterimanya uluran tangan laki-laki itu.
“Hore!” seru Velove melihat adegan bersalaman itu. “Kak Rachel dan Pak Jonas sekarang berteman.”
Jonas tertawa riang. Sebaliknya Rachel menggigit bibir. Gadis itu berdoa dalam hati agar Tuhan menyertai dirinya dalam mengajar Inka.
***

Bình Luận Sách (14)

  • avatar
    ContessiaAnnatasa

    seru banget !!

    10/07

      0
  • avatar
    Abby Azarinah

    👍🏻👍🏻

    02/07

      0
  • avatar
    KotoRisniyati

    semangat terus yah

    12/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất