logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Pintu Kebahagiaan

"Kamu enggak apa - apa, Anna?" tanya Arsen menyentuh lengan kanan Anna yang masih terfokus pada Shea yang hilang di balik tikungan koridor kelas.
Anna mendongakkan kepalanya guna menatap lekat wajah Arsen. Lalu, mengulas senyum getir untuk menutupi luka hatinya yang kembali terbuka lagi.
"Kenapa kamu tanya seperti itu, Sen? Bukan aku yang terluka, tetapi gadis itu," sanggah Anna yang tidak mau berkata jujur pada Arsen.
Merasa seakan tahu isi perasaan hati Anna, Arsen menarik lengan Anna lembut. Kemudian membawa langkah mereka berdua untuk melanjutkan jalan ke arah kelas mereka berdua.
Selama sepanjang pembelajaran, Anna sama sekali tidak fokus akibat terlalu memikirkan gadis yang tadi menjadi bahan bully. Entah karena figur wajah yang sangat mengingatkan seseorang di masa lalunya, membuat Anna kembali menyelami kenangan pahit itu.
"Kalau kamu memang masih ada. Aku belum siap untuk kehilangan semuanya," lirih Anna dalam hati dengan ketakutan yang sangat ingin membunuh jiwanya.
Kedua tangan Anna meremas roknya dengan kencang. Saat luapan rasa sakit di dada kirinya kembali datang. Anna pun merebahkan kepalanya di atas meja untuk meredakan rasa ngilu pada dada kirinya.
"Anna, gue boleh pinjam pulpen lo enggak?" tanya teman Anna yang duduk di bangku depan Anna.
"Ambil sendiri saja, Ren," jawab Anna dengan suara lemahnya tanpa mengangkat kepalanya untuk menatap langsung wajah Reni.
Kening Reni mengerut mendengar ada yang ganjil dari suara Anna. "Lo kenapa, Anna? Dada lo sakit lagi?" tanya Reni beruntun dengan nada khawatir.
Anna hanya mampu menggelengkan kepalanya lemah. "Aku baik - baik saja 'kok, Ren," balas Anna yang menyakinkan Reni.
Meski ada rasa ragu di balik ucapan Anna, Reni hanya menganggukkan kepalanya saja. "Gue pinjam dulu, ya. Kalau lo merasa enggak enak badan langsung bilang ke gue saja," ucap Reni dengan tulus dan juga menyiratkan rasa khawatir.
Sedangkan Arsen masih tetap fokus menatap ke arah papan tulis mendengar penjelasan yang diterangkan oleh guru pengajar.
Tendangan yang didapatkan di kaki kirinya membuat Arsen menolehkan kepalanya ke arah pelaku penendangan itu.
"Apa?" tanya Arsen sikat dan juga ketus.
Reni memberi kode pada Arsen dengan melirik ke arah meja Anna. "Kayaknya tuh bocah lagi sakit, deh," bisik Reni dengan suara kecilnya.
Seakan mengerti kode dari Reni, Arsen menoleh ke arah Anna yang sedang merebahkan kepalanya di atas meja dengan napas yang seperti tersendat - sendat.
Sontak Arsen langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri ke arah meja Anna. Semua pasang mata beralih fokus menatap apa yang sedang dilakukan oleh Arsen.
"Arsen! Siapa yang suruh kamu berdiri!" bentak guru pengajar di depan kelas karena geram melihat tindakan yang dilakukan oleh Arsen.
Arsen menghiraukan bentak kan dari guru pengajar. Saking paniknya, Arsen mengguncang bahu Anna kencang.
"Anna bangun!" seru Arsen yang semakin intens mengguncang bahu Anna. Namun, Anna tidak bergerak sama sekali.
"Sakit, Sen," lirih Anna dengan suara yang sangat kecil.
Langsung saja Arsen membalikkan tubuh Anna secara paksa, kemudian menggendongnya keluar kelas. Semua orang yang ada di dalam kelas memekik tertahan saat melihat hidung Anna mengeluarkan darah segar yang sangat banyak.
***
Tin ... Tin ... Tin ...
Tubuh Shea tersentak terkejut akibat bungi suara klakson yang memekakkan gendang telinganya.
"Sombong bangat, sih. Ketahuan aku enggak bisa lihat, segala pakai diklaksonin," gerutu Shea yang memberhentikan langkahnya kesal.
"Heum ... Berarti abang ini sombong bangat ya orangnya?" sahut seorang lelaki yang memakai pakaian formal menghadang jalan Shea.
Indra penciuman Shea menangkap aroma yang sangat menyegarkan dan tidak asing baginya. Lantas saja Shea meraba wajah orang yang ada di depannya.
"Ini, bang Natha 'kan?" tanya Shea antusias dengan wajah berbinar senang.
Natha menggenggam tangan Shea yang masih berada di wajahnya. Lalu, membawa tangan Shea ke arah dada bidangnya.
"Abang mau apa?" tanya Shea mengerutkan keningnya merasakan detak jantung Natha yang sangat kencang.
"Apa yang kamu rasakan, Shea?" tanya balik Natha tanpa menjawab pertanyaan dari Shea.
"Aku cuma merasakan detak jantung abang yang kencang bangat," jawab Shea yang sangat terlalu polos.
Senyuman di bibir tebal Natha semakin mengembang lebar. "Abang punya kabar baik untuk kamu, Shea," ungkap Natha dengan suara yang memekik senang.
Wajah pucat Shea berubah merah merona mendengar ungkapan dari Natha. Tangannya semakin meremas kuat tangan Natha di dalam genggaman tangannya.
"Kabar baik seperti apa, Bang?" tanya Shea yang semakin dibuat penasaran oleh Natha.
"Percaya enggak kalau kamu akan melihat warna lain selain warna hitam?" Natha mengangkat sebelah alisnya dengan senyum geli di wajah Natha.
Raut wajah Shea seketika berubah menjadi sendu dan muram. "Bang Natha 'kan tahu sendiri kalau aku enggak bisa lihat alias buta. Mana mungkin bisa lihat warna lain selain warna hitam," lirih Shea menundukkan kepalanya dalam - dalam.
"Jangan sedih dulu, dong. Kan, bang Natha belum kasih tahu kabar baiknya ke kamu," ucap Natha mencoba menghibur Shea yang dilanda kesedihan.
"Emang apa 'sih kabar baiknya?" tanya Shea kesal menekuk bibir ke dalam.
Natha memegang kedua bahu Shea dengan lembut. Lalu, menghitung Shea untuk duduk di bawah pohon yang rindang. Mereka berdua menselonjor kan kaki di atas rumput yang lumayan tebal.
"Kita sudah duduk loh, Bang. Terus kapan bang Natha ngomongnya. Jangan buat aku mati penasaran," desak Shea mengguncang kuat lengan kekar milik Natha.
Bukannya menjawab, Natha hanya tertawa terpingkal - pingkal. Dan cubitan maut datang dari Shea yang dihadiahi untuk Natha.
"Sssttt ... Sakit bangat, Shea. Lengan abang jadi merah, nih," adu Natha yang mencebik kan bibirnya kesal.
"Salah bang Natha sendiri yang bercanda terus. Padahal aku sudah serius dari tadi," ucap Shea kesal tidak mau kalau dengan Natha.
"Kamu juga bawel bangat jadi orang," balas Natha menyindir langsung Shea.
Shea menepis kasar tangan Natha yang mencolek dagunya. Kemudian, Shea langsung mengambil tongkat bantunya dan berdiri ingin meninggalkan Natha sendirian.
"Kalau apa yang abang ucapkan tadi, apa kamu akan percaya?!" tanya Natha berseru setelah bangkit dari duduknya.
"Mustahil, Bang. Dari kecil sampai sekarang pun enggak ada orang yang mau donor 'kan matanya secara percuma - cuma," sahut Shea dengan suaranya yang bergetar tanpa berbalik badan menghadap ke arah Natha.
"Awalnya abang juga berpikir seperti itu. Tapi, ternyata masih ada orang baik yang mau mendonorkan matanya secara percuma - percuma sama kamu, Shea," balas Natha yang mampu menggetarkan hati terdalam Shea.
Natha melangkah lebih dekat untuk mengikis jarak di antaranya dengan Shea. Lalu, mendekap tubuh kecil milik Shea dengan hangat.
"Kamu mau bersedia 'kan untuk melakukan operasi secepatnya?" tanya Natha penuh pengharapan.
Shea membalas tangan Natha yang membelit pinggangnya. "Kalau Shea mau, apakah nanti Shea bisa melihat kembali?" tanya balik Shea dengan takut - takut.
"Bang Natha janji semuanya akan kembali seperti semula," ucap Natha penuh keyakinan.
Anggukan kepala dari Shea membuat harapan Natha semakin besar.
***
Kira-kira siapa yang menjadi pendonor untuk Shea?
Yuk jawab di kolom review sebanyak-banyaknya. Jangan lupa share, coment, dan dan berikan poin.
See you next bab guys.

Bình Luận Sách (298)

  • avatar
    KhotimahNurul

    aku sangat suka dengan cerita ini

    4d

      0
  • avatar
    Pred

    kata kata ini menarik

    8d

      0
  • avatar
    bagos123toif

    bagus

    19d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất