logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

5.

Sherin tak mengerti, kenapa kesalahannya yang nyasar di rumah mewah Vano dan Vian malah mempertemukannya dengan ayah si kembar, Revan. Yang paling mengherankan, sejak kejadian itu Sherin sering kali bertemu dengan Revan.
Pertemuan yang tak disengaja, karena mereka memiliki urusan berbeda di tempat yang sama. Revan selalu menyapa Sherin dengan ramah, karena tahu kalau Sherin adalah teman anaknya. Sedangkan Sherin, selalu malu dan salah tingkah jika bertemu dengan Revan. Kenangan pertemuan pertama mereka yang aneh tak bisa dilupakan begitu saja oleh Sherin.
Hari ini, Sherin tak ada kelas pagi. Kelasnya dimulai jam satu siang nanti. Jadi, dia tak pergi ke kampus saat pagi. Sedangkan Novi dan Renata yang masuk jurusan sama kini harus masuk kelas bersamaan. Jadinya, Sherin sendirian.
Sherin bosan di kosan sendirian. Ide untuk menulis cerita pun sedang tidak ada. Jadinya, Sherin berniat akan pergi ke supermarket saja membeli kebutuhan sehari-hari yang hampir habis.
Di parkiran supermarket, Sherin tak sengaja melihat seorang wanita lanjut usia yang jatuh saat menuruni undakan tangga. Dengan spontan saja, Sherin membantu nenek tersebut. Rupanya, nenek tersebut datang belanja sendirian, karena ART-nya sedang cuti.
Karena merasa di bantu, nenek tersebut pun mengajak Sherin untuk datang ke rumahnya. Tentu saja Sherin menolak, tak enak hati. Padahal dia tak melakukan apa-apa. Tapi nenek tersebut memaksa Sherin untuk ikut. Tak mau membuat nenek tersebut sedih, akhirnya Sherin ikut nenek tersebut pulang ke rumahnya.
Benar-benar sebuah kebetulan, karena Sherin tak mengenali siapa nenek tersebut. Namun saat sampai di rumah nenek tersebut, Sherin terkejut melihat ada foto Revan bersama si kembar yang dipajang. Membuat Sherin mau tak mau berpikir kalau nenek tersebut, adalah neneknya si kembar Vano dan Vian.
"Usiamu berapa tahun?" Nenek bersama Sinta tersebut bertanya pada Sherin yang duduk di sofa ruang tamu. Menatap foto-foto keluarga yang terpajang di sana.
"20 tahun, Nek."
"Ah, rupanya kamu seumuran dengan cucuku yang kembar." Sinta tertawa pelan, terlihat bahagia. Tangannya yang sudah keriput mengambil cangkir teh dan meminumnya. Untuk ukuran lansia sepertinya, Sinta termasuk kategori masih sehat dan bugar. Walau tanda penuaan di tubuh tak bisa dihindari.
"Orang tuamu kerja di mana?" Sinta bertanya lagi. Sherin tersenyum kecil mendengar itu.
"Saya kurang tahu, Nek."
"Loh, masa pekerjaan orang tuamu sendiri kamu tak tahu?"
"Orang tua saya sudah lama bercerai, Nek. Dan saya tak tinggal dengan mereka. Saya tinggal sendirian. Jadi, kurang tahu kehidupan orang tua sendiri." Sinta membelalak kaget mendengar itu.
"Ya Tuhan. Maafkan aku jika sudah membuatmu tersinggung," ucap Sinta buru-buru. Sherin tersenyum tipis mendengarnya dan mengangguk pelan.
"Kebanyakan pasangan yang cerai memang egois sih. Beruntung cucuku bisa mendapatkan kasih sayang utuh dari Revan, walau sudah lama mereka tak bertemu dengan ibu mereka," ujar Sinta. Dari sorot matanya, Sherin menemukan kesedihan.
"Kasihan anakku yang sejak dulu harus menanggung beban berat. Banyak yang dia korbankan demi kebahagiaan si kembar," lanjut Sinta. Sherin tak bertanya, namun Sinta bercerita tanpa ada yang meminta. Sherin tentu mendengarkan, karena dia cukup tahu orang-orang yang diceritakan Sinta.
Jiwa penasaran Sherin meronta saat mendengar itu. Ingin bertanya, namun takut dikira tak sopan. Tapi, dia penasaran juga. Akhirnya, dengan hati-hati Sherin bertanya pada Sinta.
"Saya cukup kenal Vano dan Vian, Nek. Kebetulan kami satu kampus," ucap Sherin mengakui. Sinta tersenyum, terlihat senang mendengarnya.
"Wah, baguslah. Menurutmu, bagaimana cucu-cucuku tersebut saat kuliah? Apa mereka seperti anak nakal?" Sherin tersenyum melihat wajah penasaran Sinta.
"Enggak, Nek. Mereka baik."
"Baguslah." Sinta terlihat lega.
"Nek, apa Vano dan Vian, tak pernah memiliki ibu baru?" Sherin bertanya, penasaran. Sinta menghembuskan nafas pelan sebelum menjawab. Dan dia menceritakan kisah anak juga cucunya dengan gamblang pada Sherin. Seolah lupa kalau Sherin adalah orang asing.
"Anakku pernah beberapa kali akan menikah lagi setelah cerai dari ibunya si kembar. Namun, kebanyakan calon istrinya menolak keberadaan si kembar, meminta anakku mengirimkan si kembar pada ibunya. Makanya, sampai sekarang anakku belum menikah lagi. Karena bagi anakku, cucu kembarku lebih penting untuk di bahagiakan." Sherin terdiam mendengar itu. Ah, tak menyangka Revan sebaik dan sebijak itu. Andaikan ayahnya juga memiliki pemikiran seperti Revan, mungkin hidup Sherin sekarang tak akan terlalu menderita karena diabaikan kedua orang tua.
Setelah cukup lama berbincang, Sherin pun berniat pamit untuk pulang. Dia di sana sudah lebih dari satu jam. Tak enak jika diam lebih lama lagi.
Namun, belum juga Sherin pamit, seseorang datang dan masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu dulu. Sherin menatap orang yang baru saja datang. Dan rupanya, itu adalah Revan.
'Sial. Harusnya aku pulang sejak tadi.' Dalam hati, Sherin merutuki dirinya sendiri. Terlambat berpamitan, berakhir membuatnya bertemu lagi dengan Revan. Padahal Sherin sudah berjanji kemarin, kalau dia akan selalu berusaha menghindari Revan. Tak mau bertemu dengan pria itu lagi. Namun kenyataannya, takdir berkata lain.
"Sherin? Sedang apa di sini?" Revan bertanya heran saat melihat teman anaknya tersebut ada di rumah sang ibu.
"Kalian saling kenal? Baguslah." Sinta berkata. Dia berdiri, lalu menghampiri anaknya yang masih berdiri di dekat pintu.
"Tadi Ibu jatuh di depan supermarket, Van. Dan dia menolong Ibu. Jadinya Ibu ajak berkunjung ke sini." Sinta menjawab pertanyaan Revan. Kemudian dia menarik Revan agar duduk di sofa.
"Tunggu di sini. Ibu buatkan kopi dulu untukmu."
"Tak perlu, Bu. Ibu istirahat saja."
"Tak apa. Itu bukan hal yang sulit." Sinta bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan Revan kopi. Meninggalkan Revan dan Sherin berdua di ruang tamu.
"Terima kasih sudah membantu ibuku." Revan berbicara dengan tulus pada Sherin. Mendengar itu, Sherin mengangguk kecil.
"Iya, Om sama-sama."
"Kamu tidak masuk kuliah?" tanya Revan heran.
"Kelasnya dimulai siang nanti, Om."
"Pantesan. Padahal teman-temanmu tadi sudah berangkat bersama Vano dan Vian." Sherin tersenyum kecil mendengarnya. Jika pun tak ada kelas, pasti Novi dan Renata akan tetap berangkat pagi demi bertemu sang pacar baru.
"Om, aku izin ke belakang dulu." Revan mengangguk, membiarkan Sherin menyusul Sinta. Sherin pun meminta izin pada Sinta untuk menggunakan kamar mandi.
Setelah urusannya selesai di kamar mandi, Sherin pun keluar. Dia melihat Sinta yang masih membuat kopi di dapur. Akhirnya, Sherin mendekati Sinta saja. Dari pada harus ke ruang tamu lagi dan merasakan canggung karena berdua dengan Revan.
"Masih belum selesai buat kopinya, Nek?"
"Ah, Sherin. Buat Revan sudah kok. Ini buat tamu. Kemarin ada keluarga yang pindah dan menempati rumah di samping. Mereka datang berkunjung hari ini," jelas Sinta. Sherin mengangguk pelan mendengar itu. Saat Sinta akan ke ruang tamu, Sherin mengekorinya. Semakin dekat, Sherin bisa mendengar dua orang pria yang sedang mengobrol. Ada suara wanita juga yang menimpali.
Saat sampai pintu, tak sengaja Sherin melihat tamu yang datang barusan. Langkah Sherin langsung terhenti, dengan tubuh membeku. Menatap pada sepasang suami istri yang merupakan tamu Sinta.
"Sherin, ayo ke sini! Kenapa bengong di sana?" Sinta bersuara, membuat tamunya melihat ke arah belakang. Tamu yang merupakan sepasang suami istri tersebut langsung berhenti tersenyum saat melihat Sherin berdiri di ambang pintu.
Sherin memaksakan sebuah senyum pada Sinta. Kemudian berjalan mendekat.
"Om Revan, Nek, aku pamit pulang dulu. Lupa harus belanja keperluan sehari-hari," ucap Sherin. Setelah itu dia langsung berjalan keluar dari rumah tersebut.
"Mas mau kemana?" Tamu wanita itu langsung berteriak, saat suaminya ikut melangkah keluar dari rumah Sinta. Lalu si suami memberikan kode pada istrinya untuk tetap di sana saja.
"Suami kamu mengenal Sherin?" tanya Revan pada wanita itu.
"Dia anaknya. Sebel sih sama anaknya. Saat datang tahunya minta uang saja. Padahal dia sudah besar. Harusnya dia bisa cari uang sendiri." Wanita itu mendumel kesal dengan wajah cemberut. Sinta dan Revan terdiam mendengar itu. Baru paham situasi. Sinta memaksakan senyum, seraya menatap wanita itu dengan tajam. Rasa tak suka langsung memenuhi hatinya.
"Masih kecil atau sudah besar, seorang anak tetap jadi tanggung jawab ayahnya sebelum anak tersebut menikah. Kamu jangan menjadi pemisah suamimu dengan anaknya." Sinta berbicara, menahan geram. Setelah itu Sinta langsung pergi dari sana. Sedangkan wanita tersebut, yang merupakan ibu tiri Sherin, terdiam menahan kesal.

Bình Luận Sách (662)

  • avatar
    Ade Lintang

    Great. I love it. Happy ending ❤️

    30/08/2022

      0
  • avatar
    ManroeBona_Joana

    seru banget...dan penasaran...andaikan bab nya lebih banyak 😍😍

    17/05/2022

      2
  • avatar
    Maya Lahe

    sampai baper bacanya ikut nangis baca kisah hidupnya senang nya happy ending. semangat nulis tor 💪💪

    20/04/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất